Hidayatullah.com— Pemerintah Kota Surabaya resmi melaksanakan sweeping jam malam bagi anak-anak dan remaja di bawah usia 18 tahun yang masih berada di luar rumah pada malam hari. Kebijakan ini mulai diberlakukan Kamis malam, 3 Juli 2025, setelah sebelumnya diawali dengan apel besar pasukan gabungan di halaman Balai Kota Surabaya.
Apel gabungan yang digelar pukul 21.30 WIB itu dipimpin langsung oleh Wali Kota Surabaya, Eri Cahyadi. Apel diikuti ratusan petugas dari berbagai unsur, termasuk Organisasi Perangkat Daerah (OPD), TNI-Polri, serta elemen masyarakat. M
ereka kemudian menyebar ke berbagai titik ruang publik di Kota Pahlawan untuk melaksanakan sweeping anak yang masih berkeliaran di jalanan setelah pukul 22.00 WIB.
Wali Kota Eri menegaskan bahwa kebijakan pembatasan jam malam ini bukan bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia, tetapi upaya melindungi anak dari potensi risiko negatif di luar rumah.
“Ini bukan mengekang anak, tapi mencegah anak terlibat kegiatan negatif. Kalau anaknya belajar atau berkegiatan positif, itu tidak masalah. Tapi kalau hanya nongkrong, pacaran di taman, atau berkendara tak sesuai aturan, itu yang kami tertibkan,” ujar Eri.
Sweeping ini dilaksanakan berdasarkan Surat Edaran Wali Kota Surabaya Nomor 400.2.4/12681/436.7.8/2025 tentang Pembatasan Jam Malam bagi Anak.
Dalam surat tersebut, anak-anak tidak diperbolehkan berada di ruang publik tanpa pendampingan orang tua setelah pukul 22.00 WIB. Tujuannya adalah melindungi anak dari berbagai ancaman, mulai dari kekerasan, pergaulan bebas, narkoba, hingga eksploitasi.
Untuk mendukung kebijakan ini, Pemkot membentuk Satuan Tugas (Satgas) di setiap Rukun Warga (RW) yang akan bertugas melakukan pengawasan di lingkungannya masing-masing. SK penugasan bagi Satgas RW telah diterbitkan, dan masing-masing RW akan memantau pergerakan anak-anak pada malam hari secara berkala.
“Setiap RW kami bentuk Satgas. Setelah SK keluar, mereka akan mulai bertugas bersama kami. Surabaya ini kita bangun bersama dengan budaya Arek Suroboyo, gotong royong antara pemerintah, masyarakat, dan orang tua,” kata Eri.
Menurut Wali Kota, anak-anak yang terjaring tidak akan dikenai sanksi administratif. Mereka hanya akan dikembalikan ke orang tuanya atau dibina di tingkat RW. Pemerintah, kata Eri, tidak bisa berjalan sendiri dalam menjaga anak-anak, sehingga kolaborasi keluarga, sekolah, dan lingkungan menjadi kunci utama.
“Kalau ketemu anak di taman, pacaran malam-malam, ya kita tanya, orang tuanya tahu nggak? Kalau tidak tahu, kami antar pulang ke orang tuanya. Harapannya, orang tua mulai aktif menjaga anak-anaknya,” jelasnya.
Sweeping ini, lanjut Eri, bukan program sementara. Ia ingin menjadikan langkah ini sebagai gerakan jangka panjang untuk membentuk karakter anak sejak dini. Oleh karena itu, pemerintah akan melibatkan LSM, komunitas, hingga tokoh agama dalam pelaksanaannya.
“Kita ingin membentuk anak-anak Surabaya yang memiliki akhlak mulia, mental yang baik, dan pandangan hidup yang positif. Tidak bisa hanya pemerintah, semua pihak harus terlibat,” tegas Eri.
Kebijakan sweeping jam malam ini merupakan respons atas meningkatnya kekhawatiran masyarakat terkait maraknya kenakalan remaja, balap liar, pergaulan bebas, dan penyalahgunaan zat adiktif di kalangan pelajar.
Dengan pembatasan aktivitas malam, Pemkot Surabaya berharap bisa menciptakan lingkungan yang lebih aman bagi generasi muda.
Hingga Kamis malam, sweeping dilakukan secara intensif di sejumlah taman kota, area publik, dan jalan-jalan protokol. Petugas menyasar pelajar yang nongkrong, berkendara tanpa kelengkapan, atau tidak diketahui aktivitasnya oleh orang tua.
Dengan pendekatan persuasif, anak-anak yang terjaring tidak ditahan atau dihukum, melainkan dibawa pulang untuk diberikan pembinaan oleh keluarga dan lingkungan. Langkah ini disebut sebagai bagian dari “revolusi kultural” yang mengedepankan perlindungan anak dan pembentukan karakter secara menyeluruh.*