KISAH sederhana ini terbilang unik. Menceritakan perjuangan seorang penuntut ilmu yang bertahan menghadapi tantangan. Bahwa ilmu itu mesti dengan kesabaran. Butuh fokus dan tekad kuat. Ibarat perjalanan jauh atau lomba lari maraton, tak cukup bermodal semangat sesaat. Sebab ada godaan, rintangan atau cabaran. Jalannya tak melulu lurus. Orang suka berharap mulus. Padahal kebanyakan justru berkelok lagi mendaki.
Tersebutlah Yahya bin Yahya al-Laitsi, semoga Allah merahmatinya. Seorang murid Imam Malik bin Anas Rahimahullah yang kelak menjadi ulama besar kebanggaan mazhab Maliki.
Sejak awal tekad Yahya sudah membaja. Itu terbukti dengan keputusan meninggalkan pesona bumi Andalus, kelahirannya. Hijrah dan menetap di Hijaz yang lebih dikenal tandusnya. Hanya orang yang bercita-cita besar yang memilih jalan itu. Kelak, orang mengenangnya dengan sebutan “Aqilu Andalus” atau orang berakal dari Andalusia.
Tak butuh waktu lama, Yahya segera bergabung di majelis yang dirindukannya. Membersamai barakah ilmu Imam Malik, sang Imam Darul Hijrah. Hari-harinya segera disibukkan dengan urusan ilmu dan murajaah. Hingga satu hari serombongan kafilah memasuki kota Madinah. Lengkap dengan kawanan gajah yang menyertainya. Dari jauh suara ramai mulai mengusik penduduk Madinah. Tak terkecuali murid-murid Imam Malik yang sedang khusyuk mendengar petuah dan nasihat ilmu gurunya.
Berkata Adz-Dzahabi, “Ketika itu para musafir datang membawa gajah. Murid-murid Imam Malik berhamburan keluar. Rasa ingin tahu mendorong mereka melihat binatang besar itu dari dekat. Semua beranjak, kecuali Yahya bin Yahya. Ia tetap duduk dan memandang gurunya, Imam Malik. Melihat itu, Imam Malik mendekat dan bertanya: Mengapa engkau tidak keluar untuk melihat gajah?” Yahya menjawab, ”Aku jauh-jauh datang dari Andalusia hanya untuk melihat Anda (menuntut ilmu). belajar akhlak dan ilmu dari Anda. Bukan untuk melihat gajah.”
Inilah teladan hebat Yahya bin Yahya al-Laitsi. Komitmennya kepada tujuan ilmu membuatnya berani berkata tidak kepada seluruh gangguan (distraksi) yang bisa memalingkan dari fokus meniti jalan mulia, menuntut ilmu. Dia tidak ingin mencederai kemuliaan tersebut hanya gara-gara urusan dunia atau perkara remeh temeh. Baginya, menatap wajah sang guru lebih bermanfaat dan mengundang barakah daripada menikmati keramaian karnaval gajah dan sorak sorai penonton yang menyaksikannya.
Baca: Agar Ilmu Bisa Bekerja
Senada, Ibnul Qayyim al-Jauziyah Rahimahullah, juga mengingatkan pesan penting bagi penuntut ilmu. Kesuksesan pendidikan itu ada syaratnya yang mesti dipenuhi. Salah satunya, menyadari dan menjauhi setiap gangguan yang ada (afatul ilmi). Bahwa gangguan itu tetaplah gangguan yang mesti dijauhi. Bukan sebagai hiburan yang layak dinikmati. Terkadang, jika itu dibiarkan, alih-alih merasa risih atau malu, orang itu bahkan tak sungkan memamerkan perbuatannya dan merasa bangga.
Fakta menyebut, orang-orang yang kini terjangkiti Islamphobia, misalnya. Setelah ditelusuri rekam jejaknya, selain masih Muslim, sebagian mereka juga adalah orang-orang yang pernah belajar agama. Pernah belajar di sekolah-sekolah atau perguruan tinggi berlabel Islami. Bahkan mungkin pemahaman (tentang) agama mereka lebih baik dari selainnya. Namun inilah pertanyaannya. Mengapa kini mereka begitu membenci Islam dan antipati terhadap hal-hal yang berbau syariat atau agama? Apa sesungguhnya yang terjadi pada mereka?
Renungannya, dikhawatirkan di tengah proses perjalanan orang tersebut, ada masa dimana ia berjumpa dengan distraksi atau sesuatu yang memalingkan dirinya. Saat itu, sekali berpaling, mungkin seolah tak ada yang berubah atau hilang dari dirinya. Semuanya tampak berjalan seperti biasa. Tanpa sadar, ia terus menuruti rayuan maut itu. Mulailah bercak keraguan itu timbul. Perlahan tapi pasti noda karat terus menggerogoti keyakinannya. Keteguhannya memegang hal prinsip mulai goyah. Hingga akhirnya tak ada yang tersisa dari keimanannya. Ilmunya hilang bersamaan dengan barakah itu lenyap tanpa jejak sedikitpun. Itulah bahaya godaan dan distraksi ilmu tersebut.* Masykur