Sambungan artikel PERTAMA
Oleh: Dr. Dinar Dewi Kania
Romawi dan Misteri Kota Pompeii
Secara umum,penerimaan masyarakat Romawi terhadap homoseksualitas masih menjadi perdebatan para sejarawan Barat. Namun, terdapat bukti-bukti pelarangan perbuatan homoseksual dalammiliter Romawi dengan ancaman hukuman mati. [Dynes.1990.Encyclopedia of Homosexuality Vol 1, Garland Publishing. hlm 1144][ Beert C. Verstraete. 1980. “ Slavery and The Social Dynamics of Male Homosexual Relations in Ancient Rome”. Journal of Homosexuality. Volume 5 Issue 3. Published online 26 Oct 2008.]
Apalagi ketika kekaisaran Romawi menjadikan Kristen sebagai agama resmi kekaisaran, maka pelaku homoseksual di tengah masyarakat akan dikenakan hukuman mati atau diusir dari tempat tinggalnya.[ Dynes.1990.Encyclopedia of Homosexuality Vol 1, Garland Publishing. Hlm 406]
Salah satu kota Romawi yang masyarakatnya dianggap memiliki toleransi tinggi terhadap aktivitas homoseksual adalah Pompeii. Kota Pompeii berada dekat kota Napoli di wilayah Campiana, Italia. Kota tersebut diguncang gempa pada tahun 63M dan tertutup oleh abu vulkanik sejak tahun 79M akibat letusan gunung Vesuvius.[ Ingrid D. Rowland . 2014. From Pompeii : the afterlife of a Roman town. Cambridge : The Belknap Press of Harvard University Press. hlm. 1]
Kemudianditemukan kembali pada tahun 1748M. Sebelum kehancurannya, Pompeii merupakan kota tua Romawi yang telah dihuni dari generasi ke generasi oleh orang dari berbagai tempat. Kota ini bukan sebuah kota besar, namun pada awal abad ke-2 SM keluarga kaya Oscan Paricians membangun rumah-rumah atau vila mewah di kawasan ini. [ Paul Zanker. 1998.Pompeii : Public and Private Life. Cambridge : Harvard University Press.hlm. 3] Penelitian arkeologi menyimpulkan bahwa secara umum penduduk kota Pompeii menjelang kehancurannya adalah orang-orang menengah keatas.
Banyak grafiti ditemukan di reruntuhan kota Pompeii menggambarkan perilaku biseksual dan homoseksual. Menurut para arkeolog, grafiti tersebut nampak mengindikasikan tidak ada ketakutan para pelaku homoseksual terhadap sanksi sosial di tengah masyarakat. Ditemukan banyak grafiti yang menampilkan gambaran penetrasi laki-laki terhadap anak laki-laki. Hal tersebut menunjukkan adanya perilaku pedofil di wilayah Pompeii dan penerimaan masyarakatnya. Oleh karena itu tidak heran apabila kota Pompeii akhirnya mengalami nasib serupa dengan Negeri Sadum.
Meskipun banyak sejarawan Barat modern yang mencitrakan kota Pompeii sebagai salah satu puncak kemegahan dan ketinggian peradaban Romawi, namun tidak bisa dibuktikan bahwa penerimaan masyarakat Pompeii terhadap aktivitas homoseksual dan pedofil juga berlaku di seluruh wilayah Kekaisaran Romawi.
Bizantium dan Anti-Sodomy Laws
Dengan jatuhnya Kekaisaran Romawi (Barat) dikuasai oleh raja-raja dari suku asli Eropa, menurut Pickett, toleransi terhadap homoseksual semakin tinggi, kecuali di Spanyol yang dikuasai Visigothic. Setelah kerajaan- kerajaan tersebut menerima agama Kristen, pandangan gereja terhadap perilaku homoseksual diberlakukan di kawasan tersebut.
Pada tahun 527 M Kaisar Justinian diangkat menjadi Kaisar Romawi Timur (Bizantium). Ia memiliki komitmen penuh untuk memerintah berdasarkan ajaran Kristen. Sehingga pada tahun 1533, Kaisar Justinian mengeluarkan kode atau aturan yang mengenakan sanksi hukuman mati bagi para pelaku homoseksual. Pelarangan tindakan homoseksual ini bertujuan untuk menghindari kemurkaan Tuhan dan kehancuran kota-kota Romawi. Rezim Justinian mengkompilasi dan memformalkan aturan-aturan tersebut yang kemudian dikenal dengan Code of Justinian. Hukum tersebut telah digunakan sebagai hukum dasar kekaisaran Romawi Timur selama ratusan tahun.
Kerajaan Inggris dan Act of 25 Henry VIII
Pada tahun 1533 M Parlemen Inggris mengeluarkan Undang-Undang yang dikenal dengan Act of 25 Henry VIII yang memberikan hukuman gantung kepada pasangan homoseksual termasuk pasangan heteroseksual yang melalukan persetubuhan melalui dubur (anal intercourse). Undang-undang yang merupakan cerminan dari Code of Justinian, telah diberlakukan selama berabad-abad. Pada tahun 1861, pemerintah Inggris meringankan hukuman gantung tersebut menjadi hukuman seumur hidup. Undang-undang tersebut juga diberlakukan di seluruh kekaisaran Inggris dan menjadi dasar bagi anti-sodomy law di negara-negara yang berbahasa Inggris, termasuk di Nigeria, Kenya, India, Malaysia, danlain-lain.
Pada tahun 1967, Pemerintah Inggris mengganti Undang-Undang ini dengan Sexual Offences Act yang mendekriminalisasi perilaku homoseksual. Namun jauh sebelum itu sebelum itu, pada abad pencerahan,upaya penghapusan anti-sodomy law telah dilakukan di Prancis. Pada tahun 1801,kaisar Prancis Napoleon Bonaparte mengeluarkan aturan yang disebut The Code of Napoleon yang mendekriminalisasi perilaku sodomi. Aturan tersebut mulai diberlakukan pada tahun 1804 kemudian diadopsi oleh negara-negara Eropa yang saat itu menjadi jajahan Prancis, termasuk Belanda yang saat itu sedang menguasai negara Indonesia.
Abad 20 : Homo Politics
Gerakan homoseksual modern muncul pada akhir abad 19 dan awal abad 20 di Eropa. Pusat intelektualnya berada di Jerman, namun Inggris juga memiliki peranan penting dalam gerakan ini.
Tokoh gerakan homoseksual di Jerman pada saat itu diantaranya Magnus Hirschfeld (1868 – 1935) dan Richard Linsert (1899-1933). Setelah Perang Dunia ke-2, beberapa organisasi homoseksual bermunculan di berbagai negara Barat yang dikenal dengan Homophile movements. Pada akhir abad ke 19 gerakan ini mulai menggunakan media ilmiah seperti diskusi-diskusi dalam bidang medis. Di Kota-kota besar Amerika tempat berkumpulnya para lelaki seperti New York dan San Fransisco, mulai bermunculan bar-bar dan diskotik khusus kaum homo.
Gerakan pendukung hak-hak kaum homoseksual kemudian membentuk kelompok-kelompokseperti the Scientific-Humanitarian League yang memiliki cabang di berbagai negara. Ada juga organisasi pendukung homoseksual seperti World League for Sexual Reform yang memiliki keanggotaan internasional. Gerakan tersebut terus berlanjut dan semakin bertambah setelah Stonewall Riots di tahun 1969. Saat ini eksistensi kelompok seperti the International Lesbian and Gay Association (ILGA) bekerja untuk memperjuangkan hak-hak kelompok homoseksual di negara-negara berkembang. Gerakan pendukung homoseksual di Barat semakin gencar di era 1960 dan 1970-an seiring dengan penghapusan anti-sodomy law yang selama ribuan tahun telah mengkriminalisasi aktivitas homoseksual dan dianggap sebagai sumber perlakuan diskriminatif terhadap kaum pencinta sejenis tersebut.
Penutup
Dalam catatan sejarah, aktivitas kaum homoseksual muncul di setiap zaman dan di berbagai belahan dunia. Keberadaan kaum homo tersebut tidak berarti menunjukkan penerimaan masyarakat secara sosiologis maupun kultural.
Di masa lalu, homoseksual identik dengan pedofilia karena menyasar anak dan remaja laki-laki. Eksistensi kaum homo di setiap zaman, juga tidak dapat menjadi legitimasi bahwa orientasi seksual adalah ‘given’ dan tak bisa diubah. Orang bijak mengatakan, kebenaran harus dinyatakan dan bukan justru membenarkan kenyataan padahal kenyataan tersebut menyimpang dari kebenaran. Perilaku homoseksual sejak kemunculannya telah dianggap sebagai penyimpangan seksual karena bertentangan dengan moralitas dan agama. Namun sayangnya, di zaman modern ini moralitas dan agama dipaksa tunduk pada argumentasi pseudo-science dan homo politics dipropagandakan secara luas ke seluruh dunia.*
Peneliti INSISTS dan Direktur The Center for Gender Studies (CGS)