Oleh: Ahmad Basori
Hidayatullah.com | Presiden Joko Widodo telah menetapkan 1 Juni sebagai hari lahir Pancasila, melalui Keppres No 24 tahun 2016. Penetapan itu dikaitkan dengan pidato Soekarno di sidang BPUPK tanggal 29-1 Juni 1945, ketika itu diberi judul Dasar Indonesia Merdeka. Presiden RI pertama, Ir. Soekarno di Sidang BPUPK mengusulkan “dasar-dasar” philosofiche grondslag, weltanschauung, dasar filsafat negara bagi negara yang akan didirikan. Rumusan Pancasila Soekarno saat itu adalah kebangsaan Indonesia, internasionalisme atau perikemanusiaan, mufakat atau demokrasi, kesejahteraan sosial, ke-Tuhanan.
Ditetapkannya 1 Juni sebagai hari lahirnya Pancasila, mendapatkan kritik dari berbagai pihak diantaranya dua ahli tata negara Dr Refli Harun dan Prof Dr Yusril Ihza Mahendra. Menurut kedua tokoh itu, penetapan 1 Juni sebagai lahirnya Pancasila akan mendeskreditkan peran tokoh-tokoh bangsa lainnya yang memiliki sumbangsih dalam kelahiran Pancasila. Lebih tepat kelahiran Pancasila itu adalah tanggal 18 Agustus 1945 yang diputuskan pada sidang PPKI.
Kritik kelahiran hari Pancasila yang dikaitkan dengan Soekarno sebenarnya sudah berlangsung lama, referensi utama yaitu berasal dari sejarawan era Soeharto Prof. Dr. Nugroho Notosusanto yang mengemukakan bahwa pencetus Pancasila bukan hanya Soekarno melainkan juga Prof. Mr Yamin pada tanggal 29 Mei 1945 dan Soepomo 31 Mei 1945.
Dalam kajiannya juga Nugroho membedakan Pancasila Yamin 29 Mei 1945 dengan Pancasila Soekarno 1 Juni 1945 yang termaktub dalam UUD 1945. Pendapat Nugroho juga diperkuat dengan pendapat pakar sejarah BJ Boland dalam bukunya The Struggle of Islam in Modern Indonesia menyebutkan sejumlah pihak menyatakan “The Pancasila was in fact a creation of Yamin’s and not Soekarno’s”, artinya Pancasila itu ternyata karya Yamin bukan karya Soekarno.
Pendapat Yamin yang merumuskan sila-sila Pancasila ini, diakui oleh dirinya sendiri dalam bukunya, Naskah Persiapan UUD 1945, Yamin di sidang BPUPKI mengemukakan gagasan lima dasar negara yaitu Peri Kebangsaan, Peri Kemanusiaan, Peri Ketuhanan dan Kesejahteraan Rakyat, yang dianggap mirip dengan bunyi Pancasila yang ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945.
Pengakuan Yamin itu mendapatkan sanggahan dan penolakan langsung dari saksi sejarah yaitu Hatta dan Roeslan Abdulgani, menurutnya pengakuan Yamin yang menyusun sila-sila Pancasila itu tidak pernah ada. Yamin tidak pernah mengajukan usul sila sila-sila seperti sekarang ini. Satu hal yang aneh dari bantahan Hatta dan Ruslan Abdulgani, buku karangan Yamin (1957) yang berisi pengakuannya yang menyusun sila-sila Pancasila itu diberi sambutan oleh Soekarno sendiri.
Peran Ulama
Lalu kalau bukan Soekarno dan bukan Yamin, siapa yang menyusun kalimat-kalimat Pancasila yang berlaku secara resmi sekarang ini? Yang pasti kalimat yang ada sekarang ini adalah kalimat Piagam Jakarta tanggal 22 Juni 1945 yang disusun oleh sembilan orang (Panitia Sembilan). Kalimat-kalimat Piagam Jakarta hampir seluruhnya sama dengan kalimat yang berlaku sekarang, kecuali penggantian tujuh kata dengan tiga kata yaitu kalimat ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, menjadi kalimat Ketuhanan Yang Maha Esa.
Sudah sangat jelas bahwa kalimat sila-sila Pancasila yang ada sekarang adalah buah karya para ulama. Di dalam Piagam Jakarta itu terlihat para ulama sangat mendominasi, kalimat-kalimat yang tersusun indah sangat Islami baik dari pemilihan diksinya bahkan cara pandangnya yang banyak menyerap bahasa Arab.
Sebut saja didalam rumusan Pancasila kata adab, adil, musyawarah, hikmah, wakil, dan yang sangat nyata adalah kalimat “berkat rahmat Allah”. Kalimat-kalimat itu tidak mungkin terlontar dari seorang yang berpendidikan sekuler. Jika rumusan itu muncul dari seseorang yang berfikir sekuler maka yang akan mendominasi sila-sila dalam Pancasila adalah kata-kata demokrasi, gotong royong, nasionalisme, internasionalisme.
Para ulama yang terlibat dalam perumusan Pancasila itu adalah para ulama yang memiliki kapasitas keilmuan yang mumpuni. Abikoesno yang merupakan adik kandung dari Tjokroaminoto adalah figur yang dibesarkan dalam lingkungan Sarekat Islam yang memiliki pandangan Islam ideologis yang kuat. Selain abikoesno, tiga yang lainnya, Agus Salim, Kahar Muzakkir dan Wahid Hasyim adalah ulama yang Intelektualnya terbentuk di Indonesia, Makkah dan Kairo. Agus Salim lama bermukim di Makkah. Bekerja pada konsul Belanda dan belajar agama pada Achmad Khatib Minangkabawi.(Syahrul Efendi : 2015)
Pola dakwah dalam Islamisasi Bahasa ini merupakan tradisi dakwah yang telah diwariskan oleh para penyebar awal agama Islam di Indonesia. Dahulu, untuk mengetahui suatu kampung atau daerah sudah masuk ajaran Islam atau belum dapat dilihat dari penggunaan nama seseorang. Jika suatu kampung sudah bernama Abdurrahman, Abdulllah, Muhammad maka sudah dipastikan kampung itu sudah menganut agama Islam.
‘Islamisasi bahasa’ yang lebih luas dapat dilihat dari penguasaan bahasa Melayu atau bahasa Indonesia yang menjadi bahasa perdagangan di Nusantara. Bahasa Indonesia yang saat ini dijadikan Bahasa nasional rupanya banyak menyerap bahasa Arab. Sebut saja kata sabar, murid, waktu, sejarah, mungkin, sedekah, fikir, sahabat dan yang lainnya.
Dampaknya dari ‘Islamisasi bahasa’ itu akan mengubah cara pandang seseorang dalam berfikir, bersikap dan bertindak. Sebelum Islam datang peng-agungan seseorang kepada yang lebih tinggi itu ada pada alam, sehingga nama seseorang dikaitkan dengan nama-nama binatang seperti walang sungsang, walang keke, Gajah Mada. Islam datang pengangungan itu bukan lagi kepada alam tetapi kepada Allah SWT sebagai tuhannya.
Dari ‘Islamisasi bahasa’ itu, di dalam rumusan Pancasila pun mengubah cara pandang seseorang, sebagai contoh kata musyawarah tidak sama dengan demokrasi, kata hikmah tidak sama dengan suara terbanyak dan kata adab tidak sama dengan sopan santu bahkan adil tidak sama dengan makna sama rata. Maka hanya Al-Quranlah yang dapat menafsirkannya. (Adian Husaini : 2012)
Dari cara pandang Pancasila, sila “ketuhanan” yang di tempatkan di urutan pertama dan mejadi benang merah seluruh sila, lagi-lagi bukanlah kerjaan seorang yang berpandangan sekuler. Soekarno sendiri dalam rumusannya yang disampaikan di siding BPUPK pada tanggal 1 Juni 1945 menempatkan sila ketuhanan di urutan paling akhir.
Susunan kalimat yang sangat indah juga terlihat dalam pembukaan UUD 45 “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur … “. Jelas-jelas ini adalah pola berfikir yang sesuai dengan rumusan Ahlu Sunnah Wal-Jamaah, bukan mutazilah yang hanya mengedepankan akal dan bukan jabariyah yang hanya mengedepankan usaha manusia saja. Bahkan bukan pandangan sekuler dan liberal yang meminggirkan tuhan dan agama dari ruang publik.
Tafsir Tunggal
Terpilihnya Joko Widodo sebagai Presiden RI ke 7 yang didukung oleh Partai yang dipimpin oleh puteri dari Presiden Soekarno membuat Pancasila diarahkan kembali untuk ditafsirkan tunggal oleh negara. Diawali dengan dijadikannya 1 Juni 1945 sebagai hari lahir Pancasila, dibentuknya Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) dan persetejuaan Rancangan UU Haluan Ideologi Pancasila menjadi usul inisiatif DPR RI adalah upaya-upaya untuk menggiring negara ini kepada penasiran Pancasila sesuai dengan pemikiran Soekarno.
Di dalam draft RUU Haluan Ideologi Pancasila sangat jelas tafsir Soekarno yang menjadikan gotong royong yang menjiwai seluruh sila-sila dalam Pancasila. Hal ini berbeda jauh dengan rumusan Pancasila saat ini, sila ke-Tuhanan lah yang menjiwai seluruh sila-sila yang ada di dalam Pancasila.
Jika hal ini terus berlanjut dan dilakukan, maka Pancasila sebagai “kalimatin sawa bainana wa bainahum (kalimat-kalimat yang sama antara kita sesama kita dan antara kita dengan mereka akan” akan memudar. Pancasila tidak lagi diterima semua golongan, Pancasila hanya milik golongan yang berhaluan Soekarnois. Maka hal ini akan membuat bangsa ini setback ke belakang, yang akhirnya mendorong golongan-golongan di luar kaum nasionalis akan menolak Pancasila, sebagaimana terjadi masa lampau.
Sebagai milik, bersama penulis sependapat dengan Yusril Ihza Mahendra bahwa pemahaman dan penafsiran terhadap Pancasila itu kita serahkan kepada semua golongan, semua kelompok dan semua suku bangsa kita yang majemuk. Kita tidak perlu mengulangi merumuskan Eka Prasetya Pancakrasa sebagai Pedoman Penghayatan dan Pengalaman Pancasila (P4) seperti di zaman Orde Baru dahulu, yang akhirnya membuat tafsiran Pancasila sebagai doktrin yang mencerminkan paham sebuah rezim yang memerintah, yang justru potensial ditentang oleh golongan-golongan lain.*
Penulis pemerhati sosil politik tinggal di Kota Tangerang