Pendapat Ibnu Taimiyah sangat keras terkait hukum tidak berpuasa secara sengaja bagi orang Islam yang tahu kewajiban ini
Hidayatullah.com | BAHAN kajian puasa Ramadhan telah banyak bertebaran dimana-mana, tapi masih saja ada sebagian masyarakat bertanya, apa hukum tidak berpuasa secara sengaja bagi umat Islam.
Secara khusus, Allah memerintahkan umat Islam melaksanakan puasa Ramadhan, sebagaimana dalam Surat Al-Baqarah.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ.
“Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian untuk berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertaqwa.” (Surat al-Baqarah [2]: 183).
Dalam bahasa Arab, puasa disebut shaum atau shiyam, yang berarti menahan diri (al-imsak). Baik menahan diri dari makan, minum, berhubungan suami-istri, dan hal-hal yang membatalkannya, sejak terbit fajar sampai terbenam matahari.
Tolok ukur puasa adalah keimanan, dan tujuannya adalah ketaqwaan. Sedangkan ketaqwaan tempatnya ada dalam hati.
Bahkan tolok ukur kebajikan dan dosa pun (al-birr wa al-itsm) adalah hati. Kalau hatinya baik, maka baik pula seluruh perbuatannya, dan sebaliknya.
Puasa sangat erat kaitannya dengan urusan hati. Dan iman letaknya juga di hati. Makanya puasa harus disertai niat yang letaknya juga dalam hati.
Karena faktor inilah puasa menjadi ibadah yang istimewa. Allah SWT langsung yang membalas atau menilai ibadah yang bersifat pribadi tersebut.
Rasulullah ﷺ juga menunjukkan betapa keutamaan puasa sangat besar. Betapa agung nikmat dan rahmat Allah SWT bagi umat Islam lewat ibadah tersebut. Karenanya, seorang Muslim wajib memperhatikan dan menjaganya dengan seksama agar sempurna bangunan Dien dalam dirinya.
Makna Ayat
Jalaluddin Mahali dan Jalaluddin Suyuti dalam tafsirnya mengatakan, orang-orang yang beriman diwajibkan berpuasa sebagaimana orang-orang sebelumnya agar bertaqwa. Yaitu menjaga diri dari perbuatan maksiat, karena puasa itu dapat membendung syahwat yang menjadi pangkal sumber kemaksiatan. (Tafsir Jalalain, I/35, Maktabah Syamilah).
Menurut Imam Ibnu Katsir, ayat tersebut berisi perintah menunaikan ibadah puasa pada bulan Ramadhan. Ibadah ini mengandung aspek sosial yang sangat tinggi. Dengan puasa, seseorang berlatih kepekaan sosial.
Di samping itu, puasa bisa membersihkan diri dari hal-hal buruk. Ketika seseorang berpuasa, saluran dalam tubuh yang biasa dilewati oleh setan akan menyempit. Dengan begitu, setan tidak akan leluasa bergerak.
Ada juga yang berpendapat bahwa puasa juga merupakan zakat jiwa.
Ketika hijrah ke Madinah, Rasulullah ﷺ telah menunaikan puasa, tiga hari tiap bulan dan puasa Asyura. Setelah itu, Allah SWT mewajibkan puasa pada bulan Ramadhan.
‘Aisyah RA mengatakan bahwa sebelum datangnya kewajiban puasa, Rasulullah ﷺ telah melakukan puasa Asyura. Setelah kewajiban puasa turun, sipapapun diperbolehkan untuk melakukan puasa Asyura atau meninggalkannya. (Tafsir Ibnu Katsir, 1/497).
Menurut Imam ath-Thabari, orang-orang setelah Nabi Ibrahim AS diperintahkan mengikutinya karena Allah SWT telah menjadikan dia sebagai pemimpin manusia.
Agamanya juga lurus lagi selamat. Karenanya, Rasulullah ﷺ diperintahkan mengikutinya sebagaimana para nabi sebelum beliau.
Adapun penyerupaan antara puasa umat Islam dengan puasa umat-umat sebelumnya terletak pada waktu pelaksanaannya, yaitu bulan Ramadhan. Umat sebelumnya pun diwajibkan puasa pada bulan tersebut.
Sedangkan maksud penggalan ayat “… agar kamu bertaqwa…” yaitu agar kita menjauhi hal-hal apa saja yang dapat membatalkan puasa. Bisa berupa makan, minum, dan berhubungan seksual ketika berpuasa. (Tafsir ath-Thabari, 3/409-413).
Dihukumi Kafir
Mengingat puasa merupakan kewajiban, maka siapapun orang Islam yang sudah terkena kewajiban puasa namun mengingkarinya, maka dianggap kafir. Ini karena ia mengingkari perkara yang kewajibannya telah dimaklumi dalam syariat Islam.
Sedangkan tidak berpuasa karena malas atau lalai (dengan tetap meyakini hukum wajibnya), berarti telah melakukan dosa besar. Ia termasuk orang yang binasa karena tidak melaksanakan salah satu rukun Islam dan kewajiban yang penting.
Suatu ketika ada seorang laki-laki datang menemui Rasulullah ﷺ lalu berkata, “Binasa aku!” Nabi bertanya, “Apa yang membuatmu binasa?” Ia menjawab, “Aku telah bersetubuh dengan istriku pada siang Ramadhan.” Nabi menyetujui perkataannya. Perbuatan itu merusak puasanya dan sebuah kebinasaan (kehancuran). (Riwayat Bukhari dan Muslim).
Hukum terhadap keduanya berbeda. Ibnu Taimiyah menjelaskan;
“Jika seseorang tidak melaksanakan puasa Ramadan karena menganggapnya halal, padahal dia tahu akan keharaman meninggalkan puasa, maka wajib dibunuh. Dan jika dia seorang yang fasik maka dia diberi sanksi karena tidak berpuasa tersebut sesuai dengan kebijakan seorang imam (pemimpin). Namun jika memang dia belum tahu, maka perlu diajari”. (dalam Al Fatawa Al Kubro: 2/473).
Sementara Ibnu Hajar Al Haitsami –ramihahullah- berkata; “Dosa besar yang ke 140 dan 141 adalah meninggalkan puasa satu hari dari bulan Ramadan, atau merusak puasanya dengan jima’ atau lainnya, tanpa ada uzur seperti karena sakit, bepergian atau semacamnya”. (dalam Az Zawajir: 1/323).
Balasan bagi orang yang sengaja meninggalkan puasa tanpa uzur syar’i di akhirat yaitu sebagaimana diriwayatkan Abu Umamah: “Saya telah mendengar Rasulullah ﷺ bersabda, “Pada saat kami tidur, ada dua orang laki-laki yang menghampiriku seraya membopongku,” lalu beliau melanjutkan ucapannya, yang di antaranya: “Kemudian mereka berdua membawaku, kemudian terlihat ada suatu kaum yang sedang digantung di tunggangan mereka, pipi bagian bawahnya robek dan mengalirkan darah, aku berkata: “Siapa mereka?” Dia berkata: “Mereka adalah orang-orang yang berbuka sebelum puasanya sempurna.” (Riwayat an-Nasa’i dalam al-Kubra, 3273).
Berdasar keterangan ini, para ulama tegas mengatakan bahwa seseorang yang sengaja meninggalkan puasa tanpa uzur syar’i berarti telah melakukan dosa besar.
Konsekuensi dari perbuatan tersebut yaitu harus melakukan taubatan-nasuha dan memperbanyak amal shalih seperti puasa sunnah. Amalan sunnah tersebut berfungsi melengkapi kekurangan puasa wajib, sebagaimana yang diterangkan dalam Hadits tentang shalat dan seluruh amal shalih.
Bahkan orang yang sengaja meninggalkan satu hari tanpa uzur, tidak cukup mengganti dengan puasa satu tahun di bulan lain. Orang tersebut harus bertaubat dengan sungguh-sungguh, kemudian menyesali dan bertekad tidak mengulangi kesalahan lagi.
Jika berjumpa Ramadhan, ia harus berpuasa. Selanjutnya banyak melakukan kebaikan dengan puasa sunnah dan kebaikan lainnya agar keburukan tadi dapat ditutupi.
Taubat tersebut harus dilakukan sebelum datang kematian atau sebelum matahari terbit dari sebelah barat.
Sedangkan pendapat ulama lainnya menyatakan, selain bertaubat dengan banyak istighfar, ia juga harus melaksanakan qadha’ (mengganti puasa itu) sebanyak hari yang dia langgar.*/Bahrul Ulum
Selain artikel hukum tidak berpuasa secara sengaja, bab hukum lain bisa diklik di sini