Oleh: Muhaimin Iqbal
CERITA tentang kapitalisme yang memakan dirinya sendiri pernah saya ilustrasikan dengan kisah di mitologi Yunani kuno – Erisychthon – si tukang kayu serakah dalam tulisan tanggal 07 Maret 2009. Kini cerita yang sangat mirip itu berulang dengan gerakan yang menyebut dirinya Occupy Wall Street – gerakan pendudukan Wall Street oleh rakyat yang konon merepresentasikan kepentingan 99% rakyat Amerika.
Yang menarik bagi pelajaran kita adalah bila sistem ekonomi kapitalisme yang dibanggakan oleh negeri pengusungnya, ternyata membuat negerinya sendiri bangkrut dan 99 % rakyat tidak merasa diuntungkan – pantaskah ini kita ikuti ?.
Mengapa protes dengan pendudukan Wall Street yang merupakan icon kapitalisme Amerika begitu mudah mendapatkan fukungan rakyat dan bahkan dengan cepat menjalar ke kota lain? dugaan saya karena mereka memang mensuarakan isi hati rakyat negeri itu, mensuarakan penderitaan rakyat di bawah rezim kapitalisme.
Awalnya mereka memprotes tax cut yang diberikan oleh pemerintah bagi 1 % penduduk terkaya negeri itu, sementara mayoritas yang 99% rakyat menderita karena krisis ekonomi yang berdampak pada job cut, salary cut dan cut- cut yang lainnya yang berujung pada penurunan layanan umum untuk mayoritas masyarakat.
Lantas apa yang mereka perjuangkan?
Pertama mereka memperjuangkan dihentikannya dispensasi pajak bagi orang-orang kaya negeri itu – yang bisa menghemat uang negara sampai US$ 5 Milyar – jumlah ini menurut para demonstran tersebut cukup untuk membuat rakyat Amerika mampu bertahan hidup melewati krisis yang kini melanda.
Kedua, yang mereka perjuangkan adalah program penciptaan lapangan kerja yang nyata dan berarti, karena selama ini program-program penciptaan lapangan kerja hanya menjadi komoditas politik ketika para tokoh politik tersebut berkampanye meraih dukungan masyarakat.
Ketiga, mereka memperjuangkan penurunan biaya hidup yang meliputi biaya pendidikan, biaya kesehatan, dan biaya –biaya lainnya. Ini karena mereka merasakan betapa beratnya persaingan bekerja untuk memperoleh penghasilan, tetapi setelah mereka peroleh penghasilan tersebut dengan susah payah ternyata uang mereka memiliki daya beli yang rendah sehingga tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Ini ironi sekali sebenarnya karena sampai tahun 2010 lalu, menurut IMF GDP per capita Amerika adalah US$ 46,860 atau mencapai lima kali dari GDP per capita rata-rata penduduk dunia tahun tersebut yang berada pada angka US$ 9,238 per capita.
Mengapa dengan penghasilan yang begitu besar mereka masih menderita juga? bandingkan ini dengan GDP per capita Indonesia 2010 yang hanya US$ 2,974 atau kurang dari sepertiga GDP per capita rata-rata penduduk dunia atau kurang dari 1/15 GDP per capita rakyat Amerika. Pelajaran apa yang bisa kita peroleh ?.
Sederhana sebenarnya, bahwa sistem ekonomi kapitalisme ala Amerika ternyata tidak membuat rakyatnya berkecukupan.
Pertama, karena angka-angka penghasilan tersebut – hanya sekedar angka di atas uang kertas – yang daya belinya terus menurun, kedua karena tingginya penghasilan rata-rata tidak berarti penghasilan tersebut merata di sejumlah besar rakyatnya. Untuk Amerika, ya yang 1 % penduduknya yang berpenghasilan selangit, yang 99 %-nya tidak jauh berbeda dari negeri lain di dunia.
Lantas ketika suatu sistem di negerinya sendiri diprotes rakyatnya karena tidak bisa memakmurkan mereka, mengapa sistem yang sama mereka doktrinkan untuk diikuti di seluruh dunia? baik melalui pasar modalnya, perbankannya, sistem moneternya dlsb.dlsb.?
Mungkin inilah salah satu tafsir lubang biawak yang kita sudah diingatkan oleh uswatun hasanah kita lebih dari 1,400 tahun lalu : “Sedikit-demi sedikit kalian akan mengikuti sunnah-sunnah umat terdahulu. Sampai-sampai, andaikata mereka masuk ke lubang biawak, niscaya kalian juga ikut mereka memasukinya.” Ada yang bertanya , “ Wahai Rasululah, apakah mereka yang dimaksud adalah Nasrani dan Yahudi ?” Beliau menjawab, “Lalu siapa lagi?.” (HR. Bukhari Muslim).
Hadits tersebut diatas menjadi sangat relevan karena perilaku ekonomi kapitalisme Amerika tersebut diatas memang tidak lepas dari kendali kepentingan Yahudi dalam strateginya menguasai dunia, melalui salah satu caranya yaitu memiskinkan mayoritas umat di dunia dan mengijinkan segelintir orang saja di dunia yang bisa menjadi kaya.
Masihkah kita akan mengikuti mereka memasuki lubang biawak?, meskipun sangat berat karena semua sistem yang ada sekarang mengarahkan kita kesana, kita tetap harus terus berusaha menjauh dari pusaran lubang biawak tersebut. InsyaAllah kita bisa.*
Penulis adalah kolumnis hidayatullah.com, dan Direktur Gerai Dinar