Hidayatullah.com–“Pak Kiai, kok bisa ngundang Bang Bintang?” tanya seorang pria kepada Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, KH. Cholil Ridwan seusai Pengajian Politik Islam (PPI), Ahad, 12 Januari 2014 lalu.
Pertanyaan itu disampaikan pada salah satu penggagas PPini saat menuruni tangga Masjid Agung Al Azhar (MAAA), Kebayoran Baru, Jakarta.
Kehadiran Dr Sri Bintang Pamungkas ikut menjadi pengisi acara Pengajian Politik Islam (PPI) memang mengejutkan banyak orang. Maklum, Sri Bintang adalah mantan politisi yang sangat keras menentang kebijakan Soeharto. Bahkan di era Soeharto ia mantan ketua Partai Uni Demokrasi Indonesia (PUDI) itu pernah dijebloskan ke hotel prodeo akibat aksi demonstrasinya di Hannover Fair Jerman tahun 1995.
Mendapat pertanyaan seperti itu, Kiai Cholil menjawab dengan tenang, bahwa siapapun bisa tampil sebagai pembicara di PPI, termasuk Sri Bintang Pamungkas.
Meski Jakarta seharian diguyur hujan dan banjir melanda beberapa tempat, tak menyurutkan jamaah mendengar paparan kritis Bang Bintang, demikian Sri Bintang akrab dipanggil. Para peserta PPI, sebagian dari mereka merupakan aktivis dikala muda.
Pseudo Penjajahan
Dalam paparannya, Sri Bintang mengaku berterima kasih pada Kiai Cholil yang telah mengundangnya ke MAAA.
Menurutnya, kehadirannya di PPI kali ini merupakan ceramah pertamanya ia dibebaskan sebagai tahanan politik Orde Baru.
“Tahun 93-95 saya banyak diundang. Termasuk di sini. Tapi setelah itu ada yang bilang, supaya Mas Bintang tidak usah lagi ceramah,” ucap mantan polisi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) itu santai.
Meski sudah berusia 69 tahun, ia masih memiliki analisa tajam dengan segepok data.
Dalam acara PPI hari ini, tokoh yang dikenal dengan anjuran Golongan Putih (Golput)-nya pada Pemilu 2009 itu, menyampaikan tema “Pseudo Penjajahan” (penjajahan yang tidak terlihat) namun efeknya terasa.
“Saya senang dengan kehadiran Pak Bintang di PPI. Saya menganggap ini ceramah pertobatan Pak Bintang,”cetus Yusuf, aktivis Perhimpunan Keluarga Besar Pelajar Islam Indonesia.
Bintang tersenyum kemudian mengakui hal tersebut.
“Pertobatan, betul. Karena saya ikut melawan. Saya ikut menjatuhkan Soeharto dengan harapan lebih baik. Tapi, kok lebih buruk?” tuturnya dengan nada prihatin.*