Oleh: Asrir Sutanmaradjo
/tulisan kedua/
ADALAH rocker Hari Moekti yang lebih ngak-ngik-ngok dari Elvis Presly di era 90-an. Ia tampil di panggung berjingkrak-jingkrak bagai cacing kepanasan. Namun menjelang usia 40 tahun, ia mengakhiri dunia artis, dan mulai menggeluti dunia dakwah sampai hari ini.
Hari ini, kita saksikan tayangan kuliah subuh atau Ramadhan di TV para pendakwah senang dikelilingi oleh para artis dan para selebritis. Para pendakwah kini tampil sebagai artis dan selebriti itu sendiri. Sementara Hari Moekti justru menjauhi artis dan dunia selebritis. Dua perbedaan yang sangat mencolok.
Seorang Muslim yang bersyahadat, berikrar bahwa “Tak ada Tuhan selain Allah” (QS 3:18), bahwa “Muhamamad Rasul/Utusan Allah” (QS 3:144). Mengakui bahwa “Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah” (QS 6:57),ia pasti menolak berhukum dengan hukum thagut (QS 4:60;5:50).
Seorang Muslim yang tak mengakui atau menolak Syari’at Islam benar-benar sangat tampak beda dengan yang non-Muslim, dalam setiap aspek, baik dalam beretika, bersopan-santun, bermu’amalah, bermasyarakat, berbangsa, bernegara (QS 4:140).
Seorang Muslim bersyahadat, berikrar bahwa tak ada kekuasaan yang berdaulat atas dirinya kecuali Allah harusnya menolak sesuatu yang di luar hukum Allah (Abul A’la Maududi: “Metoda Revolusi Islam”, 1983:64-65)
Islam tak bicara moderat atau radikal
Dalam sejarah, fenomena radikalisme adalah fenomena semua agama dan terjadi di banyak negara, termasuk Amerika Serikat. Fenomena radikalisme yang paling jelas terjadi di dalam agama Yahudi dan apa yang terjadi di Amerika Serikat. Di Amerika Serikat, banyak sekte Kristen yang berpandangan radikal. Namun umumnya, radikalisme bukanlah sebab tapi akibat, namun akibat dari ketidak-adilan sosial-ekonomi-politik-budaya.
Dr Yusuf al Qaradhawi dalam “Fatwa-fatwa Kontemporer”, (jilid II, 1996:896) mengatakan, adalah Barat dan musuh musuh Islam,yang selama ini berusaha memecah-mecah dan membagi-bagi Islam menjadi beberapa bagian yang berbeda-beda, agar Islam bukan lagi sesuatu yang utuh. Mereka menciptakan istilah Islam Asia, Islam Afrika, Islam Nabawi, Islam Rasyidi, Islam Umawi, Islam Abbasi, Islam Ustmani, Islam Modern, Islam Arabi, Islam Hindi, Islam Turki, Islam Indonesia, Islam Jawa, Islam Sunni, Islam Syi’i, Islam Revoluisoner, Islam Konservatif, Islam Radikal, Islam Sosialis, Islam Fundamentalis, Islam Orthodoks, Islam Ekstrim, Islam Moderat, Islam Politik, Islam Spiritual, Islam Temporal, Islam Teologis.
Dan istilah inilah yang rupanya kita gunakan. Dengan mudahnya kita menunjuk saudara-saudara kita dengan cap “radikal” atau “fundamentalis”. Belakangan bahkan berkembang lagi istilah “wahabi” dll.
Cendekiawan Yahudi, Noam Avram Chomsky dalam buku, “Maling Teriak Maling: Amerika Sang Teroris?” (2001) mengatakan, predikat “moderat’ disandangkan pada pihak-pihak yang mendukung kebijakan AS dan sekutunya. Sementara predikat “ekstrim”, “teroris” disandangkan pada pihak-pihak yang menantang, mengancam, mengusik kebijakan AS dan sekutunya.
Hampir seperempat abad, tepatnya bulan Oktober 1986, mantan Ketua MPR RI, Dr. Amien Rais, dalam tulisan berjudul “Islam dan Radikalisme” di Majalah Al-MUSLIMUN, no.199, Oktober 1986, hal 74 mengajak umat Islam berhati-hati menggunakan istilah dan terminologi yang datang dari Barat. Ia mengajak umat menghindari diri dari pengucapan dan penyebutan istilah yang tak dikenal dalam khasanah Islam seperti; “Islam Militan”, “Fundamentalisme Islam”, “Integralisme Islam”, dan lain-lain.
Menurut Amien Rais, sikap tidak kritis hanya akan bersimpati pada Islam kaum orientalis yang hanya merusak khasanah Islam. Tapi apa yang kita lihat saat ini?
Yang menyedihkan, istilah-istilah dari kaum orientalis itu justru gemar diucapkan kaum Muslim sendiri. Bahkan banyak digunakan tokoh-tokoh Islam tertentu untuk menyudutkan kaum Muslim yang lain. Sungguh menyedihkan.
Nabi Ibrahim memandang matahari, bulan, bintang bukanlah sembahan (Tuhan). Beliau secara demonstratif justru menghancurkan patung (berhala) masyarakatnya kala itu. Tindakan demikian tak bisa disebut radikal atau ektrim. Nabi Muhammad memandang Latta dan Uzza, bukanlah Tuhan dan secara demonstratif ia sampaikan di tengah penyembah patung di dalam masjidil haram.
Bayangkanlah jika kedua Nabi itu lahir saat ini. Apa kira-kira pernyataan dosen-dosen IAIN atau UIN? apakah Nabi Ibrahim dan Nabi Muhammad seorang yang radikal atau ekstrim?
Penulis hanya rakyat biasa, kini tinggal di Bekasi