Hidayatullah.com—KEMARIN , tanggal 5 Februari 2019 di mata kebanyakan masyarakat muslim Indonesia adalah hari yang biasa saja. Hari selasa sebagaimana selasa-selasa lainnya, menjalankan rutinitas masing-masing entah itu pedagang yang sibuk dengan dagangan ataukah para anggota tim sukses paslon pilpres dari kedua kubu yang juga semakin gencar menjual ’dagangan’nya menjelang April 2019 nanti.
Tanggal biasa yang tak begitu berarti, mengingat di Indonesia tidak ada peristiwa besar yang patut diingat atau perayaan yang harus dirayakan.
Namun berbeda di Istanbul, banyak masyarakat Turki dan diaspora Uighur berpartisipasi pada sebuah acara khusus berjudul; “Şubat Şehıtler Gecesi” (Malam Syuhada Februari) digelar di daerah Zeytinburnu (salah satu distrik di Istanbul) tepatnya di gedung Kültür ve Sanat Merkezi (Culture Convention Centre/Gedung Pertemuan milik distrik Zeytinburnu).
Organısasi Pemuda Turkistan Timur (New Generation of East Turkistan Movement), Yayasan Pendidikan dan Kebudayaan Turkistan Timur (Maarif Institute for Sosial and Research) bersama beberapa ormas dan lembaga wakaf masyarakat Uighur yang diaspora di Istanbul bertindak sebagai penyelenggara acara besar ini dengan bantuan dari elemen masyarakat Turki yang menyayangi dan membantu mereka layaknya Anshar dan Muhajirin di era Nabi Muhammad ﷺ.
Baca: Mengenal Muslim Uighur
Hedayatullah Oğuzhan selaku pimpinan umum persatuan semua lembaga dan aktivis Uighur di Turki dan Eropa membuka acara ini dan menekankan soal perjuangan HAM masyarakat muslim Uighur dan etnis minoritas lainnya di Xinjiang harus tetap disuarakan dan tetap berlanjut hingga akhir.

Acara peringatan tersebut diisi oleh beberapa penampilan pembacaan puisi, dzikir dan doa untuk para syuhada’ korban dan juga kesaksian nyata dari korban yang masih hidup dan acara tambahan lainnya.
Perhelatan akbar itu berjalan penuh hikmat dan dipenuhi oleh sesak tangis yang tak lagi berlinang air mata karena bola mata mereka sudah ‘kering’ akibat lamanya dan beratnya penderitaan dan diskriminasi puluhan tahun.
Hari itu begitu amat berbeda dalam ingatan umat Islam non Indonesia, yaitu etnis Uighur ataupun masyarakat Turkistan Timur (Xinjiang, China Barat), khususnya penduduk muslim di Kota Gulca (dibaca; Gulja, nama Chinanya adalah Yining). Merujuk kepada sebuah tragedi yang menyisakan pilu amat dalam bagi mereka di tahun 1997.
Muslim Indonesia hampir dipastikan banyak yang tidak tahu-menahu soal pelanggaran berat HAM yang terjadi di daerah yang jauhnya ribuan kilometer dari Indonesia ini. Bisa jadi, nasionalisme terkadang berpotensi menjadikan seorang muslim kurang aware terhadap persoalan ataupun musibah yang menimpa saudara muslim lain di luar negara dan wilayah nasionalisme suatu bangsa.
Saat itu, pada tanggal 5 Februari 1997 di kota Gulca ada sebuah kerusuhan yang bermula dari protes masyarakat yang menyuarakan tuntutan HAM, terutama soal kebebasan beragama.
Kala itu ribuan orang Uighur berkumpul untuk melakukan aksi damai di Kota Ghulja di prefektur Ili di Turkestan Timur sebagai tanggapan atas agresi Tiongkok yang terus menerus dan larangan organisasi sosial Uighur, yang dikenal sebagai Mäshräp, kegiatan berkumpul untuk acara budaya.
Namun pihak aparat keamanan China justru menjawab aksi damai tersebut dengan dhalim dan sadis hingga menelan korban yang tak bersalah dalam jumlah besar. Aparat China bersenjatakan lengkap menghujani dan membrondong masyarakat sipil yang didalamnya juga banyak terdapat anak-anak, wanita dan lansia dengan timah panas secara brutal dan ganas.
Aksi ini dibatalkan oleh pasukan keamanan China yang menewaskan sedikitnya lebih 100 orang dan banyak lainnya terluka. Sebanyak 4000 ditangkap dan dari jumlah itu, 200 orang menghadapi hukuman mati, kutip laporan World Uygur Conggres (WUC), Februari 2017.
Channel 4 News yang berpusat di Inggris menurunkan sebuah investigasi dan tajuk berita terkait kejadian naas ini. Di awal mula pemberitaannya, mereka juga menjelaskan bahwa diskriminasi dan pelanggaran HAM berat telah dan senantiasa dilakukan pemerintah China terhadap masyarakat Xinjiang yang mayoritasnya adalah muslim etnis Uighur.

Masa lalu daripada wilayah Xinjiang ini pun turut menjadi salah satu faktor atas represi yang dilakukan China. Xinjiang adalah sebuah wilayah independen dan dulunya adalah sebuah negara Islam yang bernama Republik Islam Turkistan Timur. Namun dianeksasi oleh China pada zaman berkuasanya Mao Zedong.
Lebih jauh, wartawan Channel 4 News ini mewawancarai salah satu warga Uighur di Gulca terkait kekerasan dan kegilaan represif aparat China di Gulca tahun 1997 tersebut. Banyak bukti temuan atas pelanggaran berat HAM dalam tragedi ini. Pemenjaraan yang banyak berujung kepada maut lantaran berat dan pedihnya penyiksaan serta eksekusi puluhan aktivis yang ditengarai sebagai dalang dari aksi damai tersebut di depan khalayak dilakukan China.
Kemudian, situasi tersebut dimanfaatkan oleh pemerintah China dengan dalih ancaman keamanan untuk semakin menzhalimi dan melanggar hak-hak asasi masyarakat Xinjiang pada umumnya dan bukan hanya daerah Gulca.
Di Kashgar banyak wanita dan anak-anak dan bahkan lansia dipenjara dan mengalami penyiksaan di penjara. Masyarakat pun untuk amat sangat tertekan dan takut, bahkan sekedar berkumpul lebih dari 4 orang saja tak berani.
Pasca musibah pembantaian ini, China masih terus melakukan kontrol keras terhadap populasi Uighur bahkan sering mengakibatkan pembunuhan di luar hukum terhadap warga sipil serta penangkapan sewenang-wenang terhadap ribuan orang setiap tahun.*/Reza, mahasiswa Istanbul University program TÖMER. Baca lanjutan >> Investigasi Lapangan Anggota Kongres Nasional RRC