Ulama Madzhab Hanbali dan sebagian ulama Madzhab Hanafi –yang berpendapat mengamalkan qunut Subuh tidak disunnahkan— menganjurkan makmum mengikuti imam
Hidayatullah.com | SAYA tidak biasa mengamalkan qunut saat shalat Subuh, tetapi komplek perumahan saya imamnya mengamalkan qunut. Apakah saya harus juga harus mengikutinya? (Abdullah | Surabaya)
Jawaban: Madzhab Imam Syafi`i banyak dianut oleh umat Islam di Indonesia, sehingga banyak pula masjid atau mushalla yang praktik ibadahnya mengikuti madzhab ini.
Yang mudah didapati dari praktik itu adalah pengamalan qunut pada shalat Subuh di rakaat ke dua setelah i`tidal. Nah, apa yang mestinya dilakukan ketika seseorang yang mengikuti pendapat bahwa qunut Subuh tidak disunnahkan, sedangkan ia berma`mun kepada imam yang berqunut?
Hukum Qunut Subuh Menurut Para Mujtahid
Sebelum sampai pada pembahasan mengenai perkara di atas, tentu kita perlu mengetahui hukum mengamalkan qunut Subuh menurut para ulama. Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum qunut Subuh.
Qunut Subuh hukumnya sunnah bagi Imam Syafi`i, Imam Malik, Dawud Adz Dzahiri, Ibnu Abi Laila, Hasan bin Ash Shalih dan para mujtahid lainnya. Adapun Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad, dan Sufyan Ats Tsauri, mereka berpendapat bahwa qunut Subuh tidak disunnahkan. (Lihat, Majmu` Syarh Al Muhadzdzab, 3/504, juga Al Mughni 2/144).
Masing-masing ulama memiliki dalil atas pendapat yang mereka anut, yang mana tidak memungkinkan untuk dibahas dalam tulisan ini.
Bermakmum Shalat Subuh kepada Imam yang Berqunut
Para ulama yang menganut Madzhab Imam Ahmad dan Imam Abu Hanifah – yang mana mereka berpendapat bahwasannya qunut Subuh tidak disunnahkan – telah membahas apa yang perlu dilakukan penganut dua madzhab itu jika bermakmum kepada mereka yang melakukan qunut saat melaksanakan shalat Subuh.
Taqiyuddin Muhammad bin Ahmad Al Futuhi Al Hanbali (972 H) menjelaskan, ”Barangsiapa bermakmum kepada seorang yang ber-qunut di shalat fajar hendaklah ia mengikuti dan mengamininya.” (Muntaha Al Iradat, 1/268).
Sedangkan Manshur bin Yunus Al Buhuti Al Hanbali (1051 H) juga berkata, ”Barangsiapa bermakmum kepada orang yang mengamalkan qunut di shalat fajar hendaklah ia mengikuti imam dan mengamininya.” (Ar-Raudhl Al Murbi`, hal. 115).
Para ulama Madzhab Hanbali berpendapat seperti di atas berhujjah dengan hadits:
عن أبي هريرة، عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال: (( إِنَّمَا جُعِلَ الإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ، فَلاَ تَخْتَلِفُوا عَلَيْهِ)) (رواه البخاري في الصحيح: 722, 1/145)
Artinya: Dari Abu Hurairah, dari Nabi ﷺ, sesungguhnya ia bersabda,”Sesungguhnya dijadikan seorang imam agar ia diikuti, maka janganlah kalian menyelisihinya.” (Riwayat Al Bukhari dalam Ash Shahih: 722, 1/145).
Para ulama Madzhab Hanbali juga berdalil pada qiyas, yakni sebagaimana makmum mengikuti imam yang melaksanakan qunut nazilah, demikian pula mereka mengikuti imam yang mengamalkan qunut di shalat fajar. (Lihat, Syarh Muntaha Al Iradat, 1/242).
Adapun bagi Mazab Hanafi, jika seseorang bermakmum dalam shalat fajar pada seorang imam yang berqunut, ada perbedaan pendapat di kalangan para ulama nya. Pendapat Imam Abu Hanifah dan Imam Muhammad bin Hasan menyatakan bahwasannya makmum tidak mengikuti imam berqunut karena perkara itu mansukh.
Namun pendapat Imam Abu Yusuf menyatakan bahwasannya makmum ikut berqunut. Imam Abu Yusuf berhujah bahwasannya makmum mengikuti imam, hal itu dikarena mengikuti imam adalah hukum asal. Juga karena masalah qunut Subuh adalah masalah ijtihadiyah, sebagaimana masalah jumlah takbir dalam shalat dua hari raya. (Tabyin Al Haqa`iq, 1/171).
Nasihat Ibnu Taimiyah
Ibnu Taimiyah, seorang mujtahid dalam Madzhab Hanbali berkata, “Sesunggunya para ulama bersepakat bahwa siapa yang men-jahr-kan basmalah maka sah shalatnya, dan siapa yang memelankannya maka sah shalatnya juga sah. Dan bagi siapa yang berqunut di shalat Subuh maka shalatnya sah, dan siapa yang tidak berqunut maka shalatnya juga sah, demikian pula qunut dalam witir. (Lihat, Majmu` Al Fatawa, 22/267).
Di tempat lainnya, Ibnu Taimiyah menyatakan, ”Hendaklah bagi makmum mengikuti imamnya dalam perkara yang dibolehkan padanya ijtihad. Jika imam berqunut, makai ia (makmum) juga berqunut bersamanya. Jika ia (imam) tidak berqunut, maka ia (makmum) tidak berqunut. Sesungguhnya Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:
إنَّمَا جُعِلَ الْإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ)) (رواه البخاري في الصحيح: 722, 1/145)))
“Artinya: Sesungguhnya dijadikan seorang imam agar ia diikuti, maka janganlah kalian menyelisihinya.” (Riwayat Al Bukhari dalam Ash Shahih: 722, 1/145) (Lihat, Majmu` Al Fatawa, 23/166)
Walhasil, para ulama Madzhab Hanbali dan sebagian dari ulama Madzhab Hanafi –yang berpendapat bahwasannya mengamalkan qunut Subuh tidak disunnahkan— berpendapat bahwa bagi makmum untuk mengikuti imam dalam amalannya, termasuk melaksanakan qunut shubuh.
Dan pendapat ini bisa menjadi wasilah untuk semakin mempererat dan mendekatkan hati sesama umat Islam, meski mereka menganut berbagai macam madzhab dalam fiqih.Wallahu a`lam bish shawab.*/Thoriq, LC, MA