Oleh: Musthafa Luthfi
PRESIDEN Suriah, Bashar al-Assad, yang masih percaya rezimnya akan mempu mengatasi perlawanan oposisi yang ia sebut sebagai kelompok “teroris”, pada Rabu (17/4/2013) kembali menghembuskan ancaman kali ini ditujukan ke negeri jirannya di selatan, Yordania. Dalam wawancara khusus dengan TV Al-Akhbaria, ia mengingatkan bahwa krisis di negaranya dapat mengancam hingga ke Yordania.
Bashar mengatakan tidak yakin bila ratusan pemberontak memasuki Suriah secara sendiri-sendiri membawa senjata tanpa bantuan Yordania. “Saya berharap kepada tetangga kami Yordania agar realistis bahwa serangan tidak hanya berhenti pada perbatasan kami, Yordania bakal terkena dampak krisis Suriah,” antara lain isi wawancara panjang lebar dengan TV satelit Suriah tersebut.
Sebenarnya banyak hal dan pesan yang disampaikan Assad pada wawancara tersebut seperti eskalasi terhadap pemerintah Turki yang secara terang-terangan mendukung oposisi, namun ancaman ini bukanlah hal baru. Demikian pula dengan pesan yang ditujukan ke Barat dengan membesar-besarkan pengaruh al-Qaidah, juga bukan hal baru karena kedua pesan ini sudah sering didengungkan sejak unjukrasa meletus pada Maret 2011.
Mungkin pernyataan Assad terakhir yang perlu lebih dicermati adalah yang berkaitan dengan tetangganya Yordania yang selama dua tahun masa krisis Suriah berusaha untuk melaksanakan kebijakan yang dalam istilah media Arab an-Na`y an-Nafsi (menjauhkan diri) dari keterlibatan dalam krisis tersebut. Ibarat kata pepatah “tidak ada asap tanpa api”, pernyataan negatif terhadap tetangganya itu karena ada indikasi kuat Yordania bakal menanggalkan kebijakan an-Na`y an-Nafsi.
Ancaman Assad itu disampaikan menyusul laporan yang menyebutkan bahwa AS siap mengerahkan 200 pasukan elitnya melalui Yordania untuk mengantisipasi memburuknya situasi di Suriah dan pemerintah Yordania melalui Menteri Penerangan, Mohammad Momami, membenarkan rencana pengiriman pasukan tersebut dengan alasan yang sama. “Pengerahan pasukan itu sebagai bagian dari kerjasama militer AS dengan Yordania demi memperkuat angkatan bersenjata Yordania dalam menghadapi situasi memburuk di Suriah,” katanya seperti dikutip banyak media internasional.
Negeri kecil di Laut Tengah yang miskin sumber daya alam itu diperkirakan telah menampung 1,2 juta pengungsi Suriah yang seperempatnya adalah anak-anak usia sekolah. Menghadapi “perang kepentingan” negara-negara kawasan dan negara-negara besar, kelihatannya memang sulit bagi Yordania untuk teguh mempertahankan kebijakan “menjauhkan diri” dari krisis Suriah.
Bahkan sejumlah pengamat Arab menilai “mustahil” Yordania akan terus mempertahankan kebijakannya yang netral terhadap krisis yang menimpa tetangganya di utara. Baik rezim maupun oposisi Suriah akhirnya berhasil mematahkan kebijakan netral yang dilakukan sejumlah negara tetangga khususnya Libanon dan Yordania.
Libanon misalnya yang masih memiliki hubungan khusus dengan Suriah sudah tidak bisa mempertahankan kenetralannya dengan bargabungnya Hizbullah bersama pasukan rezim memerangi oposisi dan rakyat Suriah penentang Assad. Demikian pula dengan Yordania, setelah selama dua tahun bersikap netral akhirnya tidak ada pilihan lain kecuali menginzinkan pemasukan senjata dan relawan pendukung oposisi untuk ikut berperang melawan rezim.
Tentunya dengan pertimbangan untung-rugi, setelah dua tahun lamanya, negeri itu tidak bisa lagi menutup rapat perbatasannya sebagai jalur penyelundupan senjata dan sukarelawan ke negeri tetangganya yang sedang bergolak setelah solusi politis menemui jalan buntu. Negeri dengan potensi serba terbatas, berada di jantung krisis di kawasan yakni “Israel dan Palestina”, “Iraq dan Suriah” dan agak jauh sedikit Iran, sudah tidak mampu lagi melawan tekanan konsensus Arab dan Barat terkait krisis Suriah.
Bahkan sebagian pengamat Arab menyatakan “tidak aneh bila Yordania akhirnya terlibat dalam krisis Suriah, justru yang aneh terlambat terlibat dalam krisis ini”. “Yang aneh dari sikap Yordania justru keterlambatannya terlibat dalam krisis Suriah. Bila krisis ini sebagai penyebab perpecahan di Libanon, justru di Yordania sebaliknya sebagai faktor memperkokoh konsensus nasional di kalangan (elit) Yordania,” papar Hazem Shagia, dalam artikelnya di harian al-Hayat, Selasa (23/04/2013).
Yang dimaksud memperkuat konsensus nasional adalah kesatuan sikap antara pemerintah dan kubu Islamis yang sejak krisis Suriah meletus mendesak pemerintah agar mendukung oposisi anti rezim Assad. Kubu Islamis Yordania melihat bahwa menjadi kewajiban Yordania sebagai negara tetangga langsung mendukung saudara-saudaranya yang dibantai oleh rezim Assad.
Menurut salah satu analis Arab itu, Yordania sejak tahun 1950-an sudah punya pengalaman matang untuk bisa keluar dari dilema menghadapi situasi yang sangat pelik. “Karena itu, tidak mungkin berdiam diri sebagai penonton terhadap apa yang terjadi di Suriah apalagi menentang dua konsensus yang ada (maksudnya konsensus Arab dan Barat yang mendukung lengsernya rezim Assad)”.
Sikap Yordania itu, sudah jelas bukan hanya menghadapi tantangan dari Assad sendiri, akan tetapi sekutu Assad seperti Rusia yang menganggap penyebaran pasukan AS sebagai keputusan tidak konstruktif. “Langkah tersebut tidak akan mampu membawa Suriah keluar dari jalan buntu bahkan akan memperburuk situasi dan memperluas dimensi konflik ke tingkat regional,” kata Alexander Lukashevich, Jubir Kemlu Rusia memperingatkan.
Tolok ukur
Dengan perubahan sikap Yordania tersebut, maka negeri ini muncul sebagai tolok ukur ke arah mana perkembangan situasi Suriah ke depan terutama di bidang militer. Bagi pemerhati yang ingin melihat strategi militer untuk mengakhiri krisis di negeri Syam itu, bisa melihat “kasak-kusuk” yang berlangsung di negeri Petra itu, mulai dari penyelundupan senjata dan para petempur ke Suriah guna membantu al-Jeish al-Hurr (Tentara Kebebasan) melawan pasukan rezim hingga stretegi pasukan AS yang dikonstrasikan di negeri tersebut.
Amman sejak beberapa hari belakangan ini telah berubah menjadi pusat pertemuan intensif dari tokoh-tokoh regional dan internasional untuk membahas jalan yang terbaik secara militer guna membantu al-Jeish al-Hurr meningkatkan kemampuannya untuk menjatuhkan rezim tanpa memberikan peluang bagi kelompok militan berkuasa atau paling tidak persenjataan pemusnah massal (kimia) tidak jatuh ke kelompok militan.
Barat, terutama AS dan Israel berkepentingan agar senjata pemusnah massal itu tidak jatuh ke tangan kelompok militan yang berafiliasi ke al-Qaidah karena dikhawatirkan dapat digunakan untuk menyerang negeri Zionis itu. Karenanya, salah satu strategi yang kemungkinan dilakukan untuk mengantisipasi hal tersebut adalah dibukanya wilayah udara Yordania bila diperlukan bagi pesawat tempur Israel untuk menyerang Suriah.
Ini berarti, Yordania cepat atau lambat akan berada langsung di tengah peperangan terutama begitu Israel mengumumkan kepada masyarakat internasional bahwa rezim Assad menggunakan senjata kimia terhadap rakyatnya. “Skenarionya, AS akan menyerukan NATO untuk mendukung serangan Israel atau pasukan intervensi gerak cepat AS di Yordania untuk menguasai depot-depot senjata kimia Suriah,“ papar sejumlah pengamat Arab.
Dengan perubahan sikap Amman tersebut, semakin terlihat bahwa terjadi eskalasi sedemikian cepat di front Yordania-Suriah sehingga Yordania diprediksi akan menjadi pusat komando penyerangan militer ke negeri tetangganya Suriah. Banyak pihak yang mengkhawatirkan keterlibatan negeri kecil ini yang demikian jauh melampui garis merah, bisa jadi akan menjadi korban kepentingan negara-negara besar di kawasan dan luar kawasan.
“Hari-hari mendatang bagi Yordania sangat sulit dan negara-negara lainnya di kawasan juga tidak akan luput dari sambaran api krisis Suriah. Rezim Assad tampaknya menolak untuk jatuh sendirian tapi akan menggeret yang lainnya untuk jatuh bersamaan,” papar seorang pengamat Arab. Sebagai salah satu tetangga langsung Suriah, kekacauan militer dan kemanan di negeri tetangga dipastikan mengancam Yordania secara langsung.
Jalan keluar
Ibaratnya, Yordania akhirnya mulai main api krisis Suriah, maka banyak pihak yang memberikan masukan sebagai jalan keluar agar negeri kecil ini tidak menjadi korban. Sebagian pihak yang tidak setuju dengan keterlibatan langsung negeri Petra itu menyarankan agar Amman mengurungkan niat terlibat terlalu jauh dalam krisis tersebut meskipun menghadapi tekanan keras regional dan internasional dengan dalih apapun.
Bagi pihak yang menilai keterlibatan negeri itu sebagai keniscayaan berusaha meyakinkan bahwa ancaman Suriah hanya sebatas ancaman dan sebagian lainnya menawarkan opsi “penyelamatan” yang terkesan tidak jelas. Meskipun demikian, tetap tidak ada jaminan negeri yang sedang mengalami kesulitan ekonomi yang sangat berat akibat krisis di negeri tetangganya itu akan terhindar dari sambaran api krisis tersebut.
Terkait masukan pertama, agar negeri itu tidak terlibat langsung dalam masalah Suriah didasari kemungkinan Israel akan memanfaatkan Yordania untuk mencapai target tertentu di Suriah. Amman disarankan agar melepaskan tanggung jawab kepada negara besar untuk melakukan intervensi langsung ke negeri tetangganya itu meskipun sikap ini akan menyebabkan bantuan ekonomi akan tersendat.
“Yordan harus waspada terhadap kemungkinan konspirasi dan sebaiknya tidak terlibat langsung dalam krisis Suriah meskipun menghadapi kesulitan besar dan dengan dalih apapun….Negeri ini juga perlu mengatasi perbedaan pendapat di dalam negeri agar terhindar dari dampak krisis tersebut,” papar Emad Abdullah Eyashera, seorang analis Arab yang dikutip sejumlah media Arab, Rabu (24/04/2013).
Sedangkan pihak yang mendukung keterlibatan Yordania dalam krisis Suriah melihat bahwa ancaman Assad atas Yordania sebatas gertak semata karena ancaman yang lebih berbahaya justru datang dari kelompok radikal pasca kejatuhan rezim Assad. Dengan memberikan kemudahan bagi pemasukan senjata dan sukarelawan yang akan membantu Al-Jeish Al-Hurr, akan menjadi perisai bagi Yordania menghadapi kelompok militan tersebut nantinya.
Bagi yang melihat ancaman Assad serius, menyebutkan bahwa Yordania dapat meminta bantuan AS untuk menyebarkan rudal patriot di sepanjang perbatasannya dengan Suriah yang kemungkinan nanti akan berperan dalam membantu mempertahankan daerah-daerah yang telah berada dibawah kontrol al-Jeish al-Hurr. Langkah serupa pernah dilakukan negeri itu saat invasi AS atas Iraq pada 2003.
Memang banyak pihak yang menilai sikap terbaru Yordania ini adalah realistis mengingat terbatasnya kemampuan negeri mungil ini dan kondisi perekonomiannya yang sulit. Namun tidak dipungkiri juga bahwa keterlibatannya dalam “bermain api krisis Suriah” juga akan dibayar sangat mahal terutama dari sisi militer dan keamanan, apalagi belum ada jaminan krisis ini akan segera berakhir.*/Sana`a, 14 J. Thani 1434 H
Penulis adalah kolumnis hidayatullah.com, tinggal di Yaman