Di Nigeria ada Khataman Al-Quran, Mesaharati di Negara Arab, Chaand Raat di India dan buka puasa di Idonesia
Hidayatullah.com | RAMADHAN selalu disambut meriah dan penuh antusias oleh pemeuk Islam di seluruh dunia. Mulai menghias rumah, menembakkan meriam, buka puasa bersama, sampai menabuh gendang untuk membangunkan sahur. Inilah tradisi unik di seluruh negeri Muslim selama bulan suci Ramadhan;
1. Mesaharati : Tradisi Membangunkan Sahur yang Masih Terjaga
Tradisi Mesaharati adalah kebiasaan lama Ramadhan yang ditemukan negeri Arab seperti; Mesir, Lebanon, Suriah, Yordania, dan beberapa negara Arab lainnya.
Mesaharati adalah orang yang berjalan di sekitar lingkungan sebelum fajar selama Ramadhan, menabuh genderang dan memanggil orang untuk bangun sahur (makan sebelum fajar sebelum puasa dimulai).
Tradisi ini bermula pada abad ke-7 selama era Islam awal. Tradisi ini menjadi lebih meluas selama periode Khilafah Utsmaniyah, ketika Mesaharati biasa terlihat di kota-kota Muslim.
Tradisi ini sangat penting di masa lalu ketika jam alarm belum ada. Mesaharati berjalan di sekitar jalan sebelum shalat Subuh.
Dia memanggil nama atau frasa keagamaan seperti “Bangun untuk Sahur, semoga Allah memberkatimu!” Beberapa komunitas masih menjaga tradisi ini, meskipun memudar dengan teknologi modern (alarm dan telepon pintar).
Di beberapa tempat, keluarga memberikan hadiah kecil atau uang kepada Mesaharati sebagai penghargaan. Mesaharati tetap menjadi simbol Ramadhan yang berharga, menghadirkan nostalgia dan semangat komunitas!
2. Gerga’aan : Kemeriahan Menyambut Ramadhan
Gerga’aan (atau Garga’oon) adalah tradisi Ramadhan yang menyenangkan dan meriah yang dirayakan di negara-negara Teluk, khususnya Kuwait, Bahrain, Qatar, Arab Saudi, dan UEA.
Tradisi ini berlangsung pada malam ke-13, ke-14, dan ke-15 Ramadhan, yang menandai titik tengah bulan suci.
Anak-anak mengenakan pakaian tradisional berwarna-warni dan pergi dari rumah ke rumah, menyanyikan lagu-lagu tradisional dan mengumpulkan permen, kacang-kacangan, dan terkadang hadiah kecil—mirip dengan trick-or-treat tetapi tanpa kostum.
Lagu Gerga’aan yang paling terkenal mencakup frasa “Gerga’aan Gerga’aan Bayt Al-Harban”, yang bervariasi menurut Negara masing-masing. Beberapa keluarga dan bisnis menyelenggarakan acara Gerga’aan besar dengan musik, mendongeng, dan kegiatan budaya.
Gerga’aan telah dirayakan selama berabad-abad di Teluk dan berakar pada semangat komunitas dan rasa syukur.
Gerga’aan berfungsi sebagai cara untuk memberi penghargaan kepada anak-anak karena berpuasa dan mendorong mereka untuk terus menjalankan Ramadhan. Ini juga mempererat hubungan keluarga dan lingkungan sekitar.
Meskipun tradisi ini telah berkembang seiring dengan perkembangan zaman (beberapa keluarga kini memberikan tas hadiah Gerga’aan yang mewah alih-alih permen biasa), tradisi ini tetap menjadi bagian yang dicintai dan menyenangkan dari Ramadhan di kawasan Teluk.
3. Buka Puasa: Kebersamaan dalam Hangatnya Ramadan di Indonesia
Masjid Istiqlal juga banyak masjid lain di seluruh Indonesia menjadi pusat kebersamaan selama bulan Ramadhan.
Setiap sore menjelang Maghrib, ribuan umat berkumpul di halaman dan ruang utama masjid untuk menikmati tradisi buka puasa bersama yang sudah berlangsung selama bertahun-tahun.
Ribuan paket makanan dibagikan secara gratis kepada jamaah yang datang, terdiri dari kurma, kolak, teh manis, serta makanan berat seperti nasi dan lauk pauk.
Suasana penuh kehangatan terasa saat semua duduk berjejer, menunggu bedug Maghrib berkumandang. Tak ada perbedaan status sosial di sini, semua duduk sejajar dalam semangat berbagi dan kebersamaan.
Tak hanya warga Jakarta, banyak juga wisatawan dan jamaah dari luar kota yang sengaja datang untuk merasakan nuansa berbuka puasa di masjid terbesar di Asia Tenggara ini. Momen ini semakin istimewa dengan adanya tausiyah sebelum berbuka, yang memberikan siraman rohani sebelum hidangan disantap.
Buka puasa di Istiqlal bukan sekadar mengisi perut yang kosong, tetapi juga menghangatkan hati dengan kebersamaan dan keberkahan Ramadhan.
4. Meriam Ramadhan: Tanda Mulainya Buka Puasa
“Tradisi Menembak Meriam” merupakan tradisi Ramadhan yang dipraktikkan di beberapa negara berpenduduk mayoritas Muslim, di mana meriam ditembakkan untuk menandai dimulainya berbuka puasa saat matahari terbenam.
Tradisi ini, yang dikenal sebagai midfa al-iftar dalam bahasa Arab, masih dilakukan di negara-negara seperti Mesir, UEA, Lebanon, Yordania, Arab Saudi, Pakistan, dan Indonesia.
Tradisi ini diyakini telah dimulai ratusan tahun lalu selama Kekhalifahan Utsmani atau era Mamluk di Mesir.
Sebuah legenda terkenal mengatakan bahwa pada abad ke-19, penguasa Mesir, Khedive Muhammad Ali Pasha, secara tidak sengaja menembakkan meriam saat matahari terbenam, dan orang-orang mengira itu dimaksudkan untuk mengumumkan berbuka puasa. Idenya diterima dengan baik, dan tradisi tersebut berlanjut.
Praktik ini menyebar di Timur Tengah, Asia Selatan, dan sebagian Afrika.
Di kota-kota besar seperti Dubai, Kairo, dan Kuala Lumpur, meriam seremonial ditempatkan di tempat umum, seperti benteng, masjid, atau alun-alun kota.
Tepat sebelum Maghrib (shalat Magrib), meriam ditembakkan sekali untuk mengumumkan waktu berbuka puasa.
Di beberapa negara, meriam juga ditembakkan saat sahur (makan sebelum fajar) untuk menandai dimulainya puasa.
Meskipun teknologi modern seperti radio, TV, dan aplikasi seluler kini memberi tahu orang-orang tentang waktu shalat, penembakan meriam tetap menjadi tradisi Ramadhan yang simbolis dan dijunjung tinggi.
Di tempat-tempat seperti Dubai dan Abu Dhabi, personel polisi dan militer melakukan penembakan seremonial di lokasi yang ditentukan.
Turis dan penduduk setempat berkumpul untuk menyaksikan acara tersebut, dan acara ini telah menjadi daya tarik budaya.
Beberapa negara telah mengganti meriam mesiu tradisional dengan efek suara elektronik demi alasan keamanan.

5. Lentera Ramadhan (Fanoos )
Fanoos (فانوس رمضان) adalah lentera berhias indah yang telah menjadi simbol Ramadhan di Mesir. Lentera-lentera ini digantung di rumah-rumah, jalan-jalan, masjid, dan toko-toko selama bulan suci, menciptakan suasana magis dan meriah.
Tradisi lentera Ramadhan berawal dari era Fatimiyah di Mesir (abad ke-10). Salah satu legenda mengatakan bahwa pada tahun 969 M, ketika Khalifah Al-Mu’izz li-Din Allah memasuki Kairo selama Ramadhan, orang-orang menyambutnya dengan lentera dan lilin untuk menerangi jalannya.
Kisah lain menunjukkan bahwa selama periode Fatimiyah, anak-anak membawa lentera di malam hari saat menemani orang tua mereka untuk shalat Tarawih.
Seiring berjalannya waktu, Fanoos berevolusi dari sekadar sumber cahaya menjadi simbol dekorasi Ramadhan, yang menyebar ke negara-negara lain seperti Suriah, Lebanon, dan Palestina.
Rumah, kafe, masjid, dan pasar dihiasi dengan lentera warna-warni. Sementara anak-anak sering membawa lentera kecil dan menyanyikan lagu-lagu tradisional Ramadhan sambil bermain di jalan.
Fanoos melambangkan kegembiraan, cahaya, dan persatuan selama bulan suci. Terbuat dari logam dan kaca berwarna, Fanooos sering dibuat dengan tangan di bengkel-bengkel di pasar Khan El-Khalili di Kairo.
Di era modern saat ini, sudah tersedia lentera plastik bertenaga baterai yang memainkan lagu-lagu Ramadhan dan hadir dalam bentuk kartun untuk anak-anak.
Meskipun awalnya berasal dari Mesir, Fanoos telah menjadi populer di seluruh dunia, muncul dalam dekorasi Ramadhan di Timur Tengah, Turki, Indonesia, dan bahkan negara-negara Barat dengan komunitas Muslim.
Tradisi lentera Ramadhan merupakan ekspresi indah dari keimanan, budaya, dan perayaan, yang membuat bulan suci ini menjadi lebih istimewa. [] Bersambung