Oleh: Qosim Nursheha Dzulhadi
IBNU KHALDUN (732-808 H/1332-1406 M) adalah pemikir besar, sosiolog Muslim terkemuka. Nalarnya setara dengan Montesqueu dan Mably. Bahkan, ia merupakan “kakek” pemikiran para sosiolog modern sekelas Tarde dan orientalis Gobineau.
Posisinya sebagai pencetus ilmu sosiologi tidak ada seorang pun yang meragukannya. Lebih dari itu, sebelum menjadi seorang sosiolog terkenal, ilmu-ilmu agama telah dilahapnya sejak awal masa belajarnya di Tunisia. Guru pertamanya adalah ayahnya sendiri. Kemudian dari guru-gurunya yang lain dia mengambil berbagai cabang ilmu, seperti: Al-Quran, Tafsir, Hadits, Fiqh, Usūl al-Fiqh, Bahasa Arab, Nahwu, Sharaf, Syair, Logika (al-Manthiq), Filsafat, bahkan musik.
Penguasaan Ibn Khaldūn terhadap ilmu-ilmu agama dari sana tampak jelas bahwa Ibn Khaldūn adalah seorang alim besar, karena banyak berguru kepada ulama besar di zamannya. Sehingga sekian banyak buku telah dilahapnya dari para gurunya tersebut.
Hanya Tāhā Husain saja yang sepertinya meragukan penguasaan buku-buku yang dikatakan oleh Ibn Khaldūn dalam autobiografinya, seperti Muktasar ibn al-Hājib dan kitab al-Aghānī.
Karena Ibn Khaldūn menyebutkan bahwa Mukhtasar Ibn al-Hājib sebagai kitab fiqh dalam madzhab Maliki, Tāhā Husain berkomentar bahwa itu keliru. Karena Mukhtasar Ibn al-Hājib adalah kitab “Usūl al-Fiqh”, bukan kitab Fiqh seperti yang ditulis oleh Ibn Khaldūn.
Dan mengenai kitab al-Aghānī, Tāhā Husain menyatakan bahwa Ibn Khaldūn dalam autobiografinya menyebutkan pernah melihat naskah buku tersebut. Dan dalam al-Muqaddimah-nya dia menyatakan bahwa mustahil untuk mendapatkan naskah buku tersebut. Ini jelas, kata Tāhā Husain bahwa Ibn Khaldūn hanya mengenal judulnya saja. (Lihat, Tāhā Husain, Falsafah Ibn Khaldūn al-Ijtimā‘iyyah: Tahlīl wa Naqd, Terj. Muhammad ‘Abd Allāh ‘Anān (Mesir: Matba‘ah al-I‘timād, cet. I, 1343 H/1925 M), hlm. 11-12).
Agaknya Tāhā Husain keliru memahami pernyataan Ibn Khaldūn. Karena dia belum tuntas menghafal kitab tersebut. Dengan tegas Ibn Khaldūn menyatakan ketika berbicara tentang gurunya Muhammad ibn Sa‘d ibn Burrāl seperti berikut:((ودرست عليه كتبا جمة مثل كتاب التسهيل لابن مالك مختصر ابن الحاجب في الفقه ولم أكملهما بالحفظ))
(Aku belajar kepadanya tentang banyak buku, seperti kitab al-Tashīl karya Ibn Mālik dan Mukhtasar Ibn al-Hājib dalam bidang Fiqh, yang belum hafal secara tuntas). (Ibn Khaldūn, Tārīkh Ibn Khaldūn (Kitāb al-‘Ibar), Jilid VII (Beirut-Lebanon: Dār al-Fikr, 1421 H/2001 M), hlm. 511).
Artinya, Ibn Khaldūn hanya menyebutkan contoh level buku-buku yang dipelajarinya di masa itu. Konon lagi banyak terdapat buku-buku ringkasan dari kitab-kitab besar itu, yang khusus dipelajari oleh para pemula. Ini tentu tidak layak untuk dibanggakan ketika masih dalam masa talaqqī kepada para syaikh.
Selain itu, sejatinya Ibn Khaldūn tengah memberi pelajaran penting kepada kita, yaitu: dalam belajar dan menuntut ilmu itu harus jeli nan teliti dalam mencatat (al-diqqah). Sehingga dia menyampaikan dengan detail bagian kitab mana yang belum dipelajarinya secara tuntas.
Misalnya dia mengatakan, “Aku membacakan kitab Sahih Muslim ibn al-Hajjāj kepada ‘Alī Muhammad ibn Jābir al-Qaisī, dan aku hanya meninggalkan sebagian kecil dari bab buruan (kitāb al-said).” (Ibn Khaldūn, Kitāb al-‘Ibar, VII: 512. Lihat juga, Ibn Khaldūn, al-Ta‘rīf bi Ibn Khaldūn wa Rihlatuhu Gharban wa Syarqan (Dār al-Kitāb al-Lubnānī, 1979), hlm. 19).
Tentang kitab Ibn al-Hājib sendiri, yang dikutip juga oleh Tāhā Husain, Ibn Khaldūn menyatakan ولم أكملهما بالحفظ (keduanya belum tuntas aku hafal). Ini artinya Ibn Khaldūn sangat detail dan teliti dalam meriwayatkan apa yang tengah dipelajarinya ketika itu.
Maka, tidak benar apa yang dikatakan oleh Tāhā Husain dalam bukunya itu. (Dr. ‘Alī ibn ‘Abd al-Wāhid Wāfī, ‘Abd al-Rahmān ibn Khaldūn: Hayātuhu wa Ātsāruhu wa Mazhāhir ‘Abqariyyatihi (Kair: Maktabah Misr, ttp), hlm. 29-30).
Semestinya, Tāhā Husain jeli melihat apa yang dikatakan oleh Ibn Khaldūn dalam pernyataan keduanya belum tuntas aku hafal.
Artinya: ada dua kitab Mukhtasar Ibn al-Hājib, yang memang berkaitan. Karena ternyata Ibn Hājib memiliki kitab ringkasan dalam Fiqh Imam Mālik yang dikenal dengan al-Mukhtasar al-Fiqhī atau al-Far‘ī, atau al-Jāmi‘ baina al-Ummahāt. Kitab ini banyak disyarh (dijelaskan) oleh ulama Maghrib, seperti al-Qādī Ibn ‘Abd al-Salām al-Tūnisī (guru Ibn Khaldūn) dan ‘Īsā ibn Mas‘ūd al-Munkilātī. (Dr. ‘Abd al-Wāhid Wāfī, ‘Abd al-Rahmān ibn Khaldūn, hlm. 31).
Dan mengenai kitab Mukhtasar Ibn al-Hājib ternyata dua-duanya – baik dalam Fiqh maupun Usūl al-Fiqh – telah dipelajari oleh Ibn Khaldūn. Dua-duanya disebutkan di dalam al-Muqaddimah. (Lihat, Ibn Khaldūn, al-Muqaddimah (Beirut-Lebanon: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyah, cet. IX, 1427 G/2006 M), hlm. 36. Lihat juga, lihat Ibn Khaldūn, Kitāb al-‘Ibar, VII: 511, 512).
Begitu juga halnya dengan kitab al-Aghānī yang ternyata telah dipelajarinya, dan sebagian besar syair yang ada di dalamnya telah dihafalnya. (Lihat, Dr. ‘Alī ‘Abd al-Wāhid Wāfī,‘Abd al-Rahmān ibn Khaldūn, hlm. 33-36).
Dengan demikian, apa yang dikatakan oleh Tāhā Husain tak lebih dari tuduhan belaka. Karena ternyata pembacaannya terhadap penjelasan Ibn Khaldūn sendiri belum tuntas. Kesimpulan seperti itu tentu saja kontraproduktif sekaligus tidak ilmiah. Wallāhu a‘lamu bi al-shawāb.*
Penulis adalah guru di Pesantren Ar-Raudhatul Hasanah, Medan-Sumatera Utara. Penulis buku “Membongkar Kedok Liberalisme di Indonesia (Jakarta: Cakrawal Publishing, 2012)”