Umat Islam Indonesia seolah tak pernah sepi didera ujian. Ujian yang bertubi-tubi itu datang silih berganti. Terkadang atas nama terorisme, pelecehan agama, hingga tebang pilih aparat dalam beberapa kasus, seperti perusakan dan pembakaran masjid di Sumatera Utara yang tak kunjung diselesaikan secara hukum.
Di negara mayoritas muslim ini, umat Islam memang paling seksi dijadikan alat. Entah itu untuk motif politik, ekonomi hingga kekuasaan. Hal itu terjadi sejak orde baru hingga era keterbukaan sekarang. Jika ada kejadian yang dianggap merugikan, pasti ujung-ujungnya Islam jadi sasaran: tidak toleran, radikal, dan sebagainya.
Seperti terorisme yang tak pernah berakhir. Dalam Islam sendiri, terorisme dilarang. Tindakan kejam itu tidak bisa dibenarkan dengan dalih apapun. Tapi, masalahnya, jika menelaah kejanggalan yang selama ini terjadi, terorisme seolah direkayasa dan dipelihara.
Anehnya, ketika hal itu terjadi, semuanya justru menunjuk Islam. Seolah-olah, Islam sumber masalah. Islam agama kekerasan. Padahal, terorisme itu bisa terjadi dengan banyak sebab, dan bukan saja agama Islam. Agama lain pun bisa terjadi. Dan, hal itu juga bisa saja terjadi karena ketidakadilan, kemiskinan, dan lain sebagainya.
Adanya terorisme yang tak kunjung usai itu menyisakan stigma paling jahat di masyarakat. Simbol-simbol keislaman dicurigai. Orang pake jenggot, celana isbal, muslimah pake kerudung besar, dan cadar, dianggap kaum radikal yang berbahaya dan patut dicurigai.
Bahkan, banyak anggapan pesantren sekarang sarang teroris. Ada cerita teman, dua tahun lalu selepas pulang nyantri di pesantren salafiah di Jawa Timur, ia bukannya disambut baik, malah dicurigai. Tasnya digeledah. Bahkan, yang menggeledah itu ayahnya sendiri dengan diawasi warga setempat.
Sekarang, bisa dibilang, anggapan sebagian masyarakat telah kebalik. Orang saleh dan rajin ke masjid dianggap lebih bahaya dibanding yang sehari-harinya nongkrong atau dugem di klub-klub malam. Wajar saja jika kini banyak orang lebih suka ke dugem ketimbang ke mushola dan ikut kajian keagamaan.
Hal sama terjadi saat kemurnian Islam dinodai oleh Ahmadiyah dengan mengatakan Mirza Ghulam Ahmad nabi terakhir. Ahmadiyah yang jelas-jelas sesat dan menyesatkan, di negara ini masih diperlakukan baik pemerintah. Pemerintah bahkan belum membubarkan aliran sesat dari India ini meski gelombang protes dan tekanan terus mengalir.
Demo besar-besaran yang dilakukan umat Islam berkali-kali seolah-olah tidak ada artinya. Suara lantang dan teriakan takbir umat Islam yang bergemuruh di bundaran HI dan di berbagai daerah tak membuat gemetar hati para pembuat kebijakan.
Padahal, kemurnian dan keotentikan Islam itu harga mati yang harus dijaga. Umat Islam tidak boleh hanya berleha-leha berpangku tangan menyaksikan drama penistaan agama yang dilakukan Ahmadiyah.
Negara ini mayoritas muslim. Para pemimpinya dari jajaran bawah hingga atas juga mayoritas muslim. Di eksekutif, legislatif, dan yudikatif mayoritas muslim. Kita punya presiden dan wakil presiden yang muslim. Bahkan berkali-kali pergi haji dan umrah. Tapi, meski mayoritas muslim, faktanya, tak mampu membela hak-hak umat Islam.
“Alwahn”
Fenomena yang terjadi di Indonesia nampak sesuai dengan apa yang digambarkan Rasulullah beberapa waktu silam.
Rasulullah bersabda, “Nyaris orang-orang kafir menyerbu dan membinasakan kalian, seperti halnya orang-orang yang menyerbu makanan di atas piring.” Seseorang berkata, “Apakah karena sedikitnya kami waktu itu?” Beliau bersabda, “Bahkan kalian waktu itu banyak sekali, tetapi kamu seperti buih di atas air. Dan Allah mencabut rasa takut musuh-musuhmu terhadap kalian serta menjangkitkan di dalam hatimu penyakit wahn.” Seseorang bertanya, “Apakah wahn itu?” Beliau menjawab, “Cinta dunia dan takut mati.” (HR. Ahmad, Al-Baihaqi, Abu Dawud)
Cukup jelas hadist di atas. Umat Islam kini ibarat buih. Banyak tapi tak ada arti apa-apa. Keberadaanya seperti tak ada wujudnya (wujuduhu ka’adamihi). Parahnya lagi, umat Islam tak lebih seperti hidangan yang diserbu oleh musuh dari arah manapun tanpa perlawanan.
Padahal, sejak dulu umat Islam memiliki izzah yang kuat dan ditakuti musuh-musuhnya. Umat Islam paling berani melawan maut di medan perang. Moncong senjata atau bahkan nuklir sekalipun tak membuat ciut nyali. Sebab, mati dalam perjuangan imbalannya syurga. Itulah yang membuat takut musuh-musuh Islam sejak dulu hingga sekarang. Dan, kenyakinan itulah yang dilakukan para pejuang kita dalam merebut kemerdekaan dari penjajah Belanda dan Jepang.
Tapi, itu dulu. Kini, keberanian memelihara izah Islam itu redup bahkan mati. Seperti yang digambarkan hadist di atas, umat Islam ini mengidap penyakit alwahn cinta dunia dan takut mati (hubbuddunya wakarihayatulmaut).
Zaman sekarang, dua gambaran jenis manusia seperti ini banyak didapati. Umat Islam sendiri lebih banyak menumpuk harta dan lupa agamanya. Bahkan, tak sedikit yang menjual agamanya demi kepentingan kekuasaan, harta dan negara asing. Orang semacam inilah yang menjadi duri perjungan. Seperti musang berbulu domba.
Begitu juga, kini umat Islam lebih suka berada di zona aman ketimbang melakukan pembelaan terhadap hak-hak umat Islam. Mereka lebih suka berdiam diri di rumah bermesraan dengan keluarga. Takut menghadapi ancaman dan tantangan. Jika hal ini terus terjadi, maka selamanya umat Islam akan menjadi makanan yang diperebutkan musuh. Tinggal menunggu drama apa lagi yang akan diterima umat Islam berikutnya. Cepat atau lambat. Tunggu saja.
Muharrikul Ummah, guru ngaji tinggal di Surabaya.