Karenanya, penggunaan teknologi rahim sintetis pada manusia kurang pas, sebab hal ini berpotensi pada timbulnya kekacauan nasab manusia
Oleh : Ayu Mela Yulianti, SPt.
Hidayatullah.com | PENDIRI uang kripto dan platform Ethereum, Vitalik Buterin, mengusulkan peran hamil perempuan diganti dengan rahim sintetis alias Rahim buatan. Menurutnya, hal ini bisa membantu mengurangi kesenjangan gaji antargender.
Ide ini dia utarakan setelah sebelumnya Elon Musk khawatir tentang populasi manusia yang akan punah. Terlebih lagi makin banyak manusia yang tak mau punya anak. (Jakarta, Detik .com, Januari 2022).
Rahim sintetik adalah rahim buatan yang berada diluar tubuh, terpisah dari tubuh induk. Digunakan untuk pertumbuhan dan perkembangan janin atau embrio.
Penggunaan teknologi rahim sintetik ini telah berhasil menumbuhkan dan mengembangkan embrio tikus dan domba. Sehingga menjadi harapan solusi bagi permasalahan pertumbuhan janin dan kelahiran pada manusia.
Akan tetapi banyak hal yang pada akhirnya mengundang polemik terhadap wacana penggunaan rahim sintetik ini untuk manusia, ada yang mendukung namun banyak juga yang menolak. Maka haruslah kita dudukan urgensi keberadaan rahim sintetik ini bagi manusia.
Sebab sejatinya manusia berbeda dengan hewan, pun manusia tidak bisa pula dianggap dan disejajarkan sama dengan benda, sebab manusia memiliki akal, hati dan perasaan yang sejatinya hal tersebutlah yang pada akhirnya membedakan manusia dengan hewan dan benda. Sehingga dalam memperlakukan manusia pun akan sangat berbeda dengan memperlakukan hewan dan benda, termasuk dalam upaya untuk memperkembangbiakannya.
Proses perkembangbiakan manusia pada dasarnya sama dengan hewan, butuh sel telur dan sel sperma untuk dikawinkan. Hanya saja dunia perkawinan hewan dan manusia sangat berbeda. Sebab manusia memiliki seperangkat aturan untuk proses perkembangbiakannya.
Proses perkembangbiakan manusia dilakukam melalui jalan perkawinan antara laki-laki dan perempuan yang terikat dengan ikatan penikahan yang memenuhi syarat dan rukun nikah. Sebab anak hasil dari pernikahan tersebut kelak akan bernasab pada kedua orang tuannya, bukan orang lain.
Dari ikatan nasab ini akan turun pula hak-hak yang akan diperoleh oleh anak berdasarkan nasabnya. Anak yang diperoleh dari hasil pernikahan tersebut secara alaminya akan tumbuh didalam rahim ibunya, bukan rahim orang lain.
Ini adalah proses dihasilkannya anak secara normal. Namun jika kondisi tidak memungkinkan untuk hamil secara normal, sebab rahim lemah atau sebab lainnya, maka diperbolehkan menggunakan rahim sintetis dengan syarat selama segala hal yang terkait dengan kebutuhan tumbuh kembang janin dalam rahim sintetis tersebut berasal dari tubuh ibunya, yang diambil melalui proses tertentu.
Semisal kebutuhan hormon penunjang tumbuh kembang janin dalam rahim sintetis dan segala hal yang bisa mendukung tumbuh kembang janin dalam rahim sintetis, semuanya harus berasal dari ibunya. Hal ini untuk menjaga nasab agar tidak tercampur dengan yang lain.
Dengan catatan rahim sintetis adalah sebuah wadah untuk tumbuh kembang janin di luar tubuh induk. Juga dengan catatan janin berasal dari bibit milik pasangan suami-isteri, bukan milik donor atau pihak lain.
Kekacauan nasab
Namun, menjadi hal yang patut dan perlu dipertimbangkan adalah, bahwa hormon penunjang kehamilan dan tumbuh kembang janin dalam rahim hanya bisa diproduksi oleh ibu yang sedang hamil saja, tidak bisa diproduksi oleh selainnya. Maka menjadi polemik pada akhirnya ketika harus menjaga nasab agar tidak terjadi kekacauan nasab, sementara kondisi ini tidak didukung oleh kondisi ibu pemilik janin yang ditumbuhkan dalam rahim sintetis, sebab janin diperoleh melalui proses bayi tabung dan ibu pemilik janin tidak dalam kondisi hamil sehingga tidak dapat memproduksi hormon yang diperlukan untuk disuntikan dalam rahim sintetis tempat janinnya berada.
Jikapun bisa diperoleh dengan rangsangan suntik hormon yang diberikan pada ibu pemilik janin yang ada di dalam rahim sitetik tersebut, bukankah berpotensi pada akan menjadikan ibu menjadi tidak nyaman (sakit)? Sebab pertumbuhan janin tidaklah sama dengan pertumbuhan bayi yang telah lahir.
Janin tumbuh terikat dengan tubuh ibu sedangkan bayi yang telah lahir tidak.
Karenanya, penggunaan teknologi rahim sintetik, menjadi kurang pas jika diperuntukan bagi pertumbuhan manusia, sebab berpotensi pada timbulnya kekacauan nasab manusia. Dan teknologi rahim sintetik ini lebih cocok digunakan untuk proses perkembangbiakan hewan untuk menjaganya dari kepunahan, bukan pada manusia.
Manusia adalah makhluk yang memiliki akal, hati dan perasaan, yang suatu saat akan mempertanyakan asal usul kejadiannya. Yang berarti pula mempertanyakan keturunan dan nasab yang patut dimilikinya, sebab mempertanyakan nasab adalah sesuatu yang sangat alami dan naluriah saja, sebagai efek dari keberadaan akal pada setiap manusia.
Jikapun ada yang tertarik untuk menggunakan rahim sintetik untuk menjadi satu solusi permasalahan hidupnya, maka tetap perlu diperhatikan kaidahnya sehingga tidak menimbulkan masalah pada nasab dikemudian hari. Sebab produk akhir dari penggunaan rahim sintetik ini adalah lahirnya manusia baru yang perlu dijelaskan dan dijawab asal usulnya (nasab) dengan benar.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Jikapun terjadi penurunan jumlah populasi pada manusia sebab semakin banyak manusia yang tidak mau punya anak, solusi yang paling manusiawi mendorong setiap orang agar mau menikah.
Tentu ada satu dorongan kuat yang bisa merealisasikan hal tersebut adalah dorongan keimanan. Bahwa menikah adalah ibadah, memiliki anak adalah peluang mendulang pahala yang besar apalagi jika anak menjadi sholih, maka anak akan bisa mengantarkan kedua orang tuanya ke Surga.
Dorongan sepertini menjadi tidak berfungsi jika tatanan kehidupan sangat didominasi oleh nilai-nilai materialistik saja. Menilai keberhasilan dari jumlah penghasilan (uang) yang diperoleh, semakin besar uang yang didapat, nilai sukses semakin tinggi.
Tatanan kehidupan materialistik ini akan menjauhkan minat manusia untuk menikah dan punya anak. Sebab menikah dan punya anak akan dipandang sebagai beban, apalagi untuk perempuan, sebab menikah dan punya anak berarti karir meredup dan sulit untuk mencapai penghasilan yang tinggi apalagi mimpi untuk mengungguli karir laki-laki.
Karena itu perlu mengembalikan kesadaran manusia akan pentingnya beragama dan menjadikan nilai-nilai agama dipakai dalam kehidupan. Sebab, hanya dalam agama saja dikenal nilai dan makna keimanan.
Nilai keimanan inilah yang akan menjadi kontrol dalam setiap perbuatan manusia, sehingga manusia akan menempuh jalan sesuai fitrah penciptaannya saat memenuhi kebutuhan hidupnya termasuk dalam memenuhi keinginan untuk memiliki anak. Manusia akan menikah sesuai tuntunan agama, dan denga kesadaran keimanan ini manusia akan terhindar dari ancaman kepunahan dan kekacauan nasab. Wallahualam.*
Penulis pemerhati kebijakan publik