Hidayatullah.com | Assalamu’alaikum Warahmatullahi wabarakatuh. Ada teman saya diajak menikah dengan seseorang, tetapi dulunya, ia dikenal sebagai pezina, bagaimana hukumnya? Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Wassalam
Anita | Jambi
Jawab:
Sebagian ulama berpendapat bahwa haram hukumnya menikah dengan orang yang berzina atau pezina sehingga dia bertaubat. (Ibnu Qudamah, al-Mughni : 6/601-602, Ibnu Taimiyah, Majmu’ al-Fatawa : 32/109-110, Ibnu Najjar, Muntaha al-Iradat, hlm: 95).
Dalil-dalilnya yang mereka ungkapkan adalah sebagai berikut :
Pertama, firman Allah subhanallahu wa ta’ala,
اَلزَّانِيْ لَا يَنْكِحُ اِلَّا زَانِيَةً اَوْ مُشْرِكَةً ۖوَّالزَّانِيَةُ لَا يَنْكِحُهَآ اِلَّا زَانٍ اَوْ مُشْرِكٌۚ وَحُرِّمَ ذٰلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ
“Laki-laki yang berzina tidak boleh menikah kecuali dengan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik, dan perempuan yang berzina tidak boleh dinikahi kecuali oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang beriman.” (QS: an-Nur: 3).
Ayat di atas menunjukkan haramnya menikah dengan orang yang berzina atau pezina, dan keharaman ini menjadi hilang jika orang tersebut telah bertaubat. Sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ:
التَّائِبُ مِنْ الذَّنْبِ كَمَنْ لَا ذَنْبَ لَهُ
“Orang yang bertaubat dari dosanya sebagaimana orang yang tidak memiliki dosa.“ (HR. Ibnu Majah, no: 4391, al-Baihaqi, no: 21070, dalam “ Shohih Al Jami’ “ no : 3008 dan dalam “Shohih at-Targhib wa at-Tarhib, no: 3145 ).
Tetapi mayoritas ulama mengatakan bahwa lafadh “hurrima“ pada ayat di atas artinya bukanlah pengharaman namun sesuatu yang makruh dan dibenci serta tidak pantas. Selain itu, mereka mengatakan bahwa ayat itu telah dibatalkan ketentuan hukumnya dengan ayat-ayat lainnya, sebagaimana yang disebut di atas.
Bahkan sebagian ulama mengatakan bahwa maksud dari ayat di atas bukanlah menikah, akan tetapi menggauli, sehingga artinya adalah, “Laki-laki yang berzina tidaklah ada yang menjawab keinginannya untuk berzina kecuali perempuan yang berzina juga, atau perempuan musyrik yang tidak menganggap haram perbuatan zina.“ ( Abdullah al-Bassam, Taudhih al-Ahkam: 2/ 302).
Kedua, diriwayatkan dalam suatu hadist bahwa di Makkah adalah seorang pelacur yang bernama ‘Anaq, dan dia mempunyai sahabat yang bernama Martsad. Suatu ketika Martsad mendatangi Rasulullah ﷺ seraya bertanya,
يَا رَسُولَ اللَّهِ أَنْكِحُ عَنَاقَ قَالَ فَسَكَتَ عَنِّي فَنَزَلَتْ { وَالزَّانِيَةُ لَا يَنْكِحُهَا إِلَّا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ } فَدَعَانِي فَقَرَأَهَا عَلَيَّ وَقَالَ لَا تَنْكِحْهَا
“Wahai Rasulullah shalallahu ﷺ bolehkan aku menikah dengan Anaq ? Rasulullah tidak menjawab pertanyaan tersebut. Kemudian turunlah (Qs. an-Nur: 3). Setelah itu, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam memanggil Martsad dan bersabda, “ Janganlah kamu nikahi perempuan tersebut.” (HR at-Tirmidzi, Abu Daud dan an-Nasai).
Selain harus bertaubat, pendapat ini mensyaratkan juga agar perempuan yang telah melakukan perzinaan tersebut harus istibra’, yaitu mengkosongkan rahim dengan satu kali haidh. Dalilnya adalah hadist Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa ﷺ salam bersabda,
لَا تُوطَأُ الْحُبْلَى حَتَّى تَضَعَ وَلَا غَيْرُ ذَاتِ حَمْلٍ حَتَّى تَحِيضَ حَيْضَةً
“Perempuan hamil tidak boleh disetubuhi sampai dia melahirkan, sedangkan perempuan yang tidak hamil tidak boleh disetubuhi sampai dia berhaidh satu kali.“ (HR Abu Daud no : 2159 dan Ahmad no : 11911, Darimi, no : 2350 , dan Hakim no : 2790, al-Baihaqi no : 11105 , Hadist ini dihasankan oleh Ibnu ‘Abdul al-Barr di dalam At-Tamhid : 3/143, dan Ibnu Hajar di dalam Talkhis al-Habir : 1/ 275).
Hal ini dikuatkan dengan hadist Ruwaifi’ bin Ats Tsabit Al Anshari bahwasanya Rasulullah ﷺ bersabda,
لَا يَحِلُّ لِامْرِئٍ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ أَنْ يَسْقِيَ مَاءَهُ زَرْعَ غَيْرِهِ يَعْنِي إِتْيَانَ الْحَبَالَى وَلَا يَحِلُّ لِامْرِئٍ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ أَنْ يَقَعَ عَلَى امْرَأَةٍ مِنْ السَّبْيِ حَتَّى يَسْتَبْرِئَهَا
“Tidak dihalalkan bagi seseorang yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk menuangkan airnya di dalam tanaman oran lain dan tidak dibolehkan bagi seseorang yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk menggauli seorang tawanan perempuan sampai dia membersihkan rahimnya “ (HR. Abu Daud no : 2160, Ahmad no : 17435, al-Baihaqi, no : 16002, hadist ini dishahihkan oleh Ibnu Katsir di dalam “Irsyad al-Faqih“ : 2/236.
Maksud hadist di atas adalah bahwa seseorang tidak boleh menggauli seorang perempuan yang sudah digauli orang lain (telah berzina) sehingga dia membersihkannya dengan satu kali haidh.
Pendapat yang Kuat – wallahu a’lam- : adalah bahwa menikah dengan orang yang pernah berzina adalah boleh tapi makruh, sampai dia bertaubat dan membersihkan rahimnya dengan sekali haidh, hal itu dimaksudkan agar tidak terjadi percampuran air mani di dalam rahim seorang perempuan.*/ ✒ DR. Ahmad Zain An-Najah, MA.