Hidayatullah.com—Komisi Dakwah Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada Senin (27/09/2021), menggelar Standardisasi Dai MUI dengan tema “Paradigma Perkhidmatan MUI”. MUI pun menegaskan bahwa standardisasi dai tersebut bersifat sukarela dan tanpa paksaan atau bahkan pra syarat berdakwah.
Ketua MUI Bidang Dakwah dan Ukhuwah, KH M Cholil Nafis mengatakan: “Jadi, dengan standarisasi ini bukan berarti melarang dai-dai yang belum berstandar untuk ceramah, mereka tetap berhak dan berceramah, namun tidak bergabung dalam ikatan dai MUI dan tidak direkomendasi MUI.”
Cholil juga mengatakan bahwa program standardisasi dai sukarela ini memiliki banyak manfaat untuk mensyiarkan agama Islam ke berbagai belahan dunia.
“Dengan memiliki syahadah dai standardisasi MUI, banyak manfaatnya terutama untuk keperluan administratif jika kita akan berceramah ke luar negeri, dan juga sekarang beberapa lembaga penyiaran mengutamakan dai-nya yang berstandar MUI atau hasil rekomendasi MUI,” ujar Cholil, saat memberikan sambutan acara.
Menurut Cholil, standardisasi dai juga bertujuan untuk mencetak dai-dai yang berpaham “Islam wasathi dan berwawasan kebangsaan yang baik”. Hal itu diharapkan sehingga para dai bisa meningkatkan pengetahuan umat tentang ajaran Islam, serta memelihara persatuan dan kesatuan bangsa.
“MUI turut membina para dai yang berstandar MUI agar dalam dakwahnya menginpirasi umat dan mematuhi kode etik dakwah,” imbuh Pengasuh Pondok Pesantren Cendikia Amanah Depok ini.
Ketua Komisi Dakwah MUI, KH Ahmad Zubaidi, menambahkan bahwa program yang diinisiasi Komisi Dakwah MUI itu bertujuan meningkatkan kompetensi para dai berdasar standar MUI. Hal tersebut di antaranya meliputi sisi pengetahuan keagamaan dan kebangsaan, maupun kepribadian yang berakhlak mulia.
Dia menjelaskan, standarnya adalah dai harus memiliki kemampuan pengetahuan agama dan kebangsaan yang memadai, mampu mempraktikkan dalam konteks peribadatan, sosial keagamaan dan kebangsaan serta memiliki akhlak yang mulia (akhlaqul karimah).
Sedang, target dari program standardisasi tersebut, menurut Kiai Zubaidi, adalah melahirkan dai-dai berkompeten dalam bidang dakwah. Tidak hanya meliputi penguasaan materi, tapi juga dalam metode berdakwah.
“Target standardisasi ini adalah ingin melahirkan dai-dai yang memiliki kompetensi yang cukup dalam dakwah baik dari segi penguasaan materi keagamaan, kebangsaan dan metode dalam dakwah mengedepankan dakwah yang santun,” lanjutnya.
Program yang sudah dimulai dari 2019 itu diikuti 700-an lebih pendaftar. Lalu diseleksi secara administratif sehingga menyisakan 50 orang dai. Selain menargetkan peningkatan kompetensi dan metode dalam berdakwah, MUI berharap program ini dapat menyiapkan dai dalam menghadapi tuntutan zaman.
“Kita ingin mengupgrade kompetensi dai-dai yang memang aktif berdakwah di tengah masyarakat,” tutup Zubaidi yang juga merupakan dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu.
Program tersebut kini memasuki angkatan keempat, dan MUI mengatakan akan terus melangsungkannya demi memfasilitasi peningkatan kompetensi dakwah para dai.*