Oleh: Ali Mustofa
Hidayatullah.com | PERADABAN Barat sekilas tampak lebih maju dibanding peradaban Islam. Namun bila dikaji lebih detail, kemajuan sains dan teknologi yang menjadi pondasi bangunan peradaban Barat justru telah mengantarkan dunia di ambang krisis global yang semakin hari semakin mengkhawatirkan.
Gambaran ini tampak sebagaimana diungkap Fritjof Capra, krisis global yang dihadapi umat manusia di planet ini telah menyentuh hampir seluruh dimensi kehidupan seperti bidang kesehatan, teknologi, ekonomi, politik, ekologi, dan hubungan sosial. Krisis juga melanda dimensi-dimensi intelektual, moral, dan spiritual.
Ketika anda berjalan-jalan di kota Manchester (Inggris), Munich (Jerman), atau Paris (Prancis), jangan heran bilamana mendapati sebuah papan iklan besar bertuliskan “Its Like Religion” dengan disertai gambar salah satu bintang sepakbola ternama di kota tersebut.
Jangan tanya angka pembunuhan, kriminalitas, tindakan asusila, dan seterusnya. Bahkan di tahun 2019, sebuah laman media nasional menulis tajuk yang membuat bulu kuduk kita begidik saat membacanya: “Hati-hati kalau mengunjungi kota-kota di Benua Biru ini. Kalau tidak, kita tidak bisa kembali lagi”. Kota-kota yang disebut paling rawan ialah: Sofia (Bulgaria), Metrovica (Kosovo), Glasgow (Skotlandia), Marseille (Prancis).
Itulah gambaran peradaban barat yang mencemaskan. Namun sayang wajah buram itu terus berusaha ditularkan ke berbagai belahan dunia Islam. Mereka justru sengaja memberikan gambaran buruk pada peradaban Islam supaya masyarakat takut pada Islam (Islamofobia).
Islamofobia
Para pemikir mendefinisikan Islamofobia dengan berbeda-beda. Namun kesemuanya memiliki substansi yang sama, yakni sikap benci atau takut terhadap Islam, Muslim, dan ajarannya. Dalam sejarahnya, Islamofobia adalah sudah ada sejak zaman Rasulullah ﷺ.
Ketika orang-orang kafir teramat benci dengan agama yang dibawa Nabi Muhammad ﷺ. Kebencian itu kemudian diwujudkan dengan sikap penolakan, hasutan, penghalangan, fitnah, hingga tindakan represif terhadap pengemban dakwah Islam.
Sejarah selalu berulang. Sikap Islamofobia hingga sekarang masih tumbuh subur diberbagai belahan dunia.Tak terkecuali di negri yang mayoritas penduduknya Muslim.
Jika di negeri minoritas, Islamopobhia mempunyai corak anti agama, ajaran, dan penganutnya. Namun di negri mayoritas muslim, Islamofobia bercorak lebih ke anti ajaran dan pejuangnya saja.
Di dunia Barat, stigma terorisme terhadap Islam dan munculnya Islamofobia di dunia saat ini tidak terlepas dari peran-peran yang dimainkan media. Sebagian media Barat yang kemudian dibantu corong-corongnya (media maupun para aktivis pro Barat) diberbagai belahan bumi, termasuk negeri-negeri muslim, telah sukses menggambarkan Islam secara tidak proporsional, sehingga Islam dipahami sebagai agama yang jahat, anti kemanusiaan, agama kekerasan, agama teroris, agama diskriminatif, agama poligami, dan image-image negatif lainnya.
Seperti rekomendasi Ariel Cohen, seorang penasehat senior di lembaga pemikir yang berpusat di Washington DC berikut:
”AS harus mendukung dukungan kepada media lokal untuk membeberkan contoh-contoh negatif dari aplikasi syariah.” Sedangkan ide-ide yang harus terus menerus ditampilkan menjelekkan citra Islam: perihal demokrasi dan HAM, poligami, sanksi kriminal, keadilan Islam, minoritas, pakaian wanita, kebolehan pasangan untuk memukul istri.” (Cicil Demokratis Islam, Mitra, Sumber Daya, dan Strategi Rand Corporation).
Bagaimanapun, setiap ideologi yang berkuasa niscaya berusaha mempertahankan kekuasaannya, alhasil ketika Islam menjadi ancaman hegemoni sekularisme dan kapitalisme, maka berbagai cara digunakan untuk meredam kebangkitan ideologi ini. Sementara itu, di negeri Wkwkland, yang notabene mayoritas penduduknya muslim, juga terus terjadi arus Islamofobia, terjadi semenjak pra kemerdekaan dan pasca kemerdekaan. Di zaman now, seperti muncul kasus kriminalisasi ulama, pembubaran ormas, monsterisasi jihad, khilafah, dan syariah Islam lainnya. Stigmatisasi negatif celana cingkrang, cadar, wacana penghapusan sejarah Islam, kriminalisasi Rohis, hingga isu yang terhangat berupa wacana sertifikasi dai.
Jika wacana ini goal, maka bukan tidak mungkin bisa berdampak pada semakin pembungkaman geliat dakwah syariat dan khilafah. Semua dai harus memenuhi kriteria pemerintah agar memperoleh izin berceramah di sebuah majlis misalnya.
Sebagai contoh, panitia kajian akan melihat data saat menggelar acara kajian, Oh…ternyata ustadz-ustadz ini ngga punya sertifikat karena dianggap radikal, jadi ngga boleh ceramah!. Oh nah ini, Ust. Abu Janda punya sertikat, orangnya nggak good looking lagi, jadi boleh ceramah!
Allah SWT berfirman:
يُرِيدُونَ أَنْ يُطْفِئُوا نُورَ اللَّهِ بِأَفْوَاهِهِمْ وَيَأْبَى اللَّهُ إِلَّا أَنْ يُتِمَّ نُورَهُ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ
“Mereka berkehendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tidak menghendaki selain menyempurnakan cahayanya, walaupun orang-orang yang kafir tidak menyukai.” (QS. At-Taubah :32).
Menarik memang, meski Islam semakin digenjot, justru geliat syiar Islam semakin bersinar. Maha Benar Allah dengan segala Firman-Nya.
Westernisasi
Westernisasi (Kebarat-baratan/Taghrib) adalah salah satu strategi Barat untuk memadamkan geliat syiar Islam itu. Sebuah gerakan yang berupaya menjadikan seluruh umat dunia mengikuti pola pikir dan pola sikap Barat.
Lauren Brown pernah mengatakan: “Kalau seluruh emperium Arab ini bersatu maka akan menjadi momok yang menakutkan bagi dunia barat. Kalau mereka berpecah belah, maka akan menjadi tanpa kekuatan dan tanpa pengaruh lagi”. (Muhammad Hamid An-Nashir, Menjawab Modernisasi Islam).
Westernisasi ini mempunyai jangkauan yang teramat luas, meliputi keyakinan, politik, ekonomi, sosial, budaya, hingga tehnologi. Dari pemilahannya, Alhamdulillah sudah clear, ada hadharah dan juga ada madaniyah. Hal ini juga sempat disinggung Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani dalam Nidzam Al-Islam.
Gerakan westernisasi di dunia Islam, memiliki tujuan mendasar yakni melakukan upaya pengubahan terhadap seluruh ajaran Islam. Memisahkan umat Islam dari jati dirinya, berusaha melontarkan keragu-raguan terhadap agama, mengaburkan sejarah kejayaannya, mengeliminasi pemikiran, bahasa, busana, makanan, gaya hidup, dan keyakinan secara menyeluruh.
Output Westernisasi
Pertama, Bidang Kepercayaan: Mememberi ruang dan menyebarkan paham Darwinisme, atheisme, agnostik, pluralisme, sinkretisme, dst. Kedua, Bidang politik dan pemikiran: sekulerisme, demokrasi, pluralisme, liberalisme, nasionalisme, dst
Ketiga, Bidang Ekonomi: Ekonomi kapitalistik, judi seperti bursa saham, ribawi, dst. Keempat, Bidang Sosial-Budaya: food & drink tidak syar’i, fans tidak Islami, fashion mengumbar aurat, LGBT, dst.
Tujuan Politis
Tujuan politik westernisasi tiada lain adalah sesuai namanya yakni untuk memuluskan kepentingan Barat. Apalagi kalau bukan melanggengakan ideologi kapitalisme. Raja Louis IX, seorang Raja Prancis pernah mengatakan: “Peperangan terhadap Muslim harus dimulai dengan merusak aqidah mereka yang sudah berurat berakar sehingga membentuk kekuatan jihad dan perlawanan. Harus dipisahkan antara aqidah dan syariat”. (Muhammad Hamid, Menjawan Modernisasi Islam).
Konter opini
Melihat fenomena ini, bagaimanapun umat Islam harus melakukan beberapa langkah.
Pertama, melakukan konter opini atas stigma negatif terhadap Islam, Muslim, dan ajarannya. Dengan cara yang ahsan, tanpa kekerasan, hujjah yang baik dan tak terpatahkan.
Kedua, menjelaskan kepalsuan peradaban barat yang bobrok. Peradaban yang tampak indah di kulit, namun sejatinya amat rapuh di dalamnya.
Ketiga, berdakwah. Mengajak umat termasuk tokoh masyarakat dan para pemegang kekuatan riil di tengah-tengah masyarakat untuk ikut bahu-membahu mendakwahkan Islam. Karena dengan itulah pertarungan ideologi menjadi seimbang. Serta dengan izin Allah, kemuliaan dan kejayaan umat akan terwujud sebagaima yang dahulu pernah ditorehkan dalam sejarah ke-emasan peradaban yang dipimpin oleh Islam. Wallahu A’lam.*
Pengasuh Kajian Dakwah Solo (DS)