KITA diperintahkan takut ketika berbuat maksiat dan menyia-nyiakan kewajiban terhadap-Nya. Kita harus menanamkan rasa takut dalam diri terhadap murka dan siksa-Nya. Dengan begitu kita akan patuh meninggalkan dosa, dan menunaikan kewajiban.
Orang yang meletakkan rasa takut dan harap sebagaimana dikehendaki Tuhan, tidak akan putus asa dan teperdaya. Dengan demikian, ia berarti telah berperilaku baik sesuai yang diajarkan Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Orang yang teperdaya adalah yang meletakkan sikap harap pada posisi takut. Ia mendurhakai Allah dan berbuat buruk sembari menghibur diri dengan ampunan dan rahmat-Nya. Di satu sisi mengerjakan dosa, dan pada sisi lain mengharapkan ampunan. Padahal, yang seharusnya dilakukan adalah menanamkan rasa takut dalam diri –sebagaimana dianjurkan Allah.
Jika merasa takut dan ingin melepaskan diri dari dosa, namun dihantui rasa putus asa tobatnya tidak diterima, maka timbulkan harapan untuk diri, sehingga keinginan bertobat tumbuh subur. Hanya dengan begini, ia bisa meletakkan rasa takut dan harap pada tempatnya –sebagaimana diperintahkan Allah.
Orang teperdaya memindahkan hal tersebut dari tempatnya. Meletakkan rasa harap di tempat rasa takut, dan mengira bahwa hal itu merupakan bukti baik sangka kepada Allah. Ia tertipu.
Diriwayatkan Wahab bin Munabbih berkata, “Berbaik sangka kepada Allah ialah menjauhi tipuan.” Diriwayatkan Lukman Hakim berkata kepada anaknya, “Anakku, jangan sampai kau tertipu. Menyia-nyiakan perintah Allah, lalu berangan-angan meraih ampunan-Nya.”
Misalnya, seseorang berjanji akan memberimu 1.000 dirham bila kau mendatanginya hari ini. Namun bila terlambat hingga besok, dia akan menghukum dan memenjarakanmu. Lalu kau berkata dalam hati, “Dia orang baik. Aku akan datang besok. Dia pasti memaafkanku dan tetap memberiku 1.000 dirham yang dijanjikan.”
Dalam kasus ini, kau sejatinya ingin menipunya. Sebab dia hanya menjanjikan 1.000 dirham jika kau datang hari ini, dan menjanjikan hukuman jika kau datang esok. Engkau datang keesokan harinya sembari berharap dia memberimu 1.000 dirham. Sungguh ironis, kau sia-siakan perintahnya tapi mengharapkan kemurahannya. Seandainya kau datang hari ini, ia pasti memenuhi janjinya. Sayang, kau abaikan kepercayaannya, dan memperdaya diri dengan menunda perintahnya sebagaimana yang dia inginkan.
Dengan begitu, berarti kau mengharapkan pemberian pada posisi di mana kau pantas dihukum.*/Abu Abdillah Al-Muhasibi, dari bukunya Hidup Tanpa Derita.