Hidayatullah.com– Ketua Umum Koalisi Nasional Perlindungan Keluarga Indonesia (KNPK) Prof. Dr. Ir. Euis Sunarti, M.Si. memperingatkan bahaya penerapan Comprehensive Sexuality Education (CSE) di Indonesia.
Dalam Policy Brief KNPK, dokumen singkat yang menyajikan analisis dan rekomendasi kebijakan terkait isu ketahanan keluarga yang ditujukan kepada pengambil keputusan, Prof. Euis menyatakan bahwa kurikulum CSE berpotensi meningkatkan seks bebas, LGBT, dan aborsi di kalangan remaja, serta bertentangan dengan nilai agama dan budaya Indonesia.
Pakar Ketahanan Keluarga dan Guru Besar IPB University, Prof. Dr. Ir. Euis Sunarti, M.Si, menyampaikan kekhawatirannya terhadap masuknya kurikulum Comprehensive Sexuality Education (CSE) ke dalam sistem pendidikan di Indonesia. Menurutnya, kurikulum ini mengandung unsur-unsur yang membahayakan akhlak, nilai, serta kesehatan seksual remaja.
Prof. Euis menekankan bahwa CSE berpotensi menjadi pemicu seks bebas di kalangan remaja. “CSE tidak hanya mendidik, tapi membentuk cara pandang permisif terhadap seksualitas sejak dini. Ini bertentangan dengan nilai agama dan budaya bangsa Indonesia,” tegasnya dalam Policy Brief KNPK Indonesia No. 1 Tahun 2023 yang ditulis dan dibagikan dalam seminar nasional pada Ahad, 6 Juli 2025, di Ruang Auditorium Lantai 2 Perpustakaan Nasional RI.
Bukti Ilmiah Bahaya CSE
Prof. Euis memaparkan bukti ilmiah berupa lima studi internasional yang meneliti implementasi CSE di berbagai negara telah menemukan 12 dampak negatif yang serius. Dampak tersebut antara lain: Peningkatan aktivitas seksual di usia dini, bertambahnya jumlah pasangan seksual, meningkatnya angka seks paksa, tingginya risiko penyakit menular seksual (PMS), melemahnya nilai pantang sebelum menikah, dan meningkatnya gangguan kesehatan mental akibat eksploitasi seksual.
“Kurikulum ini menanamkan gagasan bahwa semua pilihan seksual adalah setara, termasuk yang bertentangan dengan norma agama,” jelas Prof. Euis.
Isi dan Elemen Bahaya CSE
CSE bukan hanya memberikan pengetahuan biologis, tetapi juga menyisipkan sejumlah konsep kontroversial, seperti: otonomi seksual sejak muda, konsen (persetujuan) sebagai dasar hubungan seksual “suka sama suka”, pentingnya akses bebas terhadap kontrasepsi dan aborsi, pengenalan terhadap identitas gender nonbiner, homoseksual, dan transgender.
Ia mengutip analisis Family Watch International, elemen-elemen membahayakan dari CSE antara lain: seksualisasi anak-anak secara eksplisit, mempromosikan seks anal, oral, dan masturbasi, merusak nilai-nilai tradisional dan otoritas orang tua, melegalkan ideologi transgender dan aborsi anak, merujuk anak ke situs atau organisasi pro-LGBT, gagal membentuk sikap pantang hubungan seksual sebelum menikah.
Family Watch juga menyoroti bahwa CSE mengajarkan anak-anak untuk “menyetujui seks” ketimbang menahan diri.
CSE Sudah Masuk ke Indonesia
Prof. Euis mengungkapkan bahwa tanpa disadari, CSE telah menyusup dalam sistem pendidikan nasional. Salah satunya melalui program SETARA (Semangat Dunia Remaja) yang dijalankan di lebih dari 108 sekolah di enam provinsi, umumnya melalui pelajaran konseling. Program ini secara terbuka dirujuk sebagai model CSE oleh UNESCO.
Lebih lanjut, Aliansi Satu Visi (ASV) juga disebut aktif menyebarkan materi tentang orientasi seksual, penggunaan kondom, dan aborsi aman kepada remaja di Indonesia.
“Analisis kurikulum menunjukkan konflik yang dalam dengan nilai masyarakat, terutama dalam hal otonomi tubuh, sexual consent, dan hak memilih orientasi seksual. Ini semua dikemas atas nama ‘kesehatan dan HAM anak’,” kata Prof. Euis.
KNPK Indonesia dan Prof. Euis menyerukan penolakan terhadap adopsi kurikulum CSE, serta mendesak pemerintah dan masyarakat untuk: Pertama, menarik modul atau program pendidikan yang bermuatan CSE. Kedua, membangun kurikulum pendidikan seksualitas berbasis Pancasila. Ketiga, mengembangkan pendidikan karakter yang selaras dengan nilai agama dan budaya bangsa. Keempat, melibatkan peran keluarga dan masyarakat dalam pendidikan moral anak.
“Kita tidak anti pendidikan seksualitas. Tapi kita menolak kurikulum global yang justru merusak fitrah anak. Indonesia membutuhkan kurikulum pendidikan seksualitas yang membina, bukan membebaskan,” pungkasnya.*/Hadijah