Assalamu’alaikum wr.wb.
Saya salah satu direktur di sebuah perusahaan ingin bertanya, bagaimana sebenarnya hukum zakat bagi perusahaan dan bagaimana cara menghitung zakat perusahaan. Terimakasih.
Wa’alikumsalam wr wb
_________
Secara definitif, dalil mengenai kewajiban zakat harta perusahaan tidak dijumpai dalam al-Qur’an maupun al-sunnah. Namun secara umum tercakup dalam perintah zakat yang pada dasarnya menyangkut semua jenis harta. Allah SWT berfirman yang artinya ”Ambillah zakat dari sebagian harta mereka.“ (QS. Al-Taubah: 103).
Dalil itulah –dan yang semisalnya- menjadi pijakan jumhur ulama dalam mewajibkan zakat harta perusahaan. Ada sebagian ulama yang menolak pendapat tersebut, misalnya Ibn Hazm, al-Syaukani dan Siddiq Hasan Khan.
Bagi kelompok kedua ini, harta wajib zakat terbatas pada yang sudah ada pada masa Nabi dan mereka menolak analogi, sehingga atas dasar itu mereka juga menolak kewajiban zakat harta perusahaan dan harta-harta jenis baru yang lain.
Pendapat tersebut tidak dapat diterima jumhur ulama. Selain lemah dalil, juga berarti menutup potensi pemberdayaan umat yang luar biasa besar. Dengan demikian pendapat jumhur adalah yang paling relevan.
Perusahaan yang dimaksud di sini tentunya perusahaan milik perorangan baik tunggal maupun berkelompok, bukan milik pemerintah atau non pemerintah tetapi bersifat umum seperti wakaf untuk fakir miskin. Tinggal masalahnya adalah terjadi perbedaan pendapat tentang cara menzakatinya.
Muktamar Ulama Internasional kedua tahun1965 telah menetapkan, selama memenuhi syarat dan genap satu tahun zakatnya adalah 2,5 % dari laba bersih. Jika perusahaan tersebut adalah dimiliki oleh lebih satu orang (syirkah), maka zakatnya menjadi kewajiban masing-masing pemilik sesuai dengan bagian keuntungannya. Keputusan ini selaras dengan pendapat Imam Ahmad yang menyatakan, zakat harta investasi diperhitungkan dari laba bersihnya. (Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuh, III/1948)
Adapula pendapat yang mengklasikasi jenis usaha. Pertama, perusahaan yang bergerak dalam sektor jasa, seperti transportasi, konsultasi, komunikasi dan sebagainya, maka zakatnya 2,5% dari laba. Perusahaan di sektor riil zakatnya 2,5% dari modal dan laba karena dianalogikan dengan zakat perdagangan.
Melihat fenomena baru ini, Yusuf al-Qardhawi menelaah dengan jeli. Menurut pengamatannya, dari berbagai jenis harta zakat yang telah definitif ditetapkan syariat secara garis besar dapat dipilah menjadi dua. Pertama, zakat yang dikalkulasikan dari keuntungan, maka nisbahnya 5% dan 10% seperti hasil pertanian. Adapun jika diambil dari keuntungan dan modal maka, kadarnya 2,5 %.
Pada kasus perusahaan, baik yang bergerak dalam sektor riil masupun jasa, yang tepat adalah dianalogikan dengan orang yang menyewakan tanah pertanian kepada petani, di mana petani berkewajiban membayar zakat hasil pertanian 10% setelah dipotong dengan seluruh ongkos operasional dan hutang. Begitu pula, pemilik tanah juga berkewajiban mengeluarkan zakat 10% dari uang sewa –jika memenuhi nishab- setelah dipotong dengan kebutuhan primer dan kewajiban lain yang terkait seperti pajak.(Fiqh al-Zakah, 458-482)
Dengan demikian, menurut al-Qardhawi jika hal ini diaplikasikan pada perusahaan, maka pengusaha berkewajiban mengeluarkan jika hasil usaha setiap akhir tahun memenuhi nishab zakat atau lebih, setelah dipotong biaya operasional, hutang jatuh tempo, pajak dan nilai penyusutan asset. Adapun kadarnya adalah 10% karena diambil dari laba bersih. Wallahu a’lam.*
Diasuh Ustad Abdul Kholiq Lc., M.H.I