Hidayatullah.com—Pemerintahan transisi Mali sudah menyetujui pendirian sebuah War College yang dirancang untuk memperkuat keamanan nasional dan melatih perwira tentara masa depannya. Rencana itu diumumkan beberapa hari setelah Prancis mengutarakan kekhawatirannya akan rencana otoritas Mali untuk menyewa serdadu-serdadu bayaran asal Rusia.
Otoritas Mali meloloskan rancangan undang-undang pendirian Mali War College (EGM) untuk “memperkuat otonomi” dalam pelatihan perwira militer pada hari Kamis (23/9/2021), lansir RFI.
Presiden interim Mali Assimi Goïta mengatakan sekolah itu akan “memberikan pelatihan tingkat tinggi kepada perwira senior pasukan pertahanan dan keamanan”, dari kalangan tentara, polisi dan gendarmerie, serta beberapa eksekutif sipil.
Sekolah ini juga akan menjadi tempat “penelitian dan analisis strategi keamanan”, di samping dunia akademik.
Dalam pidatonya kepada rakyat hari Rabu lalu, Goita mengatakan akademi itu “sangat diperlukan untuk menghadapi tantangan-tantangan terkait dengan perencanaan dan pelaksanaan operasi”.
Perwira yang lulus dari program ini akan diharapkan dapat mengambil posisi tingkat tinggi di lingkungan militer Mali, serta ambil bagian dalam operasi internasional seperti misi penjaga perdamaian PBB.
Goïta mengatakan sekolah itu akan dibuka dalam waktu dekat, tetapi tidak menjelaskan kapan dan di mana tempatnya. Sekolah perang itu diperkirakan menelan biaya lebih dari 2,5 miliar CFA franc (sekitar 3,8 juta euro).
Pembicaraan tentang pendirian sekolah tersebut sebenarnya sudah dilakukan sejak beberapa tahun silam. Namun, dewan transisi Mali (CNT) menjadikannya salah satu prioritas pemerintahan peralihan saat ini.
Selama ini perwira militer Mali dilatih di berbagai negara dan beberapa petinggi junta saat ini, termasuk Goïta, dilatih di Rusia.
Kemungkinan mendatangkan sekitar 1.000 tentara bayaran Rusia yang dikoordinir oleh Wagner Group menimbulkan kontroversi beberapa hari terakhir. Menteri Angkatan Bersenjata Prancis Florence Parly bahkan memperingatkan Mali agar tidak melanjutkan rencana tersebut.
Sebuah perusahaan keamanan asal Prancis, yang terdiri dari veteran tentara, akan diberi tanggung jawab melatih perwira di akademi perang Mali tersebut.*