BAGI kawula muda, bahagia merupakan kata yang amat didamba plus sering diumbar, entah via coretan, atau via status di media sosial, sampai pada ungkapan-ungkapan keseharian. Dan, yang menarik untuk diperhatikan adalah apakah dalam bulan Ramadhan ini kita berbahagia?
Sebuah studi dari University of Southern California menyimpulkan bahwa orang yang mengabadikan seluruh kegiatan harian untuk dipamerkan di media sosial, merupakan kelompok orang yang lebih bahagia.
Artinya, semakin seseorang sering memotret, kemudian diunggah ke media sosial, berarti orang itu telah bahagia. Sebaliknya, yang tidak memotret dan tidak mengunggahnya ke media sosial bisa kurang bahagia.
Mungkin sebagian kawula muda yang kurang teliti bisa langsung menelan hasil riset tersebut. Tetapi, apakah iya orang tua kita, yang religius, yang tidak main media sosial dan tidak suka memotret makanan yang akan dimakan di rumah makan tidak bahagia?
Atau mungkin, mereka yang sebaya dengan kawula muda, yang berada di pesantren dan atau yang sedang kuliah, namun secara sengaja menghindarkan diri bermain gadget secara tidak proporsional tidak bahagia? Sementara mereka sedang berjibaku dengan pelajaran, kitab demi merengkuh ilmu untuk masa depan mereka, membanggakan kedua orang tuanya dan ingin sekali hidup bermanfaat, juga tidak bahagia?
Jika yang dimaksud riset di atas adalah senang, mungkin bisa diterima akal sehat. Tetapi, kalau bahagia belum tentu. Apalagi, seperti jamak dipahami, umumnya orang memasang status atau mengunggah foto dan video di media sosial yang paling ditunggu adalah like dari banyak akun. Semakin banyak yang like, semakin senanglah hati kita. Tapi, andai like itu datang tidak sesuai harapan, atau malah muncul comment diluar dugaan, semakin tidak tenanglah diri kita.
Oleh karena itu, tidak ada bahasan tentang kebahagiaan yang betul-betul valid selain merujuk pada apa yang dilakukan oleh Nabi Muhammad Shallallahu alayhi wasallam dan para sahabat setianya.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah, dia mengatakan, “Datang seorang laki-laki dan berkata kepada Nabi, Wahai Rasulullah, sedekah apakah yang paling utama (terbaik)?”
Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassallam bersabda, “Engkau bersedekah dan engkau dalam keadaan sehat dan sangat menginginkan, engkau takut kefakiran dan menginginkan kekayaan, dan janganlah engkau lalai. Hingga apabila (napas) telah sampai di kerongkongan, engkau berkata: Untuk fulan sekian dan untuk Fulan sekian, dan telah menjadi milik Fulan!” (HR Bukhari).
Care itu Membahagiakan
Hadits ini nampaknya sangat memotivasi seorang sahabat yang bernama Abu Thalhah dan istrinya Ummu Sulaim. Keduanya benar-benar ingin mendapatkan apa yang kita damba dengan nama kebahagiaan itu. Yang menariknya, upaya mereka berdua juga merupakan hadits Rasulullah.
Imam Muslim meriwayatkan, Dikisahkan pada suatu hari seorang musafir menemui Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam dan berkata, “Ya Rasulullah saya sangat kelaparan dan Engkaulah orang terbaik yang pernah kudengar”
Selanjutnya Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassallam mendatangi seorang Istrinya dan berharap ada makanan yang dapat di berikan oleh musafir tersebut. “Tidak ada apa-apa kecuali hanya air minum”, jawab Istrinya. Jawaban serupa beliau peroleh tatkala memasuki rumah istri-istrinya yang lain. Karena tidak ada makanan sedikitpun. Maka Rasulullah menemui para sahabatnya.
Kemudian Rasulullah berkata kepada para sahabatnya “Siapa yang bersedia menjamu tamuku ini, InsyaAllah, akan mendapat Rahmat-Nya”.
Kemudian Abu Thalhah maju dan berkata “Ikutlah bersama ku wahai saudaraku, InsyaAllah aku bisa membantumu”. Lelaki tersebut akhirnya dibawa oleh Abu Thalhah kerumahnya, setelah sampai dirumahnya dipersilahkan tamunya untuk masuk. Selanjutnya Abu Thalhah menemui Istrinya dan berkata : “Adakah makanan buat tamu Rasulullah ini?”.
“Secuil makanan pun tidak ada, kecuali untuk sekali makan untuk anak kita”, jawab Rumaisha binti Milhan atau Ummu Sulaim istri Abu Thalhah.
Abu Thalhah berkata : “Baik lah tidurkan saja anak kita, dan hidangkan makanan itu buat tamu kita”.
Kemudian dengan senyum istrinya menemuinya & menghidangkan sepiring makanan untuk tamunya tersebut. Kemudian Tamunya tersebut berkata : “Aku hanya mau makan, apabila anda ikut makan bersama saya disini”.
Abu Thalhah berkata :”Silahkan Anda makan disini sedangkan saya akan makan bersama dengan Istri saya didapur”. “Baiklah”, jawab tamunya tersebut.
Selanjutnya Tamu itu makan dengan lahapnya. Dari tempat duduknya tamu tersebut melihat bayangan Abu Thalhah dan istrinya seperti seolah-oleh sedang makan, dia pun mendengar suara piring dan sendok beradu. Sang Tamu tidak menyadari bahwa Abu Thalhah dan istrinya sedang berpura-pura makan.
Setelah kenyang tamu tersebut hendak pamit, dan setelah mengucapkan terimakasih, tamu tersebut pergi. Tinggallah Abu Thalhah dan Istrinya serta anaknya menahan lapar diperutnya.
Keesokan harinya Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassallam menyambut Abu Thalhah dengan senyum lebar. “Ketahuilah sahabatku, Allah Ta’ala terpesona dengan pengorbanan kalian sekeluarga, kemudian Rasulullah membaca wahyu yang baru saja turun:
وَيُؤْثِرُونَ عَلَى أَنفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ وَمَن يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“…..dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang orang yang beruntung.” (QS. Al-Hasyr: 9).
Jadi, mumpung masih Ramadhan, apakah kamu benar-benar care sama sesama, peduli terhadap saudara yang membutuhkan?
Jika kamu peduli, turun tangan membantu, baik dengan langsung berdonasi ke sasaran, atau yang lebih tepat melalui lembaga penyaluran yang terpercaya, jarak kamu dengan kebahagiaan pasti tinggal sedikit sekali. Dan, untuk itu, kamu tidak mesti potrat-potret pamer aktivitas diri, sementara lupa menjadi pribadi bermanfaat bagi sesama. Untuk itu, siapkan sedekah dan zakatmu untuk membersihkan diri, mensucikan harta sekaligus memberdayakan sesama.*