Oleh: Daniel Mohammad Rosyid
Hidayatullah.com | Sejak Orde Baru bangsa ini mengalami ‘‘penjongosan’’ ekonomi dan politik yang digerakkan oleh elite sekuler radikal didikan Barat yang menjalankan agenda nekolimik yang pernah dikhawatirkan Bung Karno. Agenda ini diwujudkan melalui 3 instrumen pokok: persekolahan massal paksa dan investasi asing, serta riba. Persekolahan menyiapkan buruh yang cukup trampil menjalankan mesin-mesin sekaligus cukup dungu untuk bekerja siang malam bagi kepentingan investor asing. Riba –melalui hutang dan uang kertas– memperluas dan memperdalam ‘penjongosan’ ini.
Sebagai komponen bangsa dengan jumlah yang tidak sedikit, ‘penjongosan’ ini telah mengerdilkan peran ekonomi dan politik ummat Islam Indonesia. Setelah melemah secara ekonomi, melalui amandemen ugal-ugalan atas UUD-45 dimulailah ‘penjongosan’ politik atas bangsa ini. Ini disebut dengan congkak sebagai reformasi, padahal sebenarnya deformasi atas Republik.
Kaum sekuler-radikal dukungan the west wings bersama kaum sekuler kiri-radikal mengobrak-abrik rancangbangun Republik ini sebagai rumah besar bangsa Indonesia yang mejemuk menjadi rumah mewah bagi sebagian kecil elite parpol dan korporasi, sementara rakyat massal dijadikan jongosnya. Sejak 5 tahun terakhir, berbagai regulasi liberal kapitalistik ‘penjongosan’ dan penjarahan sumberdaya alam dilegalisasikan di DPR saat banyak anggotanya terlibat korupsi karena biaya politik yang mahal dan gaya hidup hedon.
‘Penjongosan’ politik masyarakat dimulai saat hak politiknya dirampas melalui sebuah instrumen yang disebut dengan bangga sebagai demokrasi. Jika uang kertas adalah riba ekonomi yang merampok kekayaan bangsa, maka demokrasi adalah riba politik yang merampok sumberdaya politik pemilih.
Hak politik rakyat dibajak di bilik suara Pemilu. Setelah Pemilu usai, berbagai maladministrasi publik terjadi secara terstruktur, sistemik dan masif di mana hukum dibuat dan ditafsirkan penguasa untuk kepentingan elite politik hasil Pemilu, bukan untuk kepentingan rakyat pemilih.
Masyarakat pemilih justru dilemahkan melalui berbagai cara, sementara aparat keamanan diperkuat berkali-kali lipat. Hukum tajam ke pemilih tapi nyaris tumpul ke elite terpilih. Demonstrasi dan protes serta kritik pemilih dibungkam dengan berbagai cara, termasuk dengan cara kekerasan yang brutal.
Penting diingat bahwa sebuah bangsa hanya bisa bertahan jika warganya merasakan keadilan dan dipertuan di negeri sendiri. Bukan didzalimi dan diperjongos. Bangsa adalah sebuah imajinasi yang rapuh. Jika pengalaman tragis diperjongos ini berlangsung terus, rakyat akan kembali pada sukuisme primordial. Ini berbahaya bagi eksistensi Republik ini yang telah dipilih para pendiri bangsa sebagai bentuk negara terbaik bagi bangsa yang amat majemuk ini.
Dalam perspektif itulah perlu disadari bahwa Islam merupakan faktor kunci bagi kelahiran bangsa Indonesia. Islam melarang sukuisme.
Tanpa Islam, banyak suku itu akan kembali ke sukuisme yang mengancam bangsa Indonesia sebagai imajinasi kolektif.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Patut disesalkan bahwa selama 5 tahun terakhir ini, Islam terus disudutkan oleh kaum sekuler kiri radikal dengan berbagai narasi islamophobik sebagai intoleran, anti-NKRI, bahkan anti-Pancasila. Mereka menunggangi agenda war on terror AS dan OBOR China. Padahal kedua adidaya ini bahkan telah gagal membangun Republik, jatuh ke sukuisme putih yang menindas kulit berwarna ataupun Han yang menindas Uighur.
Di samping sebagai perekat bangsa, sejarah Nusantara menunjukkan bahwa Islam adalah kekuatan yang konsisten menentang penjajahan. Pandemi Covid-19 sedikit banyak telah melemahkan agenda nekolimik AS dan China.
Di tengah kesibukannya menghadapi pandemi ini, saya berharap bangsa yang relijius ini cepat belajar dari kesalahannya di masa silam, dan bersatu bangkit untuk mengakhiri agenda ‘penjongosan’ ekonomi dan politik oleh kaum sekuler radikal ini.*
Direktur Rosyid College of Arts Maritime Studies, Surabaya