Oleh: Ilham Kadir
Sambungan artikel Pertama
Bersatunya Media Islam
Penulis paham maksud dan keinginan pemerintah untuk mengendalikan situs-situs yang kemungkinan berbahaya. Namun tidak semua situs bisa diklaim dan dituduh radikal. Selain tidak adil, tindakan sepihak adalah perbuatan fintah karena mencederai dan merusak nama beberapa pengelola situs yang selama ini justru berusaha membantu pemerintah mengedukasi menjadi Muslim yang baik.
Karena itu, meski kejadian ini melukai perasaan banyak kaum Muslim, KH Bachtiar Nasir, Sekjend MIUMI dan Pimpinan lembaga dakwah Arrahman Learning Center (ALC) yang situsnya juga menjadi korban masih meneropong dari sisi positif. Sebagaimana dikutif Republika Online (7/4/2015), Bachtiar justru mengajak isu ini diperpanjang waktunya agar umat Islam lebih lama mendengar dan lebih banyak tahu tentang tindakan pemerintah. Dengan itu mereka akan sadar untuk bersatu membangun media.
Menurutnya, dengan adanya isu pemberedelan ini, sudah ada beberapa donatur yang siap membantu mendirikan media Islam yang repsentatif, bahkan perlunya membangun aliansi media Islam di Indonesia.
Inteketual muslim lainnya yang menilai secara positif tindakan pemerintah adalah Pimpred Majalah Gontor, Adnin Armas, MA. Dalam acara Tabligh Akbar bertajuk “Jangan Berangus Media Dakwah Kami” di Masjid Agung Al Azhar Kebayoran, Jakarta hari Jumat (03/04/2015) malam ia bahkan berterima kasih musibah ini.
“Terimakasih pula kepada BNPT, dengan adanya masalah ini media Islam semakin kokoh dan semakin bersatu. Terimakasih juga kepada Kemenkominfo, karena dengan memblokir situs-situs Islam, umat Islam Indonesia yang merupakan Muslim terbesar di dunia ini menjadi tersentak, karena diperlakukan seperti minoritas.”
Sebab, menurut Ketua Harian MIUMI Pusat ini, mungkin di negara Barat yang Muslimnya minoritas pun tak dilakukan pemblokiran terhadap situs-situs Islam.
“Ini sangat menyentak kesadaran umat Islam di negara mayoritas Muslim terbesar di dunia ini,” tegas Direktur Eksekutif Institute for the Study of Islamic Thought and Civilization (INSISTS) ini.
Memang, inilah seharunya menjadi momen untuk menyatukan barisan membentuk sebuah persatuan media dakwah baik cetak maupun online, dan diharapkan menjadi mainstream, mengarahkan umat, membangun opini, dan menyuarakan kebenaran tanpa pandang bulu dan tidak pragmatis.
Sebagai penulis di berbagai media –baik media mainstream maupun media Islam online—bahkan hampir semua media online yang kena beredel pernah memuat tulisan saya, penulis berharap agar pemerintah bersikap cerdas dan jangan gegabah, walaupun media online bukanlah satu-satunya sarana dakwah, tetapi, sebagaimana ditulis Syeikh Sulthan al-Umari dalam makalahnya berjudul “Istiqda al-Internet fi al-Da’wah“, mengutarakan pentingnya optimalisasi dakwah melalui internet.
Tentu saja menurut beliau, langkah ini bisa dilakukan dengan memperhatikan beberapa rambu utama. Antaranya, para pengelolah dan penulis harus memulai dengan niat tulus bukan terjun untuk mengeruk materi atau larut dalam perdebatan tanpa guna, materi memang penting, tetapi itu bukan tujuan utama.
Selain itu, juga harus meluruskan visi dan misi dakwah, dalam hal ini penting untuk memahami bahwa esensi dakwah ialah untuk memberikan manfaat kepada orang banyak, menyelamatkan mereka dari berbagai kesesatan, terutama kesesatan akidah kaum Muslim. Misalnya pengaruh akidah Syiah, Liberalisme, Sekularisme dan lain-lain.
Bagi pengelola media Islam jangan berkecil hati. Meski lembaga media seperti Dewan Pers yang kita harapkan bersama bisa melindungi media umat malu memberi pembelaan, kita mintakan pembelaan di hadapan Allah Subhanahu Wata’ala.
Sebab yang membedakan media Islam dan media umum adalah niat dan amalan. Amalan dakwah adalah saham ukhrawi yang tidak kasat mata. Inilah yang dimaksud dari Hadis Abu Hurairah, “Siapa yang mengajak kepada kebaikan maka ia akan memeroleh pahala yang sama dari orang bersangkutan.” Man dalla ‘ala khaerin falahu mitslu ajri fa’ilihi, begitu Nabi bersabda.
Wartawan media Islam online ibarat seorang dai. Dai di dunia maya (Dumay). Karena itu ia harus menunjukkan keagungan nilai-nilai luhur Islam, sebagai rahmat bagi alam semesta dan bukan musibah untuk umat manusia.
Fakta-fakta otentik dan historis harus selalu dipaparkan bahwa, Islam dan segala perangkapnya, termasuk hukum-hukumnya diturunkan ke bumi untuk menjaga kelestarian manusia dan alam. Dalam hal ini, maqashid asy-syariah harus selalu dipaparkan di mana kedatangan dan kehadiran Islam justru untuk menjaga; agama, jiwa, harta, keturunan, dan akal manusia.
Jika semua rambu-rambu dakwah tersebut telah diamalkan oleh situs dan media Islam, lalu dia diberedel tanpa alasan yang jelas oleh pemerintah, maka dengan sendirinya pemerintah dan perangkatnya akan kena hukum oleh Allah dan Rasul-Nya, dengan sebutan ‘para pemadam cahaya kebenaran.’
Karena media Islam tak memiliki kekuasaan, kewajibannya hanyalah sebatas mengingatkan dengan lisan, tulisan, dan hati semoga mereka kembali ke jalan yang benar.
Artikel ini saya tutup dengan mengutif ayat dakwah, “Kalian adalah umat terbaik dilahirkan untuk manusia, menyeru pada yang baik, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah.” (QS. Ali-Imran [03]:110).
Sebagaimana teladan dari Nabi, penulis mengingatkan pada pengelola media Islam, janganlah pernah berhenti berdakwah, walau harus memegang bara api. Bahkan jangan pula tergiur dengan tawaran walau dunia dan isinya, ibarat tawaran pada Nabi berupa matahari di tangan kanan dan bulan di tangan kiri.
Kerja dakwah adalah sebuah kemuliaan yang tidak bisa diukur dengan apapun. Dan kemuliaan pegawainya setara dengan para nabi dan rasul, sebab dengan dakwah mereka diutus. Karena itu jangan galau hanya dengan stigma ‘radikal’. Wallahu A’lam!
Penulis adalah peserta Kaderisasi Seribu Ulama BAZNAS-DDII