Assalamu alaikum wr.wb
Ustaz, mohon penjelasan mengenai bermakmum pada salat. Apa cara yang paling afdhal jika kita ingin bermakmum pada seseorang yang telah lebih dahulu melaksanakan salat sendirian? Apa dasar syar’i bermakmum pada seorang yang masbuk?
Terima kasih.
Wasalamu alaikum
Djupri
Surabaya
Waalaikum salam wr.wb
Masalah bermakmum pada seorang yang masbuk sering terjadi, tetapi memang jarang mendapat porsi pembahasan memadahi, apalagi dengan memberikan rujukan kepada dalil. Masalah ini dapat dijelaskan dengan merujuk kepada hadis-hadis tentang penetapan Rasulullah s.a.w atas perilaku sahabat, bukan perilaku Nabi sendiri, sebab tentu beliau selalu menjadi imam dan tidak menjadi makmum, apalagi masbuk. Dan pula tentu tidak ada riwayat Nabi bermakmum kepada seseorang yang tadinya makmum masbuk.
Beberapa riwayat yang dapat dijadikan sandaran untuk menjawab pertanyaan Anda adalah:
a. Riwayat Ibnu Abbas, di mana beliau menceritakan: ”Aku menginap di rumah bibiku Maimunah (istri Rasulullah), maka Rasulullah s.a.w bangun pada malam hari. Beliau berwudhu kemudian mengerjakan salat. Maka aku bangun dan berwudu sebagaimana beliau berwudu, lalu aku datang dan berdiri di samping kirinya, maka Rasulullah memegang tangan kananku dan menggeserku di belakangnya kemudian menempatkanku di samping kanannya, lalu aku salat bersamanya”. (HR. Bukhari : 658 dan Muslim : 1279)
b. Hadis riwayat Anas Ibn Malik yang menyatakan bahwa Rasulullah s.a.w melakukan salat pada bulan Ramadan, ia berkata: ”Maka aku datang dan berdiri di sampingnya, kemudian datang orang lain, lalu berdiri di samping saya, hingga kami jadi satu kelompok. Tatkala Nabi menyadari keberadaan kami, beliau mempercepat salatnya”. (HR. Muslim : 1848)
c. Hadis riwayat ‘Aisyah r.a: ”Bahwasanya Rasulullah s.a.w salat di rumahnya, sedangkan dinding kamar itu pendek, maka orang-orang melihat diri Rasulullah s.a.w. Kemudian orang-orang melaksanakan salat mengikuti salat Rasulullah. Pagi harinya mereka saling membicarakan. Kemudian Rasulullah salat pada malam yang kedua, maka orang-orang salat mengikuti salat beliau. (HR. Bukhari : 687)
d. Hadis riwayat Abu Sa’id al-Khudri: ”Bahwasanya Rasulullah s.a.w melihat seseorang salat sendirian, maka beliau bersabda: ”Tidakkah ada seseorang yang bersedekah untuk orang ini, dengan salat mengikutinya?” (HR. Ahmad, Abu Dawud, al-Turmudhi)
Dengan mencermati keempat hadis tersebut, jelas semuanya menunjukkan atas sahnya shalat orang yang bernakmum kepada orang lain, walaupun tanpa disadari oleh orang yang dijadikan imam itu.
Pada hadis pertama, Nabi pada awalnya salat sendiri, kemudian diikuti Ibn Abbas. Dan pada hadis terakhir, jelas tawaran dan motivasi Rasulullah s.a.w itu, pada saat si laki-laki itu telah memulai shalat. Tentu semua gambaran hadis di atas adalah salat yang sah. Kesimpulannya perubahan status seseorang di tengah-tengah salat, dari sendiri (munfarid) menjadi imam, adalah sesuatu yang dibenarkan oleh Rasulullah s.a.w.
Bila kesimpulan tersebut kita terapkan kepada masalah bermakmum kepada makmum masbuk yang melanjutkan salat setelah imam selesai salat, maka hukumnya boleh dan sah juga.
Sebabnya adalah pertama; tidak adanya perbedaan antara orang yang salat sendirian dari dari awal dengan makmum masbuk yang sedang meneruskan shalat itu, karena orang kedua ini telah terlepas ikatan dari mengikuti imam sejak imam selesai. Hingga dengan demikian ia dapat dijadikan imam sebagaimana orang yang salat sendirian sejak awal, sebagaimana tercontohkan dalam hadis-hadis di atas.
Kedua; tidak ada syarat sah jadi imam bahwa ia mengetahui diangkat oleh makmum dan tidak ada syarat sah menjadi makmum diketahui oleh imam.
Alasan kedua ini juga sekaligus menjawab pertanyaan saudara tentang cara yang afdhal tatkala kita hendak bermakmum kepada orang yang tadinya salat sendirian. Bagi orang yang hendak bermakmum, cukup berdiri pada posisi yang tepat, yaitu di samping kanan orang yang dijadikan imam tersebut, sebagaimana posisi Ibnu Abbas pada hadis pertama. Dan bila banyak, maka berada di belakangnya, tanpa ada keharusan memberikan isyarat dengan cara menepuk atau yang lainnya. Sebab, tidak ada riwayat yang menyatakan sahabat menepuk Nabi atau menggunakan isyarat lain, saat ingin bermakmum dengan beliau pada salat lail itu. Walaupun memberi isyarat itu tidak dapat dikatakan mengurangi afdaliah itu. Wallahu a’lam.