Catherine Perez-Shakdam –seorang Zionis ‘Israel’ yang mengaku masuk Islam— jadi simbol perang modern lewat penyamaran identitas, narasi, dan infiltrasi ideologis, bukan sekadar senjata
Hidayatullah.com | Catherine Perez-Shakdam, seorang Zionis ‘Israel’ yang sempat mengaku masuk Islam dan aktif sebagai mualaf Syiah, kini menjadi simbol perang modern melalui penyamaran identitas, narasi, dan infiltrasi ideologis. Kisahnya membuktikan bahwa pertempuran masa kini tidak lagi hanya dengan senjata, tetapi juga dengan topeng keyakinan dan propaganda.
Latar Belakang dan Penyusupan
Lahir dari keluarga Yahudi sekuler di Prancis, Perez-Shakdam adalah keturunan korban selamat Holocaust dan sempat menyelesaikan studi di Universitas London di bidang psikologi, keuangan, dan komunikasi. Ia kemudian menikah dengan pria Muslim asal Yaman, masuk Islam, lalu berpindah ke mazhab Syiah setelah bercerai.
Pada 2017, ia datang ke Iran sebagai “jurnalis” Syiah, tampil berjilbab, dan menulis opini di media-media besar seperti Tehran Times, Mehr News, dan bahkan situs resmi Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei. Ia bahkan berhasil mewawancarai Presiden Ebrahim Raisi dan menghadiri konferensi-konferensi pro-Palestina.

Namun di balik itu semua, ia diduga kuat sebagai agen intelijen Mossad. Di bawah kedok jurnalis, ia membangun hubungan erat dengan para istri pejabat, personel militer, dan tokoh agama.
Informasi yang diperoleh disinyalir bocor ke ‘Israel’ dan membantu operasi terhadap fasilitas nuklir dan tokoh IRGC Iran antara 2022–2024.
Di salon-salon perempuan dan ruang privat para perempuan Syiah –khususnya istri para pejabat militer— Catherine mengumpulkan informasi personal mengenai gerak-gerik keluarga pejabat.
Ia mencatat jadwal perjalanan, lokasi tempat tinggal, hingga strategi politik yang diperoleh lewat interaksi informal.

Bukti dan Pengakuan
Media seperti News Israel dan JFeed menjuluki Catherine sebagai “Mossad’s Master Spy”. Ia mengumpulkan intelijen berupa foto, rekaman, dan lokasi strategis di Iran. Semua tulisan dan aktivitasnya kemudian dihapus dari media Iran setelah identitasnya terbongkar.
Meski sempat membantah sebagai mata-mata, Catherine dalam wawancara dengan Channel 14 Israel dan artikel di The Times of Israel, mengaku sebagai Zionis dan menyatakan penyusupannya adalah bagian dari misi untuk merusak Iran dari dalam.
“Mereka tidak pernah tahu siapa saya sebenarnya. Saya duduk bersama para pejabat, mendengar strategi, dan menyimpan semuanya,” katanya.
Media ‘Israel’ menyebut penyamarannya sebagai keberhasilan menyusup “into the belly of the Beast”, merujuk pada jantung kekuasaan Teheran.
Reaksi dan Peringatan Para Pakar
Pakar intelijen Barat menyebutnya sebagai operasi penyusupan paling halus di abad ini. Sementara itu, pengamat Arab seperti Dr. Omar Ashour menilai aksinya sebagai contoh perang psikologis modern. Mnar Adley dari MintPress News menyebut banyak media tertipu oleh persona palsunya.

Dr. Hisham Jaber dari Lebanon menambahkan bahwa ‘Israel’ punya sejarah panjang menggunakan agen yang berpura-pura sebagai Muslim untuk memata-matai. Prof. Abdul Hadi dari Universitas Yarmouk menilai umat Islam harus meningkatkan kewaspadaan dan literasi keamanan kultural.
“Kecintaan semu pada Islam bisa jadi alat penetrasi intelijen. Dunia Muslim harus waspada,” ujar Prof. Abdul Hadi.
Peringatan juga datang dari cendekiawan Muslim Hassan Alawi yang menyebut fenomena ini sebagai taktik untuk memecah belah umat. “Mereka menyamar sebagai pembela, tapi justru menyebarkan keraguan dan propaganda musuh,” ujarnya.
Kampanye Terbuka di ‘Israel’
Setelah identitasnya terungkap, Catherine diangkat sebagai Kepala “We Believe in ‘Israel’”, kelompok lobi pro-Zionis di Inggris. Ia menyerukan klasifikasi IRGC sebagai organisasi teroris dan mempersempit pengaruh Iran di Eropa.
Dalam wawancara dengan Jewish Chronicle dan Jewish News, Perez-Shakdam menyatakan bahwa pengalaman di Iran mengubah perspektifnya. Kini, ia berkampanye agar IRGC (Islamic Revolutionary Guard Corps) diklasifikasikan sebagai organisasi teroris di Inggris serta memblokir konten anti-’Israel’ dari media sosial.
James Burchell, Ketua organisasi “We Believe in ‘Israel’” menyatakan, “Setelah tantangan luar biasa sejak 7 Oktober, kami menantikan kepemimpinan Catherine.”
Kisah ini menjadi pengingat pahit bahwa musuh tidak selalu datang dengan senjata, tetapi kadang menyamar dengan jilbab dan ayat suci di bibirnya.*