SELAMA seminggu ini energi umat Islam tertuju pada sikap pemerintah terhadap dugaan kasus penistaan Al-Quran oleh Gubernur (non aktif) Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.
Kasus Ahok mencuat setelah Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan pendapat dan sikap keagamaan pada tanggal 11 Oktober 2016.
MUI menyatakan, dari pernyataannya itu Ahok termasuk telah menghina kitab suci umat Islam dan ulama.
Pendapat dan sikap itu dikeluarkan MUI setelah melakukan pengkajian atas pernyataan Ahok yang disampaikan di depan warga Kabupaten Kepulauan Seribu, DKI Jakarta, Selasa (27/10/2016).
Ikhwah, kita harus bersyukur karena punya lembaga seperti MUI (Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang “mengawal” urusan agama dan dunia kita.
Ketegasan MUI sejak 2005 ketika mengeluarkan Fatwa ‘Haram’ untuk “Sepilis” (Sekularisme, Pluralisme dan Liberalisme) begitu “menggigit” dan “menyengat” orang-orang yang selama ini membela SePILIS itu.
Fatwa itu dikritik habis-habisan. Tak tanggung-tangung, mantan koordinator JIL, Ulil Abshar Abdalla bilang MUI tolol. Meskipun kata-katanya kemudian ditarik, tapi pernyataan ini menegaskan kuatnya ketakutan mereka kepada Fatwa itu.
Fatwa MUI yang tegas itu tidak hanya tentang “Sepilis”, tapi juga tentang kesesatan Ahmadiyah, Islam Jama’ah, Al-Qiyadah Al-Islamiyah dan yang lainnya. (Lihat, MUI, Himpunan Fatwa MUI Bidang Akidah dan Aliran Keagamaan (Emir, divisi penerbit Erlangga, 2015).
Saat ini, Sikap keagamaan MUI pun sangat “dibenci” oleh para pembela Ahok. Mereka ramai-ramai menyalahkan MUI, tapi membela sang penista Al-Quran. Lebih aneh lagi, yang sewot bukan kaum Nasrani, tapi mereka yang notabene beragama Islam. Aneh tapi nyata.
Ada yang menuduh bahwa sikap itu menciderai Kebhinnekaan. Ada yang menyatakan sikap MUI menyulut kekerasan. Bahkan, ada pandangan yang meminta Sikap Keagamaan itu dicabut. Tapi sikap MUI tegas dan menentramkan umat, “Satu huruf pun tidak akan dicabut.”
Sikap MUI berkenaan dengan penistaan Al-Quran ini mengingatkan kita kepada ketegaran dan keteguhan sikap Buya Hamka pada 1981, ketika dipaksa oleh pemerintah untuk mencabut Fatwa Haram merayakan Natal bersama. Buya Hamka pun lebih memilih mundur dari Ketua MUI daripada mencabut Fatwa itu. Sikap yang luar biasa, yang lahir dari ghirah terhadap agama Islam yang mulia.
Sikap MUI sudah sepatutnya dikawal oleh seluruh elemen umat Islam. Tidak seperti seorang sarjana Muslim yang bangga berbeda dengan MUI hanya karena membela seorang Ahok. Dia sampai mengatakan bahwa orang yang berakal sehat akan melihat bahwa Ahok tidak bersalah. Ini sama saja para ulama dan seluruh elemen umat yang tersakiti oleh pernyataan Ahok dengan tak sehat akal.
Mengatakan bahwa pendapat MUI “mungkin” benar juga tak patut. Karena pernyataan itu menegaskan Ahok tidak salah. Padahal MUI adalah wadah tempat berkumpulnya para ulama dan zu’ama dari berbagai ormas Islam yang ada di Indonesia. Dan suaranya sudah mewakili suara umat.
Maka, sudah sepatutnya kita bersyukur dengan adanya MUI. Semoga fungsi mereka dalam “hirasat al-din wa siyasah al-dunya” (menjaga ajaran agama dan mengatur urusan duniawi) umat ini dapat terus membanggakan. Bravo MUI!
Qosim Nursheha Dzulhadi | Pengasuh Majelis As-Shuffah, Medan