Oleh: Irfan Syauqi Beik*
Di antara pekerjaan rumah yang sangat berat bagi Kabinet Indonesia Bersatu II adalah bagaimana meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan rakyat. Pemerintah bersama DPR telah memasang target pertumbuhan sebesar 5,5 % pada tahun 2010, meski sebagian ekonom menyatakan target tersebut masih terlalu rendah. Sunarsip misalnya, menyatakan bahwa Indonesia seharusnya menetapkan target pertumbuhan ekonomi 7 %. Hal tersebut dilandaskan pada kenyataan bahwa, meski dalam keadaan krisis, pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2008 mencapai 6,1 %.
Kinerja perekonomian pada semester pertama 2009 pun menunjukkan angka yang positif, yaitu 4,2 %. Tinggal bagaimana pemerintah sekarang menjaga kinerja pertumbuhan di semester kedua, sehingga target pertumbuhan 4-4,5 % hingga akhir tahun ini dapat dicapai. Dengan capaian seperti itu, tingkat pendapatan per kapita penduduk Indonesia pun meningkat dari 1.946 dolar AS pada 2007, menjadi 2.271 dolar AS pada tahun 2008. Dengan peningkatan sebesar 16,7 % tersebut, maka perekonomian Indonesia berada pada posisi ke-19 perekonomian terbesar di dunia.
Namun demikian, apakah pertumbuhan ekonomi yang dicapai Indonesia tersebut benar-benar dinikmati secara merata oleh seluruh rakyat, ataukah hanya oleh sebagian saja? Jika melihat indikator rasio Gini, kita akan mendapatkan fakta bahwa rasio tersebut mengalami peningkatan dari waktu ke waktu. Pada tahun 1999, koefisien Gini mencapai angka 0,311, sedangkan pada tahun 2007 angka tersebut naik menjadi 0,376 (BPS, 2008). Ini menunjukkan bahwa kesenjangan pendapatan masyarakat kaya dan miskin semakin meningkat. Bahkan ekonom Toni Prasetiantono memperkirakan angka tersebut meningkat menjadi 0.380 pada tahun 2008.
Demikian pula dengan pertumbuhan kelompok super kaya Indonesia yang mencapai angka 16 %, tertinggi ketiga di Asia setelah Singapura dan India berdasarkan laporan Merrill Lynch. Bahkan 80 % dana pihak ketiga di perbankan dikuasai oleh 1,82 % pemegang rekening. Apabila kondisi ini tidak segera diperbaiki, maka konsep economic growth with equity yang menjadi fokus utama pemerintahan SBY-Boediono lima tahun ke depan akan sulit dicapai. Oleh karena itu, pemerintah perlu menciptakan terobosan-terobosan kebijakan dalam meredistribusikan pendapatan nasional, terutama kepada kelompok miskin, sehingga kesejahteraan mereka akan meningkat. Di sinilah peluang instrumen ekonomi syariah, terutama zakat, infak, sedekah, dan wakaf menjadi sangat besar.
Pendekatan Distribusi
Dalam ekonomi syariah, pembahasan mengenai pengentasan kemiskinan dan kesenjangan pendapatan tidak dapat dilepaskan dari konsep distribusi. Pada dasarnya, distribusi itu terbagi ke dalam tiga kategori, yaitu pre-production distribution (distribusi sebelum produksi), post-production distribution (distribusi pasca produksi), dan redistribution (redistribusi).
Pertama, ‘pre-production distribution’ memfokuskan pada upaya untuk memperkuat kelompok dhuafa, dengan memberikan kesempatan dan privilege kepada mereka sebelum proses produksi ekonomi berjalan. Termasuk di dalamnya adalah menganggarkan secara khusus bantuan keuangan melalui APBN. Terkait dengan hal tersebut, terlepas dari pro kontra yang ada, pemerintah kita sesungguhnya telah melakukannya, antara lain melalui sejumlah program seperti Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM), Bantuan Langsung Tunai (BLT), Jaminan Kesehatan Masyarakat, dan lain-lain.
Program PNPM misalnya, APBN tahun ini telah mengalokasikan dana sebesar Rp 10,4 trilyun untuk didistribusikan kepada 6.048 kecamatan di seluruh pelosok tanah air. Sedangkan dalam RAPBN 2010, alokasi dana untuk program ini ditingkatkan menjadi Rp 12,9 trilyun dengan target wilayah mencapai 6.328 kecamatan. Diharapkan, program tersebut dapat mengurangi angka pengangguran sebesar 1,2 % setiap tahun, sehingga pada tahun 2011 angka kemiskinan dapat dikurangi hingga menjadi tinggal 13 % saja. Sebuah target yang masih memerlukan pembuktian.
Kedua, ‘post-production distribution’ memfokuskan pada distribusi fungsional pendapatan dan kekayaan pasca produksi, dimana ia terkait dengan reward yang diterima oleh masing-masing faktor produksi berdasarkan keterlibatan mereka dalam proses produksi, baik melalui mekanisme pasar maupun intervensi pemerintah. Sebagai contoh, standar gaji/upah untuk salah satu faktor produksi, yaitu tenaga kerja. Dalam konteks ini, pemerintah Indonesia telah menentukan UMR (Upah Minimum Regional) sebagai kebijakan pendapatan minimal buruh, yang besarannya berbeda-beda untuk setiap provinsi. UMR Jakarta misalnya, pada tahun ini mencapai angka Rp 1,07 juta, lebih tinggi dari UMR Jawa Barat yang mencapai angka Rp 833,17 ribu. Intervensi semacam ini sudah barang tentu akan mempengaruhi distribusi pendapatan dan kekayaan pasca produksi, terlepas dari pro kontra variabel yang menjadi dasar perhitungannya.
Ketiga, ‘redistribution’ memfokuskan pada upaya meredistribusikan kembali pendapatan dan kekayaan. Inilah yang barangkali belum mendapat prioritas pemerintah sepenuhnya. Selama ini pemerintah hanya menggunakan pajak sebagai instrumen redistribusi, sekaligus sebagai urat nadi yang menggerakkan aktivitas negara. Sementara dalam ekonomi syariah, selain pajak, juga dikenal tiga alat ukur redistribusi lainnya, yaitu positive measure (alat ukur wajib, terdiri atas zakat dan waris), voluntary measure (alat ukur sukarela, terdiri atas infak/sedekah dan wakaf), dan prohibitive measure (alat ukur larangan, terdiri atas larangan riba, penimbunan dan aktivitas spekulasi, demi mencegah penghisapan dana masyarakat oleh kaum kapitalis).
Yang menarik adalah, meski ketiga alat ukur ini berperan sebagai instrumen redistribusi pendapatan, namun ketiganya juga memiliki implikasi terhadap pertumbuhan ekonomi. Melalui mekanisme redistribusi ini, kelompok dhuafa akan memiliki daya beli yang lebih baik, sehingga peningkatan daya beli ini akan berimplikasi pada peningkatan permintaan aggregat, yang berujung pada pertumbuhan ekonomi.
Instrumen Redistribusi
Berdasarkan tiga kategori di atas, problem terbesar penyebab meningkatnya kesenjangan pendapatan antar kelompok masyarakat adalah dikarenakan belum optimalnya pemanfaatan instrumen redistribusi kekayaan. Pemerintah selama ini hanya fokus pada distribusi pendapatan sebelum dan pasca produksi. Hal tersebut ternyata belum cukup untuk mengurangi ketidakmerataan pendapatan. Karena itu, pemerintah perlu memberikan ruang yang lebih besar terhadap pemanfaatan potensi instrumen Zakat, Infak, Shadaqah dan Wakaf (ZISWAF).
Sebagai instrumen wajib, zakat memiliki peran dalam memastikan adanya aliran pendapatan dan kekayaan dari kelompok kaya kepada kelompok miskin. Dengan skema pendayagunaan yang tepat, zakat dapat membantu meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat, baik dalam pemenuhan kebutuhan primer, maupun dalam peningkatan daya tahan perekonomian kaum dhuafa apabila dana zakat digunakan dalam program-program pemberdayaan yang bersifat produktif.
Demikian pula halnya dengan infak/sedekah dan wakaf, yang jika dioptimalkan keberadaannya akan mendorong peningkatan produktivitas perekonomian, sekaligus bisa menjadi alternatif dana nasional untuk recovery pasca bencana alam, sehingga dapat mengurangi beban APBN. Secara sosial, instrumen ZISWAF ini akan memperkuat kesetiakawanan dan kebersaman sosial antar komponen masyarakat, sehingga kecemburuan dan konflik sosial dapat diminimalisir.
Penulis sangat menyayangkan bahwa optimalisasi pemberdayaan ZISWAF ini tidak dibahas dalam forum National Summit 29-31 Oktober lalu. Padahal ada banyak keuntungan dan keberkahan ekonomi yang didapat. Meski demikian, penulis berharap agar KIB II ini dapat menjadikan instrumen ZISWAF ini sebagai salah satu pondasi utama pembangunan nasional yang bertujuan untuk menciptakan keadilan dan pemerataan, sehingga pertumbuhan ekonomi yang ada benar-benar dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat tanpa kecuali. Semoga. Wallahu’alam. [hidayatullah.com]
*)Penulis adalah Staf Pengajar IE-FEM IPB. Kandidat PhD pada Islamic Economics, Kulliyyah of Economics and Management Sciences, IIUM, Malaysia