Sambungan artikel PERTAMA
Oleh: Dr. Adian Husaini
PROF. Wan Mohd Nor menjelaskan, bahwa berdasarkan definisi Prof. al-Attas tersebut, maka meskipun Islamisasi pengetahuan kontemporer yang diperlukan melibatkan proses dewesternisasi yang selektif, namun pada dasarnya merupakan sebuah proses kembali kepada pandangan alam yang metafisik, kerangka epistemik, dan prinsip-prinsip etika dan hukum Islam. Islamisasi bukan sekedar legalisasi dan penegakan sebagian entitas sosial-politik. Juga, ilmu pengetahuan tidak disamakan dengan sebatas fakta, keterampilan, atau teknologi. Demikian paparan Prof. Wan Mohd Nor.
Pada level individu ini, mahasiswa, dosen, dan seluruh civitas academica, seharusnya melakukan proses Islamisasi pemikiran dan akhlaknya, secara terus menerus, sampai menjadi muslim yang baik dan semakin baik. Dibimbing dengan worldview Islam, maka dia memahami segala objek realitas dengan cara pandang yang benar. Bahkan, mungkin karena keterpaksaan sistemik, meski suatu ketika dia dipaksa melakukan perbuatan yang tidak benar, maka dia tetap memahami bahwa tindakan itu tidak benar, dan dia senantiasa memohon pengampunan kepada Allah Subhanahu Wata’ala atas tindakan kelirunya karena terpaksa.
Seorang dosen sejarah yang diwajibkan menyampaikan kurikulum yang tidak Islami, misalnya, secara personal dia wajib paham, bahwa ilmu yang diajarkannya itu, bukan ilmu yang benar. Maka, dia harus mengkritik dan memberikan solusi dalam perspektif worldview Islam. Seorang dosen yang dipaksa mengajarkan buku ajar berisi materi HAM sekuler, misalnya, wajib memahami dan memahamkan, bahwa materi ajar dalam buku teks tersebut keliru, dan ia wajib memberikan solusinya secara Islami.
Itulah maksud Islamisasi pada level individu. Seorang dosen atau mahasiswa harus tetap menjadi Muslim yang baik, meskipun sistem dan lingkungan kampusnya tidak Islami. Sebab, yang dipertanggungjawabkan pada Allah Subhanahu Wata’ala, di Hari Akhir nanti adalah ilmu dan amal seseorang. Kekeliruan ilmu seorang dosen akan berdampak besar pada kerusakan ilmu dan amal secara luas. Sebab pada tingkat perguruan tinggi inilah dihasilkan para calon guru dan pemimpin di berbagai bidang kehidupan.
Seorang dosen yang memiliki kerangka epistemologis Islami, maka akan mampu mengintegrasikan tiga “sebab ilmu” bagi manusia, yaitu jalur inderawi, akal, dan wahyu Allah. Konsep-konsep kehidupan yang dihasilkannya pun bersifat integral dan tidak parsial, yang hanya mengandalkan kekuatan akal dan indera semata. Seorang ilmuwan geologi, misalnya, tidak hanya bicara tentang fenomena gempa bumi sebagai gejala alam semata, tetapi juga mengajak rakyat untuk mendekatkan diri kepada Allah agar tidak tertimpa azab dari Allah Subhanahu Wata’ala.
Jadi, dalam kondisi apa pun, pola pikir seorang dosen dan seluruh akademisi muslim haruslah bersifat Islami, dan secara otomatis, juga bersifat integral (universal). Ilmuwan-ilmuwan yang masih “alergi” untuk memasukkan wahyu Allah sebagai “sumber ilmu” cepat atau lambat insyaAllah akan semakin tergusur oleh arus besar Islamisasi ini.
Tingkatan KEDUA, adalah Islamisasi pada level kurikulum. Salah satu aktivitas perjuangan penting dari akademisi muslim adalah melakukan Islamisasi pada level kurikulum. Pada tingkatan ini, kurikulum baiknya disusun berdasarkan asas proporsional antara ilmu-ilmu yang fardhu ain dan fardhu kifayah. Tujuan pendidikan adalah untuk membentuk manusia yang baik – sebagai manusia. Dalam istilah Prof. Naquib al-Attas, tujuan pendidikan adalah “to create a good man as man”. Program pendidikan pun harus berjalan secara Islami, terutama untuk menanamkan adab dalam diri seseorang. Begitu juga sistem evaluasinya, harus memasukkan aspek adab dan akhlak. Dalam kaitan ini, penyusunan buku-buku ajar yang integral dan Islami sangat membantu kesuksesan program tersebut.
Secara konseptual, sepatutnya, Perguruan Tinggi Islam sudah harus mampu menyusun dan menerapkan kurikulum ideal semacam ini. Perguruan Tinggi harus menjadi tempat pendidikan untuk membentuk manusia yang beriman, bertaqwa, dan berakhlak mulia, sebagaimana dirumuskan dalam UU tentang Pendidikan Tinggi, UU No. 12/2012.
Tampaknya, hingga kini, masalah pembentukan sarjana yang berilmu, beradab, dan berakhlak mulia itu masih menjadi agenda besar di banyak perguruan tinggi Islam. Pada program Strata-1, saya mengusulkan, agar pada tahun pertama, semua mahasiswa baru dididik secara khusus dengan adab, agar imannya kokoh, bersemangat dalam beribadah dan meneladani Rasulullah saw, beradab pada guru dan orang tua, serta memiliki pola pikir Islami. Mahasiswa yang lulus tahap ini baru diizinkan memasuki spesialisasi ilmu di Fakultas atau progam studi tertentu, sesuai minat dan kebutuhan masyarakat. Ini penting untuk menghindarkan terjadinya lulusan-lulusan perguruan tinggi yang zalim dan biadab. Jadi, bukan hanya Indeks Prestasi akademik saja yang menjadi tolok ukur memasuki jenjang pelajaran berikutnya.
Jika saat ini kita menghadapi berbagai persoalan pelik di berbagai bidang kehidupan, cobalah kita lihat secara mendasar, apakah kita sudah benar dalam mengonsep dan menerapkan pendidikan kita, khususnya pada tingkat Pendidikan Tinggi? Jangan hanya menyalahkan politisi kita, tetapi tanyakan, apakah ada pendidikan tinggi kita yang mendidik seorang menjadi politisi yang baik? Jangan hanya menyalahkan jurnalis kita, tetapi mari kita introspeksi, di manakah kita bisa mendidik anak-anak kita menjadi jurnalis muslim professional dan berakhlak mulia? Ribuan sarjana agama kita luluskan setiap tahun. Berapakah dari mereka yang siap berjuang menegakkan kebenaran dan mencintai keilmuan Islam dengan sungguh-sungguh dan tulus ikhlas?
Pada tahap Islamisasi kurikulum inilah, maka patut ditekankan perlunya pemahaman yang benar akan konsep ilmu dalam Islam dan bagaimana konsep thalabul ilmi yang betul, yang – misalnya – sangat menekankan pada kualitas keilmuan dan keshalehan para guru. Harusnya, aspek formalitas gelar dan kepangkatan akademik, tidak diletakkan lebih tinggi daripada aspek kebenaran dan ketinggian akhlak sang guru.
Jadi, pada level kurikulum ini bukan hanya dilakukan “integrasi” antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum. Tetapi, model integrasi itu harus mengikuti konsep keilmuan yang benar. Jangan sampai, misalnya, Ilmu Tafsir digusur dengan Ilmu Hermenutika yang bersifat spekulatif dan berbasis relativisme nilai. Ilmu-ilmu wahyu yang bersifat pasti (qath’iy) tidak boleh dikalahkan oleh hasil eksperimen sosial yang bersifat empiris dan “quasi-ilmiah”.
Sebagai misal, meskipun secara empiris ditemukan sejumlah mahasiswa berhasil meraih prestasi akademik tinggi dibandingkan mahasiswa yang tidak berzina, bukan berarti zina menjadi boleh. Meskipun secara empiris ada pemimpin kafir yang suka menolong dan tidak korupsi, bukan berarti kekafiran itu sesuatu yang baik.
Tingkatan ketiga adalah Islamisasi kelembagaan. Hingga kini, masih ada dikotomi universitas Islam dan universitas “umum”. Sejumlah universitas Islam telah berusaha mengintegrasikan antara “fakultas umum” dan “fakultas agama” dalam satu lembaga pendidikan tinggi. Sebenarnya, dengan merujuk pada UU No 12/2012, dikotomi antara perguruan tinggi umum dengan perguruan tinggi agama, sudah tidak relevan lagi. Sebab, Tujuan Pendidikan Tinggi itu sudah sangat jelas, yaitu membentuk manusia yang beriman dan bertaqwa serta berakhlak mulia. Tetapi, saya mengusulkan, agar proses integrasi kelembagaan di tingkat universitas ini berjalan dengan alamiah, dan tidak dipaksakan, mengingat aspek kesejarahan dan kondisi faktual para staf pengajar saat ini.
Betapa pun kecilnya, semoga seminar dan gagasan tentang integrasi dan Islamisasi ilmu itu akan terus bergulir, dan kita akan menyaksikan banyak kampus – khususnya yang berlabel Islam – yang bisa kita banggakan sebagai tempat mencetak kader-kader ulama dan intelektual Muslim yang berilmu mumpuni dan berakhlak terpuji. Amin.[Bogor, 27 Maret 2015].*
Penulis adalah Ketua Program Magister dan Doktor Pendidikan Islam—Universitas Ibn Khaldun Bogor. Catatan Akhir Pekan (CAP) hasil kerjasama Radio Dakta 107 FM dan hidayatullah.com