Sambungan artikel PERTAMA
TAHUN 2011, Syiah Al Hautsi dibawah pimpinan Abdul Malik al-Houthi (putra Husain Badruddin Al Hautsi) kembali berpartisipasi dalam pemberontakan. Kelompok yang sebenarnya minoritas di Yaman berusaha menggulingkan Presiden Ali Abdullah Saleh dan kemudian memperoleh penerimaan politik di Yaman.
Mereka terus melakukan aksi-aksi militer untuk bisa menguasai Sana’aa dan sejumlah wilayah Yaman.
Tahun 2012, sebagaimana dikutip media lokal Yaman, Al Baidha’ News, terjadi konflik antara pemberontak Syiah Al Hautsi Hautsi dengan pihak Darul Hadits Dammaj, sebuah madrasah milik kelompok Salafy Syeikh Muqbil Al Wadi’i. Syiah Sempat mengepung sekolah ini selama beberapa bulan. [Baca: Awal Penyerangan Syiah Yaman terhadap Salafy]
Syiah Al Hautsi menghalang-halangi komunitas Muslim Yaman dan memutus jalur-jalur ekonomi dan berdagangan masuk sehingga membuat aktivitas harian masyarakat lumpuh. [Baca: Dammaj Dikepung Kaum Syiah Yaman]
Puncaknya bulan Desember 2012 beberapa santri Darul Hadits di Dammaj gugur atas serangan kelompok Syiah.
Kekuatan pemberontak Syiah Al Hautsi meningkat drastis sejak Oktober 2013. Reporter Aljazeera mencatat, tiba-tiba mereka memiliki senjata-senjata baru yang jauh lebih canggih dari sebelumnya. Mereka mampu mengalahkan dan mengusir ribuan orang non-Syiah di kota Dammaj. Pada bulan Januari 2014, Syiah Al Hautsi melakukan serangan lebih jauh ke selatan dan berhasil mengalahkan salah satu formasi suku utama, Federasi Hashid, sebelum mencapai Arhab, dan suku lain yang hanya tinggal berjarak 50 KM dari Sana’aa.
Belum genap sebulan milisi Syiah Hautsi berhasil memasuki Ibu Kota Yaman serta menguasai kantor-kantor penting di pemerintahan. Hari Senin, 22 September 2014, sejumlah desa dan kota di Sana’a sudah jatuh dan dalam kontrol mereka. Begitu juga dengan gedung-gedung pemerintahan, markas-markas militer, koran, stasiun TV dan radio nasional. [Baca: Pemberontak Syiah Hautsi Kuasai Koran Pemerintah Yaman]
Masuknya mereka ke pusat pemerintahan terkesan tanpa perlawanan yang berarti, walaupun dikabarkan ada puluhan korban dari pihak Hautsi berjatuhan.
Hal ini menjadi tanda Tanya banyak orang. Bagaimana bisa sebuah kelompok perlawanan kecil tiba-tiba bisa menguasai pemerintahan di sebuah Negara dengan senjata-senjata canggihnya?
Bulan Januari, dengan sangat mengejutkan, pemberontak Syiah Al Hautsi (Al Houthi) melakukan “kudeta” di Sana’a dengan cara membubarkan parlemen dan memasang dewan presiden untuk menjalankan pemerintahan. [Baca: Presiden Yaman Mundur Setelah Tekanan Kelompok Syiah]
Pasca kejadian ini, Presiden Abdrabuh Mansur Hadi meminta negara anggota Dewan Kerja Sama Teluk (GCC) melakukan intervensi militer melawan pemberontak Syiah. Permintaan ini disampaikan Menteri Luar Negeri Riad Yassin dalam wawancara di stasiun televisi Al Arabiya, Senin, 23 Maret 2015.
Riad Yassin kemudian memperingatkan pemberontak Syiah Al Hautsi bahwa konflik yang sedang berlangsung ini akan memiliki dampak luas pada seluruh bangsa.
Puncaknya, hari Kamis (26/03/2015), Dewan Kerja Sama Negara-Negara Arab Teluk (GCC) menggelar operasi militer bertajuk “Aashifatul Hazm” (Badai Penghancur) dengan mengerahkan 100 jet tempur, 150.000 serdadu dan sejumlah unit angkatan laut dalam kampanye militer melawan pemberontak Syiah Al Hautsi (Syiah al-Houthi) di Yaman.
Operasi militer ini ditengarai akan membuka babak baru konflik kepentingan antara GCC dan Iran.*