Hidayatullah.com – Judul di atas adalah ucapan Imane Maarif, seorang perawat yang merupakan salah satu orang Prancis pertama yang menginjakkan kakinya di Gaza setelah ‘Israel’ melancarkan serangan kejamnya pada Oktober tahun lalu.
Selama dua minggu, perawat berpengalaman itu menjadi sukarelawan di Rumah Sakit Eropa di Khan Younis pada awal tahun ini. Semenjak kepulangannya dari Gaza, Imane telah vokal mengajak dan menyuarakan dukungan untuk Palestina.
Ia bahkan pernah membagikan kesaksian tentang bagaiaman mengerikannya keadaan Gaza di depan parlemen Prancis dan di berbagai aksi demonstrasi yang ia hadiri.
Pekan lalu, Imane ditangkap oleh pihak berwenang Prancis, yang menggerebek rumahnya pada dini hari tanggal 5 September dan menangkapnya di depan suami dan kedua anaknya.
Dia dituduh “mengancam akan membunuh seseorang karena ras atau agamanya,” tuduhan yang berasal dari panggilan telepon yang dia lakukan kepada pemilik sebuah tempat di Paris yang menyelenggarakan pameran real estat ‘Israel’.
Berbicara kepada Anadolu di ibukota Prancis, Imane mengatakan pertanyaan utamanya kepada pemilik tempat tersebut adalah apakah mereka tahu bahwa mereka membantu ‘Israel’ menjual tanah Palestina yang diduduki, sebuah pelanggaran terhadap hukum internasional.
Sang pemilik mengabaikan pertanyaan Imane, dan langsung menutup telepon, katanya.
Tanggapan mereka meremehkan dan direktur salon itu langsung menutup telepon, katanya.
Selama berada dalam tahanan, polisi menghujani Imane dengan berbagai pertanyaan. Mulai dari masa-masa di Gaza hingga aktivitasnya menyuarakan dukungan Palestina yang ia lakukan di Prancis.
“Para petugas polisi mengambil ponsel saya dan memeriksa foto-foto dan percakapan saya di media sosial. Mereka mengajukan beberapa pertanyaan tentang komitmen dan dukungan saya untuk Palestina, dan tentang LSM yang memfasilitasi saya untuk masuk ke Gaza,” katanya.
Mereka juga menyita barang-barang seperti bendera Palestina, kaos bertuliskan ‘Free Palestine’, dan pin berbentuk hati dengan tulisan Arab ‘Houdna’, yang berarti gencatan senjata, katanya.
Namun, yang paling mengejutkan bagi aktivis Prancis itu adalah pertanyaan-pertanyaan “mengganggu” tentang kehidupan keluarga dan anak-anaknya, yang “tidak ada hubungannya dengan penyelidikan.”
“Saya mendapat kesan – dan saya harap saya salah – bahwa ini adalah upaya intimidasi mereka karena saya tidak melihat alasan mengapa seseorang bertanya tentang anak-anak saya,” tambahnya.
Hal ini juga disampaikan oleh anggota parlemen Prancis Thomas Portes, yang merupakan salah satu dari sekian banyak pihak yang mengutuk penangkapan Imane.
“Penggeledahan rumah di depan keluarga ini tidak diragukan lagi merupakan upaya untuk mengintimidasi suara-suara yang disuarakan untuk mendukung rakyat Palestina dan menuntut gencatan senjata,” tulis Portes di X.
Tak gentar hadapi intimidasi
Imane Maarifi dibebaskan pada hari itu juga tanpa dakwaan apapun.
“Saya telah merekam panggilan telepon tersebut dan itulah yang menyelamatkan saya,” katanya.
“Polisi dipaksa untuk melihat bahwa saya tidak berbohong dalam pernyataan saya. Saya bahkan tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi pada saya tanpa rekaman itu.”
Maarifi kini semakin bertekad untuk terus menyuarakan dukungan terhadap Palestina.
“Saya bukanlah orang yang sama setelah menyaksikan apa yang saya lakukan di Rumah Sakit Eropa di Khan Younis – kengerian, darah, kegembiraan, dan banyak kematian. Kami sekarang mendekati 20.000 anak yang menjadi martir di Gaza, dan lebih banyak lagi yang terluka atau berada di bawah reruntuhan,” katanya.
“Saya adalah seorang perawat yang berspesialisasi dalam perawatan intensif, dan ketika Anda memilih spesialisasi ini, itu karena Anda mencintai kehidupan dan akan melakukan apa pun untuk melindunginya.”
“Saya bersedia mempertaruhkan nyawa saya sendiri di Gaza “di masa perang ini, di masa genosida, karena saya peduli dengan … kehidupan orang-orang, yang merupakan inti dari kemanusiaan,” katanya.
“Satu-satunya hal yang dapat membuat saya berhenti (mendukung Palestina) adalah jika ada gencatan senjata, dekolonisasi, dan perdamaian yang adil dan langgeng, atau jika saya mati,” ujar petugas medis tersebut.*