oleh: Muhaimin Iqbal
DUA pekan lalu saya diundang oleh tokoh pedagang Tanah Abang yang sangat sukses, saking banyaknya kios yang dimiliki – dia sampai tidak hafal jumlahnya karena setiap saat ada kios baru yang sedang dalam persiapan. Dia mengajak saya blusukan dari kios ke kios, dan nyaris semua orang di pasar itu mengenalnya dan memanggilnya Pak Haji. Tetapi jangan dibayangkan ini bagian Tanah Abang yang gedungnya mentereng itu, ini sisi lain dari Tanah Abang yang saya sendiri baru tahu setelah seperempat abad lebih hidup di Jakarta.
Letaknya adalah dari stasiun kereta menuju bangunan pasar yang megah, di sepanjang jalan Anda akan jumpai bangunan-bangunan sederhana yang padat penuh dengan pedagang. Di antara bangunan ini bahkan sebagiannya menhadap ke sungai – yang Anda bisa bayangkan kondisinya sungai di pusat kepadatan penduduk Jakarta. Bila Anda pernah blusukan di antara bangunan-bangunan tersebut, besar kemungkinan itu milik Pak Haji yang saya ceritakan ini.
Saya yakin sebagian besar kita tidak tahu, bahwa baju-baju yang dijual di pasar Pak Haji ini adalah muara dari sekian banyak toko pakaian di seluruh nusantara bahkan juga negara lain. Baju-bajunya sama bagusnya dengan yang dijual di pasar yang mewah disampingnya, tetapi tentu dengan harga yang jauh lebih murah karena sewa tempatnya yang tidak mahal.
Rata-rata pedagang di pasar itu punya client base para retailer yang sudah lama dikenalnya. Mereka yang tahu keberadaan pasar ini dan tidak peduli dengan segala ketidaknyamanannya untuk berbelanja, tetapi yang jelas ada barang bagus dan murah disana.
Setelah Pak haji ini selesai mengajak saya tour sambil menjelaskan segala macam problema yang dihadapinya, Pak Haji ini ingin saya juga ikut memikirkan bagaimana mereka bisa memenangkan perasingan yang ada di depan mata. Saya tidak bisa langsung menjawabnya, pertama karena ini pasar yang sangat berbeda dengan yang pernah saya garap. Kedua saya juga rada minder, bagaimana saya bisa memberi masukan ke orang yang sudah begitu sukses dan dihormati di komunitasnya. Maka sampai pulang saya tidak merasa mampu memberikan masukan yang berarti.
Keesokan harinya saya berkesempatan jalan-jalan di mall paling mewah di Jakarta selatan, dari sulitnya mencari tempat parkir saya bisa menebak bahwa hari itu mall pasti lagi ramai-ramainya. Betul juga, di dalam manusia penuh sesak berlalu lalang. Tetapi saya amati ada yang rada aneh, di dalam deretan toko dan department store internasional yang menjadi icon mall itu – ternyata tidak begitu ramai. Di luar toko orang yang berlalu lalang juga tidak banyak yang mententeng tas hasil belanjaan.
Dari dua pengalaman ini saya kemudian membandingkannya secara sederhana. Di pasar tanah abangnya Pak Haji di atas, meskipun tempatnya kurang nyaman – tetapi pengunjung mereka adalah para pembeli yang serius. Di sisi lain di mall paling mewah di Jakarta Selatan tersebut, pengunjungnya sangat banyak – tetapi tidak berarti mereka pembeli.
Karakter para pengunjungnya –pun berbeda. Mayoritas pengunjung pasar Pak Haji adalah para pedagang/pemilik toko dari berbagai kota, yang rela bersusah payah untuk datang demi memperoleh barang yang bagus dengan harga grosir yang murah. Sedangkan para pengunjung mall mewah tersebut, rata-rata mereka datang untuk pleasure saja – mereka tidak peduli dengan harga barang disana – toh mereka belum tentu juga membelinya.
Dengan perbedaan karakter pasar dan pengunjungnya ini, mungkinkah keduanya disatukan? Secara fisik mungkin sulit. Tetapi dengan teknologi internet yang ada sekarang, hal ini menjadi sangat-sangat mungkin. Inilah yang saya sebut game changer-nya, yaitu pihak yang bisa merubah permainan. Siapa dia? Bisa siapa saja yang bisa memformulasikan business model baru dan merubah peta permainan di pasar.
Para pengunjung mall mewah yang menghabiskan pleasure time-nya di tempat-tempat yang sejuk di reastaurant atau foodcourt yang ada di mall tersebut, bisa saja pada saat yang bersamaan dia berbelanja pakaiannya di pasar Pak Haji di Tanah Abang.
Tidak sedikit di antara pengunjung mall tersebut yang saya amati mententeng Ipad, Galaxy dan sejenisnya untuk akses internet kapan saja dan di mana saja. Bahkan tidak sedikit pula yang lagi asyik browsing.
Lantas saya bayangkan dalam waktu yang tidak terlalu lama lagi, ketika mereka lagi cuci mata di mall mewah tersebut, melihat baju-baju yang mahal – mereka kembali ke ‘Laptop’-nya yang kini telah menjadi Ipad , Galaxy dan sejenisnya yang lebih praktis, dan menemukan baju yang sama persis dengan harga sepertiga atau separuhnya. Baju-baju yang bagus nan murah ini, nantinya bukan lagi privilege para pedagang yang mau bersusah payah datang ke Tanah Abang, tetapi menjadi pilihan bagi siapa saja yang mau browse and click dari mana saja dan kapan saja.
Maka inilah yang saya sarankan ke Pak Haji tersebut di atas untuk go to the next level, go internet and go e-commerce. Pertahankan pasar fisiknya untuk melayani existing market; expand dengan e-commerce untuk menggarap pasar baru yang sebelumnya tidak tersentuh!
Peluang untuk merubah permainan semacam inilah yang selama beberapa hari ini saya iklankan di situs ini. Sangat banyak pelamar sehingga saya belum sempat menjawabnya satu per-satu. Namun secara garis besarnya begini, dari sekian banyak pelamar E-Commerce Executive Trainee (EET), hanya sebagian kecil yang akan kami rekrut karena kebutuhannya tidak banyak.
Namun bagi para pelamar untuk menjadi pedagang, vendor/supplier dan para agents; insyaallah akan dibuka selebar-lebarnya dan akan kami undang untuk technical briefingnya tentative akhir April setelah system untuk tiga situs e-commerce yang saat ini dalam pengerjaan intensif – dapat di-launch. Untuk bisa memenangkan persaingan, kita memang harus bisa ikut merancang permainan itu sendiri, untuk itulah saya ingin mengajak Anda para pembaca situs ini, Insyaallah!
Penulis Direktur Gerai Dinar, kolumnis hidayatullah.com