Hidayatullah.com– Berhane Abrehe, seorang mantan menteri keuangan Eritrea dan pengkritik vokal presiden negara itu, telah meninggal dunia di dalam penjara, kata keluarganya.
Pria berusia 79 tahun itu merupakan pejabat menteri keuangan Eritrea terlama, tetapi kemudian dicopot dari posisinya pada 2012 setelah berseteru dengan Presiden Isaias Afwerki.
Enam tahun kemudian, dia dijebloskan ke dalam tahanan setelah merilis sebuah buku di mana dia menggambarkan Presiden Isaias Afwerki sebagai “diktator” yang perlu mengundurkan diri.
Keluarganya mengatakan kepada BBC bahwa pihak berwenang Eritrea memberitahukan mereka perihal kematian Berhane.
Otoritas Eritrea sangat jarang mengkonfirmasi kematian pejabat tinggi yang sedang ditahan dan di mana lokasi pemakamannya.
Keluarga Berhane mengatakan bahwa mereka mendengar kabar bahwa bekas menteri itu akan dikubur di Taman Makam Pahlawan Asmara. Hanya veteran perang kemerdekaan Eritrea, seperti halnya Berhane, atau anggota dinas keamanan negara yang berhak dikubur di sana.
Dilahirkan di Eritrea pada tahun 1945, Berhane memperoleh gelar MA di bidang ekonomi dari sebuah universitas Amerika Serikat sebelum bergabung dalam perjuangan kemerdekaan dari Ethiopia.
Jasadnya bapak empat anak itu belum diserahkan, kata keluarganya, dan tidak jelas kapan dan bagaimana pastinya Berhane wafat, lapor BBC Jumat (23/8/2024).
Selama ini Berhane tidak pernah dihadapkan ke meja hijau.
Perseteruan antara Berhane dengan Presiden Isaias dimulai saat Berhane menjabat sebagai menteri keuangan selama 12 tahun, di mana ia mendesak Isaias untuk bersikap transparan terhadap anggaran negara. Anggaran negara Eritrea sampai saat ini masih belum jelas dan tidak dapat diakses oleh publik.
Presiden Isaias memerintah negara di Afrika bagian timur itu tanpa melalui pemilihan umum nasional, sejak Eritrea mendeklarasikan kemerdekaan usai kemenangan perang melawan Ethiopia pada tahun 1991.
Pada tahun 2012, Berhane dicopot dari jabatannya dan disingkirkan dari dunia politik.
Tiga tahun kemudian dia diam-diam menulis buku dua jilid berjudul “My Country”, dan mengirimkannya ke luar negeri untuk diterbitkan.
Selain menyebut bekas bosnya itu sebagai diktator dan menuntut agar dia mengundurkan diri, Berhane menggunakan buku tersebut untuk menantang Isaias melakukan debat di televisi nasional.
Dia juga menyerukan pemulihan Majelis Nasional, parlemen Eritrea yang telah dibubarkan oleh Presiden Isaias pada tahun 2002.
Hingga hari ini, belum ada badan legislatif yang dapat meminta pertanggungjawaban dari presiden.
Pada tahun 2018, setelah Berhane menerbitkan bukunya tersebut, dia ditahan dan dipenjara di lokasi yang tidak diketahui.
Saat itu istrinya juga sudah berada di penjara, meskipun tidak disebutkan alasannya. Istri Berhane kemudian dibebaskan pada tahun 2019.
Putra-putra Berhane, yang juga ditahan pada waktu yang sama dengan ibunya, sebelumnya menceritakan kesulitan yang dialami keluarganya kepada BBC.
“Saya hidup dengan secercah harapan bahwa ayah saya yang memiliki masalah kesehatan [akan keluar dari penjara suatu hari nanti],” kata Efrem Berhane pada tahun 2020.
Pria berusia 31 tahun yang tinggal di Amerika Serikat setelah melarikan diri dari Eritrea itu berkata, “Bagaimana orang bisa diculik oleh pemerintah dan menghilang selama bertahun-tahun? Mengapa ada orang yang menunjukkan kekejaman seperti ini kepada sesama manusia?”
Namun, beberapa pejabat Eritrea lain dipenjara lebih lama lagi.
Pada bulan September 2001, sebelas menteri senior dan jenderal yang merupakan bagian dari kelompok yang dikenal sebagai “G-15” ditangkap setelah mereka mengkritik Presiden Isaias. Kelompok tersebut – yang terdiri dari tiga mantan menteri luar negeri, seorang menteri pendidikan, dan seorang mantan kepala staf angkatan bersenjata – tidak pernah terlihat lagi sejak saat itu.
Di Eritrea, tahanan politik sering kali dilarang berhubungan dengan dunia luar.
Perserikatan Bangsa-Bangsa dan kelompok-kelompok peduli hak asasi manusia sejak lama menuduh pemerintahan Presiden Isaias melakukan pelanggaran hak asasi manusia berat, termasuk penyiksaan, penghilangan paksa dan pemenjaraan puluhan ribu orang dalam kondisi yang tidak berperikemanusiaan.*