SEDIKIT kecewa. Mungkin itulah ungkapan perasaan saya dari sebagian kecil pengunjung Islamic Book Fair (IBF) yang baru ditutup kemarin. Ya, mungkin tak banyak yang menyadari atau memang menyadari hanya saja berusaha untuk tidak mau tahu atau justru hanyut dan tenggelam bahkan menikmati acaranya yang sudah di kemas dengan kata-kata islami.
Apakah setiap acara yang mengangkat tema Islam maka yang di tampilkan di dalamnya pun sudah mutlak semuanya islami? Rasanya tidak.
Ini satu fenomena yang mungkin menggelikan sebagian orang jika dibahas karena memang terkesan hanya persoalan sepele. Tapi, bukankah sesuatu yang aneh jika pameran buku yang katanya Islami itu, ternyata ada juga penjualnya yang masih mengumbar auratnya? Sementara yang dipamerkan dan dijual ke ribuan pengunjung adalah ilmu dien, bukan makanan yang hanya mengisi perut yang lapar, tapi ia adalah makanan hati dan ruh yang seharusnya bisa mencerahkan. Baik pembeli maupun penjualnya.
Di sisi lain, ada juga yang bikin hati miris. Di beberapa acara yang saya sempat ikuti, ditampilkan para artis-artis yang biasa memerankan film-film “berbau” islami, bukan Islami. Tak sedikit para jilbaber yang berbarti sudah paham syariat juga turut foto bareng sang idola. Apakah tidak sadar kalau yang di sampingnya itu bukan mahram-nya, meskipun dia artis?
“Dia kan idolaku, aku fans banget ma dia, bla..bla…lha,” begitulah kilah yang diucapkan.
Dunia sudah terbalik, kebanyakan para generasi muda Islam kita lebih mengidolakan artis dari pada Rasulnya. Dirangkul dalam foto bareng menjadi tidak masalah karena mengklaim diri sebagai fans beratnya. Wa ‘iyadzu billah.
Selanjutnya, di hari terakhir pameran, hari yang frekuensi pengunjungnya dua kali lipat banyaknya dibanding hari-hari sebelumnya. Ba’da Ashar, sekitar pukul 16:00 WIB dalam sebuah acara bedah buku, tampil seorang nara sumber yang sekilas terlihat seperti ulama. Gamis hitam dengan surban melilit di kepala.
Taushiyah yang dibawakan sangat bagus dan memukau. Cukup menghibur pengunjung yang menyaksikan acara tersebut, begitu juga pengunjung yang sibuk menjejali buku-buku di area acara meski tak sepenuhnya juga perhatiannya terpusat pada narasumber. Selang beberapa menit kemudian, kita di kejutkan oleh musik (band) yang memekakkan telinga.
Bukan cuma itu, yang buat kita geleng-geleng kepala adalah pak ustadz yang mirip ulama besar itu, yang tadi taushiyahnya sangat memukau, kini wibawa itu terhempas jauh, wibawa yang sempat membuat kagum itu tak terlihat lagi ketika ia yang menjadi vocal dalam grup band yang katanya nasyid tapi tak bertampang nasyid.
Lirik lagunya bolehlah, masih bernafas Islam, namun jika tak di cermati dengan seksama, apa bedanya dengan penyanyi rok di luar sana. Musik menggema dengan dahsyatnya, sang pembawa taushiyah kemudian hanyut dengan musiknya, bukan dengan menghayati penggalan-penggalan lagu yang di nyanyikan.
Mari kita renungkan, musik itu sendiri lebih besar pengaruhnya di banding dengan makna lagu yang di nyanyikannya. Oleh karena itu, mengapa para ulama mengharamkan musik, karena ia bisa melenakan. Na’udzu billahi min dzalik.
Namun terlepas dari itu semua, acara ini sangat bagus dan menginspirasi para pemuda muslim untuk cinta buku dan cinta membaca. Juga memudahkan para mahasiswa mencari referensi yang mereka butuhkan di bangku kuliah. Tak sedikit yang belanja bukunya sampai jutaan rupiah bahkan mugkin ada yang lebih. Ada pula yang aktif belanja bukunya. Tiap hari mengunjungi book fair bukan karena acara-acaranya, tapi karena tergiur oleh buku-buku yang di jejalkan. Subhanallah…
Semoga dengan adanya event ini di tiap tahunnya, bisa membangkitkan kesadaran umat dalam membaca dan menghilangkan kejahilan dalam diri kaum muslimin. Sebab, dengan membaca kita membangun peradaban umat. Dan, harapan saya bagi penyelenggara event ini untuk lebih selektif dan acaranya benar-benar di kemas dengan islami. Yaitu Islami yang bukan hanya sekedar nama acaranya saja. Wallahu a’lam.*
Irda Nur Hasanah
Mahasiswa LIPIA Jakarta