KUNJUNGAN empat hari Presiden AS, Barack Obama ke dua di negara kawasan Timur Tengah (Timteng), yakni Israel dan Yordania disamping Palestina (di bawah penjajahan Israel) pada 20-23 Maret lalu oleh sebagian analis Arab dianggap sekedar pelesir politis karena tidak membawawijhah nazhar (point of view) baru. Sebagian lainnya menyebutnya kunjungan politis sambil pesiar (ziarah siyasiyah siyahiyah).
Kedua istilah yang digunakan sejumlah analis Arab itu, sebagai bentuk sikap pesimis bahwa kunjungan Obama ke kawasan selain tidak membawa sudut pandang baru bagi solusi “damai” Israel Palestina, juga terkesan sekedar basa-basi menyangkut isu Palestina. Seperti biasa, kunjungan petinggi negeri adikuasa itu lebih dikhususnya untuk mengakomodir keluhan atau pengaduan si anak emas Israel.
Terlepas dari istilah yang dicuatkan sejumlah analis tersebut, kiranya tetap saja perlu dicermati hasil kunjungan pelesir politis tersebut khususnya yang terkait dengan perkembangan situasi kawasan yang masih memanas dan terkesan semakin tereskalasi. Terutama yang berhubungan dengan masa depan isu Palestina, krisis Suriah, kedekatan kembali Israel-Turki dan respon Iran.
Mengenai isu Palestina, sebagaimana pendahulu-pendahulunya tidak ada yang baru selain menyampaikan dukungannya terhadap terbentuknya sebuah negara Palestina merdeka. “Rakyat Palestina layak mendapatkan negaranya sendiri. AS berkomitmen untuk melihat sebuah negara Palestina yang independen dan berdaulat,” ujar Obama dalam jumpa pers bersama dengan Presiden Palestina Mahmud Abbas di Ramallah, Tepi Barat, Kamis (21/03/3013).
Dalam kesempatan yang sama, Obama mengecam keputusan Israel yang tidak menghentikan pembangunan permukiman Yahudi di wilayah pendudukan Palestina terutama di kota al-Quds dan Tepi Barat. “Kami menilai, melanjutkan pembangunan permukiman Yahudi tidak mempercepat upaya menciptakan perdamaian,” kata Obama dalam jumpa pers tersebut.
“Dukungan” Obama tersebut bukannya disambut gembira warga Tepi Barat bahkan mereka menolak kedatangan Presiden kulit hitam pertama negeri Paman Sam itu, sebab mereka kelihatannya “muak” dengan basa-basi serupa yang selama ini mewarnai penyelesaian isu sentral Arab ini. Di lain pihak para pejabat Palestina juga meragukan keseriusan Obama untuk menggunakan kekuatan politiknya untuk menekan Israel agar menghentikan pembangunan permukiman Yahudi.