PERBEDAAN pendapat mengenai jumlah rakaat shalat tarawih sudah menjadi tradisi sebagian saudara kita di seluruh Indonesia.
Hampir setiap bulan suci Ramadhan datang, permasalahan rakaat tarawih selalu menjadi polemik bahkan memenuhi beranda Facebook atau media sosial lainnya.
Sebagaimana yang terjadi di Propinsi Nangroe Aceh Darussalam, perbincangan ini terus terjadi dan yang memperbincangkan masalah ini pun orang-orang yang sama setiap tahunnya.
Kelompak A menyalahkan kelompok B, yang B pun tetap ngotot atas pendiriaannya.
Mengapa saya katakan di Nanggroe Aceh tercinta, dan kenapa tidak saya ketakan saudara kita umat Islam seluruhnya?
Saya mengamati masalah seperti ini, faktanya hanya terjadi di Indonesia saja juga di tanah kelahiran saya, di Aceh. Sata belum pernah menemukan banyak orang yang setia menunggu dan menjalankan ibadah puasa dengan alotnya memperbincangkan masalah ini, kecuali di negeri sata sendiri, Indonesia dan Aceh.
Empat tahun saya sudah menapaki kaki di Kairo, Mesir untuk studi, belum pernah sekalipun saya temukan perselisihan antar kelompok mengenai jumlah rakaat tarawih.
Padahal di Mesir juga ada banyak mahzab, dari yang “keras” sampai yang “lunak”. Bahkan kelompok gerakan salafy Mesir jauh lebih hebat ilmunya ketimbang di tempat lain. Tapi mereka tak pernah menghujat Al-Azhar ketika melakukan tarawih dengan jumlah 20 rakaat. Di sisi lain, Al-Azharpun tidak pernah menyalahkan umat Islam yang melakukan tarawih 8 rakaat.
Syeikh Said Ramadhan al Buthy
Kasus seperti ini mengingatkan saya kepada sosok Syeikh Muhammad Said Ramadhan Al-Buthy, melalui pemikiran dalam karya-karyanya saya menyimpulkan bahwa, “Sebuah perkara yang kita sampaikan kepada orang lain tak akan membuat dia yakin dengan apa yang kita sampaikan jika kita berdiri di atas pondasi A’sabiat (primordialisme).”
Karena itu, syariat bukan hanya menuntut kita untuk menyakinkan orang lain, tapi lebih dari itu menganjurkan kita untuk memuaskan mereka dengan argumentasi yang kita sampaikan.
Berikut ini saya akan sampaikan sedikit maui’dhah hasanah perihal jumlah rakaat shalat tarawih dari Syeikh Prof Dr Ali Juma’h Muhammad Asy-Syafi’i (Mantan Mufti Mesir).
Saya tidak akan menambahkan atau mengurangi sedikitpun apa yang beliau sampaikan. Jadi sesuai atau tidak apa yang beliau sampaikan dengan pemikiran Anda, itu mutlak pendapat beliau.
Tapi sebelumnya saya ingin menegaskan. Syeikh Ali Jum’ah adalah seorang ulama besar, shahib nuqul wa u’qul. Jika berbicara tentang hadist, maka beliau seorang pakar hadist yang tak bisa dilewatkan. Sanad hadistnya bersambung kepada Syeikh Muhammad Yasil Al-Fadani rahimahullah. Adakah yang tak kenal dengan sosok Yasil AL-Fadani?
Alkisah, salah seorang bertanya pada Syeikh Ali Jum’ah. Di manakah perbedaan antara shalat Tahajjud, Tarawih, dan Qiyamullail, dan mana yang lebih afdhal saya lakukan dari ketiga-tiganya itu dalam bulan Ramadhan?
Syeikh Ali Jum’ah menjawab:
“Ketiga-tiganya itu memiliki makna yang bersamaan. Kalimat Qiyamul Lail maknanya bahwa kamu melakukan ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah sejak setelah shalat Isya. Maka ibadat apapun yang kamu laksanakan mulai setelah shalat Isya sampai azan Subuh itu dinamakan dengan Qiyamul Lail.
Sahabat ra selalu beribadah sesuai dengan apa yang diajarkan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wassallam. Setiap ibadat yang dilakukan sesudah shalat Isya sampai dengan azan subuh dinamakan Qiyamul Lail yang selalu dilakukan baginda Nabi.
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wassallam tidak pernah melakukan shalat 11 rakaat atau 13 rakaat di bulan Ramadhan dan di luar Ramadhan. Dengan kata lain, beliau tidak malaksanakan shalat lebih dari 11 rakaat atau 13 rakaat baik di bulan Ramadhan atau di bulan lainnya.
Akan tetapi, Saidina Umar Ibn Khattab manakala mengumpulkan para sahabat dalam satu jamaah untuk melakukan shalat terawih, beliau menambah rakaat shalat dimaksud menjadi 20 rakaat. Penduduk Makkah kala itu melakukannya 20 rakaat, dengan beristirahat (tarawih) pada tiap-tiap 4 rakaat. Dalam waktu istirahat pada tiap 4 rakaat mereka melakukan tawaf.
Ketika penduduk Madinah mengetahui perihal ibadahnya penduduk Mekkah yang melakukan tawaf pada tiap-tiap 4 rakaat, mereka menambahkan 4 rakaat shalat terawih sebagai gantian tawaf penduduk Mekkah. Sehingga jadilah jumlah shalat terawih dalam sebuah pendapat Imam Malik ra 36 rakaat. Hal itu tidak mengapa, karena menambah-nambah dalam ibadah sunat dan kebaikan merupakan sunnahnya Rasulullah, khulafaur rasyidin, dan salafus salih.
Dengan demikian, mayoritas kaum Muslimin melakukan shalat dimaksud 20 rakaat yang akhirnya dinamakan dengan shalat tarawih yang wajib dilakukan dua-dua rakaat. Adapun yang dilakukan sesudah shalat terawih pada pertengahan malam dinamakan dengan shalat tahajjud. Dan kedua-duanya dilakukan sekedar kemampuannya saja. Karena syariat tidak memaksa seseorang untuk melakukan ibadah di luar kemampuannya. Hal ini senada dengan sabda Rasulullah Saw, ‘Beribadahlah kepada Allah sesuai dengan kemampuanmu’.
Dengan demikian, barang siapa yang melakukannya 8 rakaat kemudian menambahkan witir 3 rakaat tidak mengapa. Barangsiapa yang melakukan 20 rakaat kemudian menambahkan witir 3 rakaat juga tidak apa-apa. Dan barangsiapa yang melakukan 8 rakaaat atau 20 rakaat, kemudian melakukan shalat tahajjud di pertengahan malam pun tidak apa-apa.”
Demikian penjelasan Syeikh Ali Jum’ah. Saya tidak ingin mengambil kesimpulan apapun dari beliau. Karena semua orang yang memandang dengan kaca mata ilmu (bukan dengan A’sabiat) pasti tau berkesimpulan. *
Penulis: Abdul Hamid M Djamil
Mahasiswa di Al Azhar, Mesir