Hidayatullah.com — Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia (MUI) merasa perlu menyampaikan sikap mengenai proses sertifikasi halal dan pengakuan lembaga sertifikasi halal luar negeri.
Dalam hal ini Majelis Ulama Indonesia menanggapi laporan berita utama Majalah Tempo mengenai pengakuan lembaga sertifikasi halal luar negeri, yang terbit pekan ini. MUI menegaskan sebagian besar atau secara keseluruhan laporan “investigasi” Tempo itu mengandung ketidakbenaran.
Dalam pernyataannya ditandatangani Ketua KH Ma’ruf Amin dan Sekretaris Jenderal H. M. Ichwan Sam yang diterima hidayatullah.com, Rabu (26/02/2014), MUI menerangkan bahwa tahapan proses sertifikasi halal dan labelisasi halal yang selama ini dijalankan MUI merupakan sistem mulai pendaftaran melalui online CEROL SS-23000, proses pre audit, audit, dan pasca audit.
“Mekanisme pendaftaran dengan sistem elektronik ini dilakukan secara lebih efisien dan meningkatkan akurasi data,” terangnya.
Adapun proses pre audit, MUI meneliti kelengkapan dokumen bahan dan sistem jaminan halal perusahaan. Lalu masuk proses audit dengan melihat langsung proses produksi.
“Audit ke lokasi produksi dilakukan oleh auditor LPPOM untuk melihat langsung mengenai bahan baku, bahan tambahan, dan bahan penolong dan proses produksi,” jelasnya.
Lalu hasil audit dilaporkan dalam Rapat Auditor yang terdiri dari tenaga ahli untuk memutuskan dari sisi keilmuan.
Selanjutnya laporan auditor yang sudah memperoleh pertimbangan ilmiah dan disusun berdasarkan temuan lapangan dilaporkan dalam rapat Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia untuk ditetapkan status kehalalan suatu produk dari aspek pertimbangan syariah.
Ditegaskan pula bahwa pembiayaan sertifikasi halal ditetapkan berdasarkan suatu pedoman yang sudah sangat jelas, sehingga tidak dimungkinkan adanya pembiayaan lain yang tidak jelas (invisibility cost).
MUI menerangkan bahwa pembiayaan sertifikat halal didasarkan pada banyaknya produk, bahan dan fasilitas produksi yang akan disertifikasi. Pembiayaan dikenakan sekali saat pendaftaran yang berlaku 2 tahun. MUI tidak mengenakan biaya bulanan berdasarkan kuota produk yang diperdagangkan.
“Biaya sertifikasi halal dilakukan melalui akad biaya yang mencakup biaya pendaftaran, administrasi audit, honor auditor, rapat auditor dan rapat komisi fatwa, serta penerbitan sertifikat halal,” terangnya.
Dalam pada itu MUI melakukan kerjasama dengan lembaga sertifikasi halal luar negeri (LSHLN) yang menerapkan standar halal MUI melalui proses pengakuan.
Tahapan proses pengakuan Lembaga Sertifikat Halal Luar Negeri, MUI menetapkan 7 kriteria sebagai prasyarat yang harus dipenuhi oleh LSHLN yang ingin diakui oleh MUI.
“Pengakuan MUI terhadap LSHLN dilakukan berdasarkan permohonan dari LSHLN yang bersangkutan,” imbuhnya.
Pemenuhan kuesioner pengakuan data pemenuhan 7 kriteria sebagai LSHLN dituangkan ke dalam kuesioner yang ditetapkan LPPOM MUI yang menitik beratkan pada kemampuan menerapkan standar dan prosedur sertifikasi halal LSHLN. Data LSHLN selanjutnya akan dipelajari oleh LPPOM.
Hasil kajian dan verifikasi data oleh LPPOM MUI selanjutnya disampaikan kepada MUI. Berdasarkan kajian dan verifikasi data oleh LPPOM MUI. Kemudian Dewan Pimpinan MUI akan menetapkan status kelayakan LSHLN untuk dikunjungi (audit lapangan) ke LSHLN setempat.
“Kunjungan dilakukan untuk membuktikan keberadaan LSHLN dan kebenaran prosedur dan standar yang tertulis dalam data yang dikirimkan ke MUI. Kunjungan dilakukan oleh suatu tim yang menguasai aspek keilmuan (sains) dan syariah,” jelasnya menerangkan.
Berdasarkan hasil kunjungan lapangan ke LSHLN, lalu tim auditor berdasarkan data dan fakta lapangan akan menetapkan status kesesuaian dan pemenuhan berdasarkan ketentuan MUI dan LPPOM MUI.
Jika sesuai maka akan diterbitkan Decree MUI atas pengakuan lembaga sertifikasi halal tersebut untuk kategori tertentu. Kategori pengakuan MUI ada tiga yaitu pemotongan/slaughtering, industri pengolahan dan flavor.*