Sampai saat ini bangsa kita masih dihadapkan pada kondisi yang serba sulit. Mayoritas penduduk negara kita dalam kualitas hidup yang rendah, tidak memiliki daya saing dengan bangsa lain, tidak aman, pakaian tidak bisa menutupi aurat, tidur tidak bisa nyenyak, makan tidak kenyang, tempat tinggal yang masih belum mapan, dengan indikator semakin meningkatnya jumlah tuna wisma.
Demikian pula semakin menjamurnya wanita tuna susila. Orang yang nikah secara sah, ittiba’us sunnah dengan berpoligami dicurigai, disalahartikan atas nama HAM. Bahkan dipandang sebagai pelaku kriminalitas. Berhadapan dengan jeratan hukum. Sementara pria yang memiliki WIL (Wanita Idaman Lain), wanita yang mempunyai PIL (Pria Idaman Lain), tidak dipermasalahkan. WTS dilegalkan. Orang-orang shalih dimarginalkan, sementara para koruptor kelas kakap kebal hukum. Ia bebas menjelajah ke dalam dan luar negeri. Fenomena di atas menjadi faktor pemicu munculnya krisis ekonomi yang sangat parah, sehingga melumpuhkan pilar-pilar ekonomi bangsa kita.
Menurut data penelitian ilmiah, 18.000.000 warga kita masih hidup di bawah garis kemiskinan. Belum lagi yang masih menganggur, atau belum mempunyai pekerjaan dan penghasilan tetap.
Ironisnya, di tengah kondisi krisis multidimensional (ekonomi dan moral) itu, kita sering mendengar berita KKN yang dilakukan oleh pejabat, petinggi, pemuka masyarakat, tokoh publik, dan penggede negeri ini. Seakan-akan hilang kepekaan sosial, empati, hati nurani, dalam jiwa mereka. Mereka berfoya-foya di atas penderitaan dan tangisan, serta kesedihan rakyatnya. Mereka senang, jika melihat rakyat yang dipimpinnya menderita. Sungguh, KKN sebagai simbol kerusakan moral benar-benar menggurita di negeri ini. Mulai dari jajaran istana hingga level kepemimpinan yang paling bawah.
Dalam kaca mata hadits, kehidupan bernegara kita bagaikan hidup dalam ghobah (hutan). Dihuni oleh pemimpin yang zalim (zhulmul umara), ilmuan yang dengki (juurul ulama), para pengusaha yang tidak amanah (khiyanatut tujjar), kalangan bawah yang beribadah untuk mencari popularitas (riyaul ‘ubbad), para pekerja profesional yang tidak taat hukum (khiyanatul muhtarifin).
Nabi SAW bersabda:” Wahai kaum Muhajirin, kalian akan diuji oleh lima perkara. Aku berharap kalian tidak mengalaminya. Pertama, tidaklah perbuatan zina muncul pada suatu bangsa hingga mereka menyatakannya secara vulgar, kecuali pasti tersebar di tengah-tengah mereka penyakit menular dan penyakit-penyakit lain yang belum pernah ada di masa lalu. Kedua, mereka tidak berbuat curang dalam timbangan, melainkan mereka akan ditimpa musim paceklik, kesulitan pangan, dan penguasa yang berbuat zalim kepada mereka. Ketiga, mereka tidak mengeluarkan zakat harta mereka, kecuali mereka pasti tidak akan diberi hujan. Kalau bukan karena binatang ternak, niscaya mereka tidak akan diberi hujan sama sekali. Keempat, tidaklah mereka melanggar janji Allah dan janji Rasul-Nya, kecuali pasti Allah akan menundukkan mereka di depan musuhnya lalu mengambil sebagian apa yang ada di tangan mereka. Kelima, jika para pemimpin mereka tidak menerapkan hukum Allah dan memilih-milih di antara apa yang diturunkan oleh-Nya, niscaya Allah akan menimpakan keganasan (keras hati) sebagian mereka atas sebagian yang lain” (HR. Al-Hakim dalam kitabnya Al-Mustadrak dan Ibnu Majah dalam sunan-nya).
Namun, meratapi zaman, demonstrasi, unjuk rasa, mengutuk keadaan, bukan merupakan jalan keluar yang bijak dan tepat. Dengan beragam permasalahan yang melilit bangsa, seharusnya kita ikut mengurainya. Kita sebagai mujahid, bukan bagian dari masalah, tetapi memposisikan diri sebagai bagian dari solusi. Zaman Nabi Saw saja, yang dikategorikan zaman keemasan, dihuni oleh manusia-manusia pilihan, ada pula sisi-sisi negatif yang menyertainya. Apalagi zaman kita sekarang, yang jauh dari sumber turunnya wahyu.
Yang mendesak kita lakukan sekarang adalah ibda’ binafsik, wabdak biman ta’uul, mulailah dari dirimu, dan ajaklah orang terdekatmu secara bertahap membangun kepemimpinan berbasis kenabian. Mereka adalah figur teladan pemimpin yang terbukti sukses di dunia dan selamat di akhirat. Mereka adalah para Nabi, shiddiqin, syuhada, orang-orang shalih. Amal shalih dan ajaran mereka patut diwarisi jejak kehidupannya.
“Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul (Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiiqiin ( orang-orang yang amat teguh kepercayaannya kepada kebenaran rasul, dan inilah orang-orang yang dianugerahi nikmat sebagaimana yang tersebut dalam surat Al Faatihah ayat 7). orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.” (QS. An-Nisa (4) : 69).
Empat Pelajaran Kepemimpinan Yusuf AS.
Dalam khazanah kepemimpinan Islam, Al-Quran mengangkat sosok Nabi Yusuf AS sebagai figur teladan. Kehidupan beliau layak dipetik sebagai pelajaran. Di antaranya sebagai berikut.
Pertama, Sabar dalam Menghadapi Kerumitan Hidup
Menjadi pemimpin adalah memilih jalan sepi dan mendaki. Pemimpin di samping dituntut legal formal struktural, juga harus legitimed (dicintai oleh bawahannya). Diakui secara kultural. Ia dituntut unggul dalam kesabaran dan keyakinannya, melebihi rata-rata. Pada awalnya sabar itu pahit, melebihi pahitnya empedu dan akan berakhir dengan manis, mengungguli manisnya madu, meminjam pepatah Arab. Sudahkah kita bersabar dalam berinteraksi dengan keluarga, tetangga, handaitaulan, teman seprofesi, dan lingkungan sosial kita? Inti dari keberagamaan kita adalah keterampilan bergaul (ad-Dinu huwal mu’amalah).
“Dan kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah kami ketika mereka sabar [menegakkan kebenaran]. Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat kami.” (QS. As-Sajdah (32) : 24).
Ketika kita menengok perjalanan kehidupan Nabi Yusuf, kita memperoleh pelajaran yang sangat fundamental. Ketabahan beliau telah teruji oleh sejarah. Lewat perjalanan panjang pada masa kecilnya. Sepuluh saudaranya mengadakan konspirasi jahat untuk melemparkannya ke dalam sumur kering, karena dorongan dengki. Dengki adalah perbuatan dosa pertama di langit dan di bumi. Di langit, menyebabkan terusirnya Iblis dari surga. Di bumi menyebabkan terjadinya pembunuhan pertama. Selama bertahun-tahun dia dijadikan budak belian, sampai dimasukkan ke dalam penjara. Yusuf menghadapi semua kesulitan itu dengan pasrah, tabah, tahan uji, tanpa mengeluh di hadapan Allah SWT. Nabi Ya’qub memikirkan penderitaan anaknya Yusuf hingga buta.
Ya’qub berkata: “Hanya dirimu sendirilah yang memandang baik perbuatan (yang buruk) itu. Maka kesabaran yang baik itulah (kesabaranku). Mudah-mudahan Allah mendatangkan mereka semuanya kepadaku, sesungguhnya Dia-lah yang Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana”.(QS. Yusuf (12) : 83).
Kedua, Kuat Dalam Menghadapi Godaan Kejahatan
Pemimpin yang lemah dalam menghadapi godaan tahta, harta, dan wanita, akan turun integritas dan kredibilitasnya. Sekalipun secara formal, masih berkuasa dan dipagari oleh kekuatan militer, dan hak-hak istimewa. Lambat laun ia akan diturunkan oleh orang yang menjilatnya selama ini dengan cara yang menyakitkan. Ia akan dihujat di dunia dan terkutuk di akhirat.
Nabi Yusuf AS adalah sosok manusia pilihan yang kuat dalam menghadapi godaan wanita, ibu angkatnya sendiri, Zulaikha. Ia sangat cantik, menggodanya dengan cara paksa di dalam kamar yang dikunci rapat.
Sesungguhnya wanita itu telah bermaksud (melakukan perbuatan itu) dengan Yusuf, dan Yusuf pun bermaksud (melakukan pula) dengan wanita itu andaikata dia tidak melihat tanda (dari) Tuhannya. Demikianlah, agar Kami memalingkan dari padanya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu termasuk hamba-hamba Kami yang terpilih (QS. Yusuf (12) : 24).
Ayat ini tidaklah menunjukkan bahwa nabi Yusuf a.s. punya keinginan yang buruk terhadap wanita itu (Zulaikha), akan tetapi godaan itu demikian besarnya sehingga andaikata dia tidak dikuatkan dengan keimanan kepada Allah s.w.t, tentu dia jatuh ke dalam kemaksiatan.
Peluang untuk berbuat dosa terbuka luas, akan tetapi Yusuf AS berhasil lolos berkat keimanannya yang kuat kepada-Nya dan menyaksikan tanda-tanda kebesaran Allah SWT.
Seorang pemimpin sejati sepatutnya memiliki integritas moral yang kuat, sandaran spiritual yang kokoh, yang memperkuatnya dalam menegakkan kebenaran dan keadilan sebagaimana Nabi Yusuf AS, agar tidak mudah jatuh dalam godaan duniawi yang kerdil, kenikmatan sesaat. Dan tidak mudah melupakan kenikmatan yang abadi dan permanen.
Ketiga, Memiliki Kemampuan Mengantisipasi Krisis
Kehidupan di dunia ini, termasuk di dalamnya berbangsa dan bernegara mengalami pasang surut, fluktuatif. Tidak selamanya negara dalam keadaan surplus. Bergelimpangan kekayaan dan diliputi kesejahteraan dan kemakmuran. Ada masa-masa di mana kesulitan, penderitaan itu datang tanpa diundang. Pemimpin yang fathonah, tenang menguasai keadaan, dan terampil dalam mengelola dan mengantisipasi kondisi terburuk, bahkan kondisi yang tidak menguntungkan bagi pemimpin, justru mengantarkannya untuk menjadi pahlawan. Kesulitan merupakan saham yang harus dibayar secara kredit atau kontan, untuk menuju puncak prestasi. Tidak ada cerita hujan emas turun dari langit. Justru, turunnya hujan diawali dengan kilat, petir dan halilintar, serta kegelapan mendung.
Berkat mujahadah, jihad, dan ijtihad Nabi Yusuf AS di penjara, Allah SWT memberikan ilmu dan hikmah, sehingga mampu mentakwil mimpi raja, dan terbukti mujarab. Ketika bangsa Israil menghadapi paceklik, ia memegang kendali perekonomian dan mewujudkan keadilan, kemakmuran secara merata.
Setelah pelayan itu berjumpa dengan Yusuf dia berseru: “Yusuf, hai orang yang amat dipercaya, terangkanlah kepada kami tentang tujuh ekor sapi betina yang gemuk-gemuk yang dimakan oleh tujuh ekor sapi betina yang kurus-kurus dan tujuh bulir (gandum) yang hijau dan (tujuh) lainnya yang kering agar aku kembali kepada orang-orang itu, agar mereka mengetahuinya.” Yusuf berkata: “Supaya kamu bertanam tujuh tahun (lamanya) sebagaimana biasa, maka apa yang kamu panen hendaklah kamu biarkan di bulirnya kecuali sedikit untuk kamu makan. Kemudian sesudah itu akan datang tujuh tahun yang amat sulit, yang menghabiskan apa yang kamu simpan untuk menghadapinya (tahun sulit), kecuali sedikit dari (bibit gandum) yang kamu simpan. Kemudian setelah itu akan datang tahun yang padanya manusia diberi hujan (dengan cukup) dan di masa itu mereka memeras anggur.” (QS. Yusuf (12) : 46-49).
Yusuf membuat perencanaan yang matang untuk menghadapi datangnya musim paceklik. Dengan melakukan penyimpanan persediaan makanan selama tujuh tahun masa subur, untuk menghadapi tujuh tahun masa paceklik. Sehingga rakyatnya terhindar dari kelaparan.
Seorang pemimpin harus visioner dalam aspek ekonomi, untuk mengentaskan rakyat dari kemiskinan dan kelaparan. Tidak hanya berfikir untuk keuntungan pribadi, keluarga dan kelompoknya saja.
Keempat, Tidak Pendendam
Memiliki hati yang legowo dan luber, berjiwa permadani (bisa menampung berbagai karakter bawahannya) tidak mudah dan tidak sederhana. Pada umumnya ketika ada peluang untuk menduduki kursi, dan memperoleh nasi, seseorang mudah untuk melampiaskan rasa dendam kesumat. Merupakan perjuangan berat dan sulit berjiwa muhsin. Sulit memaafkan orang yang menzhaliminya, memberikan orang yang melarang pemberian kepadanya, menyambung orang yang memutuskan silaturrahim kepadanya. Berjiwa besar yang merupakan modal memimpin, memerlukan proses yang panjang.
Sekalipun sepuluh orang saudara-saudaranya yang nyata-nyata akan membunuh Yusuf AS, datang dengan maksud membeli gandum, beliau tidak membalas dendam atas kekejaman mereka. Nabi Yusuf AS memaafkan dan menempatkan saudara-saudaranya itu pada posisi yang tinggi.
Dia (Yusuf) berkata: “Pada hari ini tak ada cercaan terhadap kamu, mudah-mudahan Allah mengampuni (kamu), dan dia adalah Maha Penyayang di antara para penyayang”. (QS. Yusuf (12) : 92).
Betapa indahnya kepemimpinan Khalifah Islam V, Umar bin Abdul Aziz. Beliau hanya memimpin selama 29 bulan. Tetapi, waktu dua tahun lima bulan itu telah dikelola dengan baik. Dapat mewujudkan keadilan dan kemakmuran merata. Para amil zakat berkeliling Afrika, dan tidak ada seorang pun yang menerimanya. Bahkan para pemuda yang akan menikah dibiayai oleh negara. Indikator kemakmuran yang tidak ada duanya. Anggaran Belanja Negara benar-benar surplus.
Menjelang kematiannya (naza’), dia bertanya kepada pembantunya, “Bagaimanakah keadaan masyarakat kita? Pembantunya menjawab: Semua penduduk sudah sejahtera ya Amirul Mukminin, kecuali engkau. Saya dan kuda tunggangan (kendaraan) kita masih tetap menderita seperti dahulu awal pelantikan Anda menjadi khalifah.”
Sosok Yusuf AS dan Umar bin Abdul Aziz muncul di tengah-tengah komunitas yang memiliki kesabaran dan keyakinan yang kuat terhadap ketentuan Allah SWT. Bukan komunitas yang konsumptif. Sehingga Allah SWT tetap memelihara keutuhan masyarakat dengan dipandu pemimpin yang menebarkan nilai kebenaran dan keadilan. Besar harapan kita, mudah-mudahan bangsa kita dikaruniai pemimpin yang sabar dan yakin, yang memandu kita terlepas dari berbagai krisis menuju baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur (negeri makmur penuh ampunan Tuhan) sesuai dengan cita-cita pendiri bangsa ini.
Sebuah negeri bagaikan bustan (kebun). Dihuni oleh pemimpin yang adil (‘adlul umara), ilmunya para ulama (‘ilmul ‘ulama), kejujuran pengusaha (amanatut tujjar), ketekunan ibadah rakyat (‘ibadatul ‘ubbad), dan kaum profesional yang taat hukum (nashihatul muhtarifin). [Kudus, 16 Desember 2009/hidayatullah.com]
Penulis adalah kolumnis hidayatullah.com