Sambungan artikel PERTAMA
POLYMATG adalah sebutan untuk orang yang memiliki keahlian di berbagai bidang, dan Ibnu Sina adalah salah satunya. Ilmuwan Islam, Ibnu Sina, yang lebih dikenal di dunia barat dengan nama Avicenna adalah seorang polymath yang ahli di bidang filosofi, theology, kedokteran Islam dan ilmu alam. Sejak masih muda, beliau telah terkenal sebagai seorang dokter dan guru, menulis banyak risalah yang detil mengenai kedokteran. Bukunya, ‘The Canon’ (Norma), menjadi pegangan bagi seluruh dokter di seluruh dunia Islam dan Eropa, memberikan petunjuk terperinci mengenai proses diagnosa dan perawatan penyakit.
Ibnu Sina percaya bahwa banyak diagnosa dapat dilakukan dengan mendengarkan degup jantung dan memeriksa urin, dan sebagian besar bukunya memberikan petunjuk bagaimana melakukan diagnosa lewat warna, kekeruhan, dan bau urin. Tentu, ini disertai dengan pendekatan holistik dengan mengetahui background dan pola makan pasien.
Terobosan beliau lainnya adalah sarannya mengenai perawatan bayi, dan berdasarkan kepercayaannya bahwa air yang tidak bersih mendatangkan banyak penyakit, Ibnu Sina memberikan petunjuk bagaimana cara memeriksa tingkat kemurnian air. Banyak obat racikannya memang tidak efektif, namun Ibnu Sina memberikan lebih banyak keberhasilan daripada kegagalan dan memberikan kontribusi besar dalam sejarah kedokteran.
Al-Kindi: Penyusun Farmakologi Islam
Al-Kindi (800-870) adalah seorang polymath Muslim lainnya yang turut memberikan kontribusi dalam sejarah kedokteran. Ilmuwan ini dipengaruhi oleh hasil kerja Galenus meski juga memberikan sumbangan tersendiri. Dalam bukunya berjudul Aqrabadhin (Formulasi Obat), beliau mendeskripsikan banyak pengolahan tumbuhan, binatang, dan mineral.
Obat-obat yang sebelumnya telah digunakan oleh dokter-dokter seperti Hippokrates dan Galenus, beliau menambahkan sendiri pengetahuan yang didapatnya dari India, Persia, dan Mesir. Seperti kebanyakan hasil kerja Islam, buku beliau memuat banyak informasi mengenai pengobatan herbal, campuran-campuran aromatik seperti musk, dan pengobatan non-organik. Cukup logis untuk mengatakan bahwa Islam adalah yang pertama memandang kedokteran dan farmakologi sebagai sains yang berbeda.
Ibnu Al-Nafis dan Sistem Pernafasan
Ibnu Al-Nafis (lahir 1213) tercatat dalam sejarah kedokteran sebagai ilmuwan pertama yang memahami sistem respirasi dan sirkulasi, meski pengetahuannya tidak komplit. Beliau memahami bahwa jantung dibagi menjadi dua sisi dan mengatakan bahwa tidak ada pori-pori diantara keduanya, seperti yang diungkapkan Galenus. Al-Nafis menyatakan bahwa darah hanya dapat bersirkulasi dari salah satu sisi jantung dan berpindah ke sisi lainnya lewat paru-paru.
Ini adalah contoh pertama seorang ilmuwan meramalkan tentang sistem pulmonari. Meski tidak yakin dengan mekanismenya, Al-Nafis dengan benar menyatakan bahwa darah di paru-paru bercampur dengan udara, meski beliau juga menyatakan bahwa darah juga disisipi oleh ‘makhluk halus’ di bilik kiri jantung.
Observasi beliau lainnya adalah bahwa jantung dinutrisi oleh jaring kapiler yang mengelilinginya, bukan seperti yang dijelaskan Ibnu Sina, oleh sisi kanan bilik jantung. Penelitian beliau melingkupi peran kapiler dalam ssitem sirkulasi, menyatakan gagasan bahwa pembuluh arteri dan vena pulmonary dihubungkan oleh pori-pori berukuran mikroskopik. Baru empat abad kemudian bahwa teori ini diangkat kembali ke publik dan diketahui bahwa pembuluh kapiler ada di seluruh tubuh.
Detak jantung sudah lama dipahami oleh para dokter Muslim, dan bahkan oleh orang-orang Mesir jauh sebelum itu, namun Al-Nafis adalah orang pertama yang mengetahui mekanisme dibalik pembuluh darah. Galenus menyatakan sebuah teori mengenai bagaimana pembuluh arteri berdetak secara natural, dan seluruh pembuluh arteri berdetak secara bersamaan, namun Al-Nafis percaya bahwa detak tersebut disebabkan oleh kerja jantung memompa darah ke seluruh tubuh. Beliau dengan benar mencatatkan bahwa detak di arteri sedikit terlambat daripada gerak jantung dan seluruh pembuluh arteri tidak bergerak secara serempak.
Namun Al-Nafis percaya bahwa pergerakan darah ini adalah untuk mengusir makhluk halus di jantung, yang akan membakar jantung jika terlalu lama di sana. Teorinya menyatakan bahwa makhluk ini akan menjadi stagnan jika dibiarkan berada di arteri, maka dari itu sistem sirkulasi diperlukan. Meskipun teorinya mengenai jantung dan sirkulasi pulmonary benar adanya, namun karena teori makhluk halus tersebut, ada sedikit keraguan bahwa teorinya adalah sebuah langkah besar untuk memahami bagaimana tubuh bekerja. Sayangnya, banyak dari tulisannya tidak diterbitkan di Barat.
Banyak dari observasinya didasarkan pada pengamatannya selama proses pembedahan, dimana beliau adalah seorang pendukung proses pembedahan yang kala itu masih tabu, dan beliau menyelesaikan kesalahpahaman mengenai otak, kantong empedu, struktur tulang dan sistemsyaraf. Sayangnya karena sedikit sekali hasil tulisannya yang diterjemahkan ke Bahasa Latin, banyak hasil kerjanya yang tidak dipergunakan oleh para ilmuwan Barat dan bahkan Leonardo Da Vinci membuat kesimpulan yang salah karena merujuk pada Galenus dan Ibnu Sina, tanpa menyadari bahwa Al-Nafis sudah membahasnya terlebih dahulu.
Kontribusi beliau lainnya pada Kedokteran Islam adalah penelitian farmasi, dimana beliau tidak hanya membuat ramuan dari seluruh dunia, namun juga memperkenalkan sistem matematika ke dalam pengobatan dan menemukan ide mengenai dosis yang dianjurkan dalam pengobatan.*/Tika Af’idah, berbagai sumber (BERSAMBUNG)