Berita tentang rencana pengkristenan anak-anak Aceh yang dimuat The Washington Post, 13 Januari 2005, telah memicu respons yang hebat. Berbagai organisasi keagamaan, baik Islam maupun Kristen, bereaksi. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga meminta berita tentang pemindahan 300 anak Aceh ke keluarga-keluarga Kristen di Jakarta itu diselidiki kebenarannya. Sehari setelah berita itu muncul dan memicu reaksi hebat di kalangan Muslim, tampaknya ada kegelisahan besar di kalangan pemuka-pemuka Kristen di Indonesia, sehingga mereka berinisiatif melakukan pertemuan dengan organisasi-organisasi Islam, terutama NU dan Muhammadiyah.
Pihak WorldHelp sendiri, seperti diberitakan koran yang sama sehari kemudian, menyatakan tidak melanjutkan rencananya untuk mengambil anak-anak Aceh untuk di-Kristenkan. Tetapi, karena sudah mengumpulkan dana misi Kristen, WorldHelp saat ini mencari anak-anak yatim Indonesia lainnya untuk ditempatkan di keluarga-keluarga Kristen, dan berusaha meyakinkan donaturnya, bahwa dana 70.000 USD akan digunakan sesuai dengan keinginan donaturnya.
Menurut Henry Lantang, wakil WorldHelp di Indonesia, pihaknya belum memindahkan anak-anak Aceh ke Jakarta. Ia hanya menginformasikan kepada WorldHelp bahwa ia membaca berita tentang 300 anak yatim Aceh yang menunggu untuk diterbangkan di Jakarta. Jadi, katanya, belum ada anak Aceh yang diterbangkan di Jakarta dan ditempatkan di keluarga-keluarga Kristen.
Penjelasan Henry Lantang itu perlu dicermati dan diperjelas. Apa yang sebenarnya dia sampaikan kepada WorldHelp pusat, sehingga mereka begitu bersemangat mengkristenkan anak-anak Aceh. Sebab, sehari sebelumnya, berita di The Washington Post cukup gamblang. Mengutip website WorldHelp, koran Amerika itu menyatakan, bahwa ”Di masa normal, Banda Aceh tertutup bagi orang asing dan juga penyebar agama.”
Tapi, karena kondisi darurat tak terelakkan, ada gempa tektonik dan tsunami, para misionaris memiliki hak untuk masuk dan menyebarkan agama mereka. Menurut Washington Post, WorldHelp bekerja sama dengan kelompok Kristen di Indonesia yang ingin menanamkan prinsip-prinsip Kristiani secepat mungkin.
WorldHelp menyebut anak-anak yang dibawanya kehilangan orang tua dan keluarganya. Rata-rata mereka berusia 12 tahun ke bawah. ”Mereka trauma, yatim-piatu, tidak punya rumah, tak tahu mau pergi ke mana, dan tak memiliki sesuatu untuk dimakan,” kata WorldHelp. Jika anak-anak itu tinggal bersama keluarga Kristen dan memeluk Kristen, kata WorldHelp, mereka bisa membawa ajaran itu ke Aceh. ”Kita ingin menjangkau Aceh lewat anak-anak itu,” kata WorldHelp. Dan Presiden WorldHelp, Pendeta Vernon Brewer, mengatakan organisasinya telah mengumpulkan 70 ribu dolar AS untuk Aceh. Targetnya, sampai 350 ribu dolar AS.
Akhir pekan sebelum berita Washington Post itu, WorldHelp meluncurkan aksi pengumpulan dana. Kata mereka, masyarakat Aceh sangat menentang keras agama lain. Mereka tidak terjangkau Injil. Sehingga pengambilan anak-anak Aceh itu akan menjadi pintu masuk mengkristenkan masyarakat Aceh.
Pengakuan WorldHelp itu tampaknya menjadi tamparan hebat komunitas Kristen. Apalagi, banyak diantara mereka yang juga sedang menyalurkan bantuan ke Aceh dalam berbagai bentuknya. Mungkin karena desakan dan protes hebat dari berbagai kalangan, maka kemudian pihak WorldHelp meralat rencananya untuk mengkristenkan anak-anak Aceh. Dalam pertemuan organisasi Kristen dengan beberapa organisasi Islam, tanggal 15 Januari 2005, keluarlah pernyataan, yang antara lain berbunyi sebagai berikut:
“Komunitas Kristen di Indonesia, dalam hal ini PGI dan KWI, menolak segala usaha untuk menyalahgunakan misi kemanusiaan sebagai cara kristenisasi. Hal ini bertentangan sama sekali dengan semangat dan ajaran Kristen yang sebenarnya.¨
Diantara penantangan pernyataan tersebut ialah Pdt. Dr. Andreas A. Yewangoe (Ketua Umum PGI), Rm. Benny Susetyo, Pr. (Sekretaris Eksekutif HAK-KWI), Prof. Dr. Ahmad Syafi’i Ma’arif (Ketua PP Muhammadiyah), K.H. Hasyim Muzadi (Ketua Umum PBNU).
Pernyataan itu menarik untuk dicermati. Sebab ini merupakan pernyataan resmi yang disepakati oleh para petinggi organisasi Kristen dan Islam di Indonesia, meskipun efektivitasnya masih bisa dipertanyakan. Pernyataan itu menunjukkan, bahwa Kristenisasi tidak perlu dipersoalkan, tetapi caranya bukan dengan menyalahgunakan bantuan kamanusiaan. Para penandatangan itu tidak menolak Kristenisasi, tetapi hanya menolak cara melalui penyalahgunaan bantuan kemanusiaan. Cara-cara Kristenisasi lain seolah-olah sah-sah saja digunakan.
Ketua Umum PGI A. Yewangoe sendiri tercatat sebagai pendukung kuat gerakan Kristenisasi di Indonesia. Itu bisa dibaca, misalnya, dalam sebuah tulisannya berjudul “Gereja di Era Reformasi¨, dalam buku Gereja dan Reformasi, (Yakoma-PGI, 1999:31-32), Yewangoe menolak statistik pemeluk Kristen versi pemerintah. Ia menulis:
“Saya sendiri tidak percaya statistik itu. Masa dalam sekian tahun tidak pernah jumlah orang Kristen bertambah, padahal kita tahu betul bahwa di banyak tempat terjadi baptisan-baptisan masal. Kalau sungguh-sungguh jujur, sebaiknya diadakan sensus dengan cara yang terbuka pula. Saya menaksir jumlah orang Kristen di Indonesia sekarang ini antara 16-17%, kalau lebih optimis 20%. Malah bisa lebih.
Agar kita mempunyai “counter data”, sebaiknya gereja-gereja mengadakan sensus sendiri, lalu data-data itu dikirim kepada Balitbang PGI. Kalau kita punya data-data yang akurat, maka kita dapat menolak penyajian data yang tidak tepat yang dilakukan oleh lembaga apa saja. Tetapi memang persentase yang kecil itu dengan sengaja dikemukakan berulang-ulang agar kita dirasuki “sikap mental minoritas”.
Sikap mental ini sangat berbahaya, apalagi kalau sudah memasuki gerenasi muda. Ini akan membawa mereka (dan kita sekalian) kepada “minderwaardigheids complex (mc). Lalu terus-menersu menganggap diri warga negara kelas dua. Gereja-gereja harus tegas dalam hal ini. Walaupun jumlah kita kurang dari orang lain, itu tidak berarti bahwa minoritas, lebih-lebih dalam proses pengambilan keputusan.¨
Begitulah sikap tegas dan jelas dari Ketua Umum PGI yang baru saja menggantikan Pdt. Nathan Setiabudi dalam Sidang Raya PGI beberapa waktu lalu. Jadi, Yewangoe tidak berkeberatan jika pihak Kristen melakukan baptisan-baptisan masal terhadap kaum Muslim atau pemeluk agama lain. Lalu, mengapa ia menolak cara-cara Kristenisasi dengan menggunakan bantuan kemanusiaan seperti dilakukan WorldHelp?
Kesalahan WorldHelp adalah mengekspose rencana itu dan menyatakannya secara vulgar. Kasus Kristenisasi melalui bantuan kemanusiaan sebenarnya bukan hal baru. Banyak jerat-jerat kristensasi dilakukan melalui pengobatan, bantuan makanan, beasiswa pendidikan, bahkan jerat utang-piutang.
Menjelang kedatangan Paus Yohanes Paulus II di Indonesia tanggal 3 Desember 1970, empat tokoh Islam Indonesia, yaitu M. Natsir, KH Masjkur, Prof. Rasjidi, dan KH Rusli Abdul Wahid menulis surat kepada Paus. Keempat tokoh itu meminta agar penyalahgunaan “Diakonia” (pelayanan masyarakat) untuk tujuan mengkristenkan orang Islam, segera dihentikan. Sebab, cara-cara itu sendiri sudah ditentang dalam Konferensi Internasional tentang misi Kristen dan Dakwah Islam di Chambessy pada bulan Juni 1976, dimana para pemimpin Islam, Katolik, dan Protestan sudah memutuskan:
“Konferensi mengutuk dengan keras semua penyalahgunaan diakonia Konferensi, karena menyadari dengan pedih bahwa sikap umat Islam terhadap misi Kristen telah dipengaruhi secara merugikan oleh penyalahgunaan diakonia, dengan keras mendesak greja-gereja dan organisasi-organisasi keagamaan Kristen untuk menghentikan penyalahguaan diakonia mereka di dunia Islam.”
Tapi, ya itulah, keputusan itu ibarat macan ompong. Aksi penyalahguaan diakonia tetap saja berlangsung di berbagai dunia Islam, dan memancing protes dari kaum Muslim dimana-mana. Dalam lampiran suratnya ke Paus itu, keempat tokoh mencantumkan berbagai aksi Kristenisasi yang menyalahgunakan diakonia. Contohnya, seperti praktik pemberian bantuan kepada orang miskin, penawaran pekerjaan, perbaikan rumah, pemberian beasiswa, kursus-kursus gratis, pertunjukan film, penyalahguaan transmigrasi, dan sebagainya.
Kita mengimbau agar pihak Kristen seyogyanya konsisten dengan pernyataan itu, dan menindak tegas oknum-oknum atau lembaga Kristen yang menyalahgunakan program kemanusiaan untuk misi Kristenisasi. Selama ini tidak terhitung cerita tentang dokter Kristen atau suster Kristen yang menjebak pasien Muslim untuk menerima kepercayaan tentang Tuhan Yesus. Di televisi dan masyarakat kita sering melihat para penyebar agama Kristen memanfaatkan pelayanan kemanusiaan berupa pengobatan atau doa pelayanan untuk menjebak orang non-Kristen masuk perangkap misi Kristen.
Di dunia pendidikan Kristen, tidak sedikit bukti-bukti tentang adanya usaha pelunturan aqidah para pelajar dan mahasiswa Muslim. Apakah semuanya itu bukan merupakan bentuk penyalahgunaan bantuan kemanusiaan untuk misi Kristenisasi?
Karena itu, sebaiknya ada usaha-usaha pro-aktif dari kalangan Kristen untuk meminta pemerintah melarang berbagai bentuk penyalahgunaan aksi kemanusiaan untuk Kristenisasi, sehingga pernyataan para tokoh Kristen itu bukan sekedar basa-basi karena tersudut oleh pengakuan terbuka strategi Kristenisasi lembaga misi Kristen seperti WorldHelp. Pada sisi lain, pemerintah juga bisa mengambil tindakan tegas terhadap para misionaris –terutama para evangelis dari AS—yang akhir-akhir ini begitu agresif menyerang Indonesia dengan gerakan misi mereka.
Namun, yang lebih penting adalah kalangan Muslim sendiri untuk memahami dengan baik, bentuk-bentuk misi Kristen itu sendiri. Misi Kristen bukanlah hanya dalam bentuk kristenisasi dalam arti pemindahan agama secara formal (proselitisasi). Dalam Katolik, misalnya, disebutkan, bahwa misi Kristen bisa dilakukan dalam berbagai bentuk dan tahap. Menurut The Document of The Attitude of the Church towards the Followers of the Religions: Reflections and Orientations on Dialogue and Mission, Citta del Vaticano: Secretariatus pro non Christianis (1984), misi Kristen adalah satu tetapi dilakukan dengan berbagai cara tergantung pada kondisi dan situasi.
Gerakan misi yang dilakukan melalui metode penyalahgunaan misi kamanusiaan sebenarnya saat ini sudah ketinggalan jaman, meskipun masih banyak yang menggunakannya. Bagi kaum Muslim, inti dari Kristenisasi adalah pemurtadan. Kalangan misi Kristen ada yang berpikir, Muslim tidak harus secara formal menjadi Kristen, tetapi yang penting ia tidak lagi meyakini kebenaran agamanya sendiri, sehingga tidak menjadi penghalang Kristenisasi. Maka, tidak jarang, dalam berbagai hal sulit dibedakan lagi, mana yang Islam dan mana yang Kristen. Sebab, kata mereka, agama apa saja adalah sama. Jika ada yang berpendapat semacam itu, bahwa semua agama adalah sama, maka inilah bentuk pelecehan terhadap Islam dan satu bentuk kebohongan yang nyata. Sebab, tidak mungkin ia telah mempelajari semua agama dan telah membaca semua Kitab agama-agama yang ada yang jumlahnya ribuan. Wallahu a’lam. (KL, 28 Januari 2005)