Bulan Rajab adalah bulan yang ke tujuh dalam kalender tahun Hijriyyah atau qamariah. Bulan ini berada di antara bulan Jumadil akhir dan Sya”ban sebagaimana ditegaskan oleh Nabi ﷺ
Oleh: Dr. Muhammad Yusran Hadi
Hidayatullah.com | BULAN RAJAB adalah bulan yang istimewa, karena ia termasuk empat bulan haram yang diagungkan dan dimuliakan dalam Islam.
Bahkan sebelum Islam datang, orang-orang Arab Jahiliah telah mengagungkan dan memuliakan bulan-bulan haram ini dengan mengharamkan peperangan padanya. (Tafsir Al-Basith: 10/378 dan 10/388, Tafsir Ibnu Katsir, 4/86, Tafsir An-Nasafi, hal. 470).
Allah swt telah memilih dan mengagungkan empat bulan dari dua belas bulan dalam setahun qamariah atau hijriah dengan menjadikannya sebagai bulan haram. Allah swt berfirman:
إِنَّ عِدَّةَ ٱلشُّهُورِ عِندَ ٱللَّهِ ٱثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِى كِتَٰبِ ٱللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضَ مِنْهَآ أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ۚ ذَٰلِكَ ٱلدِّينُ ٱلْقَيِّمُ ۚ فَلَا تَظْلِمُوا۟ فِيهِنَّ أَنفُسَكُمْ ۚ وَقَٰتِلُوا۟ ٱلْمُشْرِكِينَ كَآفَّةً كَمَا يُقَٰتِلُونَكُمْ كَآفَّةً ۚ وَٱعْلَمُوٓا۟ أَنَّ ٱللَّهَ مَعَ ٱلْمُتَّقِينَ
“Sesungguhnya jumlah bulan menurut Allah ialah dua belas bulan, (sebagaimana) dalam ketetapan Allah pada waktu dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya ada empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menzhalimi dirimu dalam (bulan yang empat) itu…” (QS: At-Taubah: 36).
Rasulullah ﷺ menjelaskan empat bulan haram dalam ayat di atas adalah tiga bulan berurutan: Dzulqa’dah, Dzulhijjah, dan Muharram, dan satu bulan terpisah yaitu Rajab.
Dari Abu Bakrah bin Nufai’ bin Al-Harits radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Nabi ﷺ bersabda ketika haji Wada’: “Sesungguhnya zaman telah beredar sebagaimana yang ditentukan sejak Allah menciptakan langit dan bumi. Dalam setahun terdapat dua belas bulan. Darinya terdapat empat bulan haram yaitu tiga bulan berurutan: Dzulqa’idah, Dzulhijjah, dan Muharram, dan (satu terpisah) Rajab Mudhar yang berada di antara Jumada (Akhirah) dan Sya’ban.” (Muttafaq ‘alaih).
Dikatakan “Rajab Mudhar” dalam hadits di atas dengan dinisbahkan (disandingkan) kata “mudhar” dengan “Rajab” maksudnya adalah bulan Rajab yang diagungkan oleh kabilah Mudhar itulah bulan Rajab yang benar, karena kabilah Mudhar tidak merubah keharaman Rajab dan tetap menjadikannya pada tempatnya yang diciptakan Allah swt.
Bukan Rajab yang telah diubah oleh kabilah Rabi’ah dengan diakhirkan ke bulan Ramadhan. Menurut kabilah Rabi’ah, Rajab bulan haram itu antara Sya”ban dan Syawwal yaitu Ramadhan.
Oleh karena itu, Rasulullah ﷺ menjelaskan Rajab yang benar itu Rajab Mudhar yang terletak antara Jumadil Akhir dan Sya’ban, bukan Rajab Rabi’ah. Rasulullah ingin memperbaiki kesalahan ini. (Tafsir Ibnu Katsir: 4/86, Tafsir Ahkam Alquran: 2/438, Tafsir Al-Qurthubi: 8/123, Fathul Baari: 8/257).
Para ulama mengatakan bahwa makna hadits di atas adalah bulan-bulan haram kembali kepada tempatnya yang Allah tentukan dan membatalkan an-nasi’ (mengakhirkan bulan haram ke bulan halal atau menjadikan bulan halal menjadi halal dan menjadikan bulan halal menjadi haram ) yang merupakan kebiasaan orang-orang Arab Jahiliyyah yang dikecam oleh Allah swt dalam Alquran surat At-Taubah ayat 37.
Imam Al-Wahidi mengomentari hadits di atas. Ia berkata: “Rasulullah ingin bulan-bulan haram itu kembali kepada tempatnya (asalnya).” (Tafsir Al-Basith: 10/393).
Hal senada juga disampaikan oleh Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani ketika menjelaskan hadits di atas di dalam kitabnya Fathul Baari. Ia berkata: “Makna hadits di atas adalah bulan-bulan haram kembali kepada tempatnya dulu (yaitu asalnya) dan batal an-nasi.” (dalam Fathul Baari: 8/258).
Bulan-Bulan Qamariah
Bulan Rajab adalah bulan yang ke tujuh dalam kalender tahun Hijriyyah atau qamariah. Bulan ini berada di antara bulan Jumadil akhir dan Sya”ban sebagaimana ditegaskan oleh Nabi ﷺ dalam hadits di atas.
Dalam tahun Hijriah atau Qamariah, ada dua belas bulan dalam setahun. Urutannya dari awal sampai akhir tahun yaitu Muharram, Shafar, Rabi’ul Awwal, Rabi’ul Akhir, Jumadil Awwal, Jumadil Akhir, Rajab, Sya’ban, Ramadhan, Syawwal, Dzulqa’idah, dan Dzulhijjah.
Penanggalan dalam tahun Arab berdasarkan peredaran bulan dan melihat hilal (bulan sabit). Oleh karena itu, tahun Arab atau tahun Hijriah disebut juga tahun Qamariah.
Bulan-bulannya disebut bulan-bulan Qamariah. Bulan-bulan Inilah yang dipakai dalam Islam sebagai rujukan dan acuan hukum-hukum Islam baik dalam Ibadah maupun muamalah.
Berbeda dengan penanggalan tahun Masehi atau tahun Romawi yang berdasarkan peredaran matahari. Oleh karena itu, tahun Masehi atau tahun Romawi disebut juga tahun Syamsyiah. Urutan bulan pertama sampai bulan ke dua belas dalam tahun Masehi atau Syamsyiah yaitu Januari, Februari, Maret, April, Mei, Juni, Juli, Agustus, September, Oktober, November dan Desember. Bulan-bulan ini tidak menjadi rujukan dan acuan dalam hukum-hukum Islam.
Allah swt telah menetapkan dua belas bulan dalam setahun berdasarkan peredaran bulan untuk menjadi rujukan dan acuan hukum-hukum syariat, baik hukum ibadah maupun hukum muamalah. Allah swt berfirman:
إِنَّ عِدَّةَ ٱلشُّهُورِ عِندَ ٱللَّهِ ٱثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِى كِتَٰبِ ٱللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضَ مِنْهَآ أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ۚ ذَٰلِكَ ٱلدِّينُ ٱلْقَيِّمُ ۚ فَلَا تَظْلِمُوا۟ فِيهِنَّ أَنفُسَكُمْ ۚ وَقَٰتِلُوا۟ ٱلْمُشْرِكِينَ كَآفَّةً كَمَا يُقَٰتِلُونَكُمْ كَآفَّةً ۚ وَٱعْلَمُوٓا۟ أَنَّ ٱللَّهَ مَعَ ٱلْمُتَّقِينَ
“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.” (QS: At-Taubah: 36).
Imam Al-Wahidi menjelaskan ayat di atas, ia berkata: “Abu Ishaq berkata: “Allah azza wa jalla telah memberitahu bahwa jumlah bulan-bulan kaum muslimin yang dijadikan oleh-Nya sebagai rujukan dan acuan dalam ibadah untuk setahun mereka ada dua belas bulan, berdasarkan peredaran bulan dan melihat hilal (untuk menentukan awal bulan). Orang-orang Ahlul Kitab mengamalkan dalam setahun 365 hari tambah sebahagian hari, ini yang berlaku dalam urusan Nasrani dan Yahudi. Maka Allah ‘azza wa jallla bahwa tahun kaum muslimin berdasarkan hilal.” (Tafsir Al-Basith: 10/375).
Imam Al-Wahidi juga berkata: “Para ulama berkata: “Maka wajib atas kaum muslimin dengan dalil ayat ini untuk menjadikannya sebagai i’tibar (rujukan dan acuan) dalam jual beli mereka, tempo-tompo hutang mereka, haul-haul zakat mereka, dan semua hukum mereka. Tahun Arab itu dengan melihat hilal (bulan sabit). Dan tidak boleh menjadikan rujukan tahun orang-orang ‘ajam (bukan Arab) dan tahun Romawi.” (Tafsir Al-Basith: 10/380).
Imam Al-Qurthubi berkata., “Ayat ini menunjukkan bahwa wajib hukumnya menggantungkan hukum-hukum ibadah dan lainnya dengan bulan-bulan dan tahun-tahun yang dikenal oleh orang-orang Arab, bukan bulan-bulan yang dijadikan i’tibar oleh orang-orang “ajam (bukan Arab) dan Romawi serta qibti, meskipun tidak lebih lebih dari dua belas bulan, karena bulan-bulan itu berbeda bilangannya, di antaranya ada yang tidak melebihi 30 hari dan diantaranya ada yang kurang dari 30 hari. Bulan-bulan Arab tidak lebih dari 30 hari, meskipun ada yang kurang. Dan yang kurang bulannya tidak tertentu. Akan tetapi perbedaannya itu dalam kurang dan sempurna menurut perbedaan perjalanan bulan dalam dalam gugusan bintang.” (Tafsir Al-Qurthubi: 8/123)
Imam An-Nasafi berkata, “Firman Allah: “Sesungguhnya jumlah bulan menurut Allah ialah dua belas bulan,” (At-Taubah: 36) tidak lebih. Maksudnya menjelaskan bahwa hukum-hukum syara’ dibangun atas bulan-bulan qamariah yang dihitung dengan melihat hilal bukan dengan matahari.
Imam Al-Alusi berkata, “Firman Allah: “Sesungguhnya jumlah bulan” maksudnya jumlah bilangan bulan dalam setahun. Firman Allah: “di sisi Allah” maksudnya dalam ketetapan Allah. Firman Allah: “dua belas bulan” yaitu bulan-bulan Qamariah yang sudah dikenal karena di atasnya berputar hukum-hukum syar’i.” (Tafsir Ruhul Ma’ani: 6/123).
Makna Bulan Rajab
Rajab berasal dari kata Tarjiib yang berarti at-ta’zhiim (mengagungkan atau memuliakan). Dinamakan demikian karena orang-orang Arab Jahiliyyah mengagungkan bulan ini melebihi bulan-bulan lainnya.
Masyarakat Arab sejak dulu sangat mengagungkan Rajab melebihi bulan lainnya. Sejak zaman Nabi Ibrahim ‘alaihissalam perang tidak boleh dilakukan pada keempat bulan itu. Apabila terjadi pembunuhan, maka akan dikenakan diyat (denda).
Makna Rajab, menurut Al-Imam ‘Alamuddin As-Shakhawi seperti yang dinukilkan oleh Al-Imam Al-Hafizh Ibnu Katsir dalam kitab Tafsirnya “Tafsir Ibnu Katsir”, yaitu at-ta’zhim (mengagungkan).
Al-Imam Alimuddin As-Sakhawi berkata: “Kata “Rajab” berasal dari kata “At-Tarjib” yang berarti at-ta’zhim (mengagungkan). Jamaknya adalah arjab, rujaab dan rajabat.” (Tafsir Ibnu Katsir, 4/85).
Hal senada juga disampaikan oleh Imam An-Nasafi (wafat 710 H) dalam kitab tafsirnya. Ia menjelaskan maksud empat bulan haram dalam ayat 36 surat At-Taubah, yakni “Tiga bulan berturut: Dzulqa’dah karena duduk (menahan diri) dari berperang, Zhulhijjah karena berhaji, dan Muharram karena mengharamkan perang padanya, dan satu bulan terpisah sendiri yaitu Rajab karena tarjib orang-orang Arab Jahiliyyah kepadanya, maksudnya karena mengagungkannya.” (Tafsir An-Nasafi, hal. 470).
Syaikh Abu Bakar Ad-Dimyathi al-Bakari (wafat 1300 H) berkata, “Rajab diambil dari kata tarjiib yang berarti at-ta’zhim (mengagungkan), karena orang-orang Arab Jahiliyyah mengagungkannya melebihi bulan lainnya.” (I’anatut Thalibin: 2/455).*
Penulis adalah Doktor bidang Fiqh dan Ushul Fiqh pada International Islamic University Malaysia (IIUM), Dosen Fiqh dan Ushul Fiqh Pascasarjana UIN Ar-Raniry