KAUM Hawa jika mendapat sentuhan Islam, kualitas pribadinya melebihi dari kaum lelaki. Lihatlah sosok Maryam, Khadijah, Asiyah binti Muzahim, Sarah, Hajar, Yukhabil, istri Imran, dan lain-lain. Nama-nama mereka menghiasi prasasti emas sejarah Islam dan kemanusiaan.
Bagi mereka memainkan peran publik, menjadi Ibu Negara, tidak bermakna jika gagal dalam mewujudkan fungsi kodratinya. Mereka merasakan kenikmatan hidup menjadi ummahaatun Nabi (ibu-ibu Nabi). Peran di balik layar yang bisa memutar jarum sejarah kehidupan manusia. Wanita ibarat tiangnya negara. Jika tiang itu baik, maka negara itu akan baik. Jika negara itu bengkok, maka ada sesuatu yang rusak dari dalam (tiangnya).
Sebaliknya, kaum Hawa yang belum mengenal Islam, kualitas ruhaninya lebih rendah dari pada laki-laki. Bukankah yang tega mencincang dan menggigit isi dada syahid pertama Hamzah bin Abi Thalib adalah makhluk Allah yang inheren dengan kelembutan, kasih sayang, tabah dan karakter kewanitaan yang lain itu? Sekalipun di bawah pengasuhan seorang Nabi, bibi Nabi, istri Luth, istri Nuh, dan Ummu Jamil berada di baris terdepan dalam menghalangi dakwah Islam.
Pepatah Arab mengatakan : ????? ????? ??????? ???????
(setiap wanita yang mengenakan bh (penutup buah dada) adalah bibi (saudari ibu).
Jika wanita berhasil menjaga iffahnya (harga dirinya), melaksanakan tugas-tugas sucinya sebagai ibu, istri, pendidik dan da’iyah, maka kedudukannya melebihi bidadari di surga.
Ummu Salamah, istri Nabi Saw. pernah bertanya kepada Rasulullah Saw, sebagaimana tersebut dalam sebuah hadits: “Manakah yang lebih mulia, wahai utusan Allah, perempuan di dunia inikah atau bidadari di surga? Rasulullah Saw. menjawab: Perempuan di dunia lebih mulia daripada bidadari di Surga laksana lebih mulianya pakaian luar dari pakaian dalam.” (Hadil Arwah, Ibnul Qoyim Al Jauziyah).
Wajar, perempuan dunia ini akan masuk surga dengan amal shalihnya, shalat, puasa, kesetiaannya kepada suami, pengorbanannya demi masa depan anak-anaknya. Sedangkan bidadari menempati surga dengan tidak berbekal apa-apa. Ibarat menaiki kapal tanpa membawa tiket. Tentu, ia dianggap oleh awak kapal sebagai penumpang gelap. Ia tinggal masuk surga tanpa mengetahui dan menyadari betapa tinggi nilai tempat yang didiaminya. Ia mendapatkannya tanpa jerih payah, perjuangan, dan pengorbanan. Adakah fakta lain yang bisa membuktikan penghargaan yang agung, istimewa kepada wanita melebihi Islam?
Dukun Cinta dari Rumah
Orangtua kita dahulu seringkali melukiskan keberadaan isteri bagi suami, menggunakan pepatah Jawa: Garwo identik dengan sigarane nyowo (belahan jiwa). Wanito (wani ditoto), perempuan (empunya rumah), dan lain-lain. Dalam Islam berkeluarga sama dengan menyempurnakan separuh agama (nishfud diin). Berbagai kenikmatan di surga rasanya belum cukup bagi Adam. Maka, Allah menciptakan ibu kita Hawa untuk mendampinginya. Ia terbuat dari tulang rusuk Nabi Adam as. Ibu Hawa adalah bagian dari jiwa Adam as.
Jika kita menelusuri secara lebih cermat (at tahqiq) karya-karya besar orang sukses, selalu ada peran penting kaum Hawa. Perempuan di samping sebagai sandaran emosional, ia juga sebagai batu bata/penyangga spiritual. Dialah yang siap berbagi (sharing) tanpa pura-pura atau pamrih. Karunia isteri dalam Al-Quran sama berharganya dengan kejadian dunia dan seisinya (QS. Ar Rum (30) : 16-30).
Dari isteri, para pria dapat memperoleh ketenangan dan gairah kehidupan. Kenyamanan dan keberanian, keamanan, dan kekuatan. Laki-laki menumpahkan seluruh energinya di luar rumah dan mengumpulkannya kembali dari dalam rumah. Rumah tidak sekedar tempat berteduh secara fisik, tetapi tempat berlabuh lahir dan batin. Sumber menu rohani dan jasmani.
Potensi besar yang dikaruniakan oleh Allah Swt kepada perempuan yang sukses mendampingi suaminya adalah sikap kelembutan (ar rifq), kesetiaan (al wafa), cinta (mawaddah) dan kasih sayang (rahmah), muthmainnah (ketenangan jiwa). Kekuatan itu seringkali dilukiskan bagaikan ring dermaga tempat kita menambat kapal atau pohon rindang tempat sang musafir kehausan untuk merebahkan diri dan berteduh.
Di dalamnya merupakan padang jiwa yag luas dan nyaman. Tempat menumpahkan sisi kepolosan dan kekanak-kanakan kita untuk bermain dengan lugu. Saat kita melepaskan kelemahan-kelemahan kita dengan aman. Saat kita merasa bukan siapa-siapa. Saat kita menjadi bocah besar, berkumis. Di telaga kedalamannya kita menyedot energi spiritual dan ketajaman emosional.
Umar bin Khattab pernah mengatakan: “Jadilah engkau bocah di depan isterimu, tetapi berubahlah menjadi lelaki perkasa ketika keadaan memanggilmu.”
“Saya selamanya ingin menjadi bocah besar yang polos ketika berbaring dalam pangkuan ibuku dan istriku, “ kata Sayyid Quthub.
Ketika isteri-isteri Nabi lain yang cemburu dengan Khadijah, beliau bersabda :
???? ???????? ????????
“Aku telah dikaruniai cinta kepadanya.” (HR. Muslim).
Khadijah hadir di hadapan Nabi, ketika beliau sangat memerlukannya. Statemen monumental yang diucapkannya ketika suami dan gurunya itu membutuhkan motivasi, dukungan moral (good will) adalah:
?????? ????????? ??? ?????????? ????? ??????? ??????? ???????? ????????? ?????????? ??????????? ?????????? ???????? ?????????? ????????????? ????????? ????????? ?????????? ????? ????????? ????????
“Sekali-kali tidak akan gagal. Demi Allah, Allah tidak akan menghinakanmu. Sesungguhnya engkau senang silaturrahim, selalu berkata benar, menolong yang lemah dan kehilangan pekerjaan, menghormati tamu dan membantu yang terkena musibah.”
Ia menyatakan pula peran penting yang diperagakan oleh Khadijah pada awal perintisan dakwah Islam.
???????? ??? ???? ?????? ???????? ?????????????? ???? ????????? ???????? ???????????? ?????????? ???? ????????? ???????? ??????????? ???? ????????? ???? ????????? ???????? ????????
“Dia (Khadijah) beriman kepadaku ketika orang lain mengingkariku. Dia membenarkanku ketika orang lain mendustakanku. Dia membantu dengan hartanya, ketika orang lain menahan hartanya untuk membantu perjuanganku. Dan Allah menganugerahi anak yang dilahirkannya, sedangkan istri yang lain tidak beranak untukku.” (HR. Ahmad).
Namun ketika sumber kebahagiaan (mashdarus surur), keamanan, penjagaan kehormatan diri itu hilang dan, kering, maka yang terjadi adalah “tragedi cinta”. [bersambung/hidayatullah.com]
Penulis adalah kolumnis hidayatullah.com