Oleh: Ilham Kadir
SAAT saya selesai menulis artikel ini, beberapa media Islam online yang diblokir pemerintah sebagaian sudah bisa diakses, karena itu, semula judul di atas “Kembalikan Media Islam” saya ubah menjadi “Urgensi Media Islami di Tengah Umat”, dengan harapan agar pemerintah, terutama Kemenkominfo dan BNPT ke depan lebih barhati-hati dalam bertindak.
Berdasarkan sebuah riwayat, orang mukmin seharusnya tidak terperosok pada lubang yang sama dua kali. Sebab hanya orang dungu yang selalu mengulang-ulang kesalahan di tempat yang sama.
Saya menggunakan kata “islami” bermaksud bahwa yang layak dipertahankan adalah media Islam yang islami, sebab begitu banyak media berlabel Islam namun hakikatnya hanya merusak Islam, seperti situs-situs milik Syiah yang berkamuflase, mengajak orang bertaqrib lalu dikerangkeng dan diseret dalam kesesatan yang nyata.
Selain itu, di masa depan, situs-situs Syiah ini akan melahirkan orang-orang radikal yang dampaknya sangat membahayakan Negara, melebihi situs-situs yang diblokir pemerintah hampir dua minggu ini.
Sebab, siapapun tahu, paham Syiah yang sedang berkembang di Indonesia menganut pada satu jalur, Syi’ah Itsna ‘Asyariyah dengan konsep Imamah di mana hanya mengikuti perintah imamnya yang berkedudukan di Iran. [Baca: Ideologi Syiah Iran dan Ancaman Terhadap Ketahanan Nasional]
Selain itu, situs-situs membahayakan lain adalah situs milik Jaringan Islam Liberal (JIL) dan keturunannya yang merusak akidah, melecehkan Islam karena seenaknya memelintir ayat dan hadis, melawan keyakinan mayoritas yang diyakini kaum Muslim dan menjustifikasi paham sesat mereka.
Diblokirnya belasan situs Islam di Indonesia oleh Kementrian Informasi dan Komunikasi (Kemenkominfo) atas rekomendasi Badan Nasional Pencegahan Terorisme (BNPT) tidak hanya menghebohkan publik tanah air melalui media cetak dan elektronik, atau juga sosial media, namun kehebohan ini juga menjadi pemberitaan media asing di luar negeri, hingga Indonesia seolah-olah terlihat lebih dungu, dan diktator.
Media asing online yang berbasis di Singapura menulis kabar buruk tersebut dengan judul “Indonesian Goverment Bans 19 Islamic News Sites to Curb Radicalism“. Para pengguna internet menuduh Pemerintah RI hendak mencoba memasung kebebasan berbicara, tulis laman tersebut.
Ada pun laman Wall Street Journal menyebutkan bahwa pemblokiran situs-situs Islam oleh Kemenkominfo telah memacu kemarahan masyarakat banyak, khususnya umat Islam.
“Organisasi Nonpemerintah, seperti Aliansi Jurnalis Independen [AJI] dan Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat juga melayangkan kritiknya atas langkah kesewenang-wenangan pemerintah, “ tulis laman itu.
laman On Islam yang berbasis di Mesir juga tak ketinggalan ikut angkat bicara, ia mengungkap pemblokiran situs-situs Islam oleh pemerintah. Dalam artikenya berjudul “Islamic Sites Ban Sparks Indonesians Uproar“, media itu menegaskan bahwa tindakan pemerintah Indonesia tidak saja ditentang masyarakat muslim, tetapi dikecam juga oleh non-Muslim. Salah satu pengguna twitter, Devita Gunawan yang mengaku bukan Islam menegaskan bahwa umat Islam bukanlah teroris, dan menyerukan agar pemerintah mencabut pemblokiran tersebut, tulis On Islam.
Kebijakan Rimba
Akhir Maret lalu, Indonesia heboh, bukan karena prestasinya, seperti ketika pemerintah berhasil berdamai dengan sparatis Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di zaman pemerintahan SBY-JK akan tetapi karena kebijakan konyol menterinya, memblokir situs-situs Islam yang dianggap radikal dan pencetak terorisme, walaupun stigma ini datang hanya dengan opini sesat BNPT, namun pihak pemerintah melalui Kemenkominfo sangat yakin dengan rekomendasi BNPT.
Tak plak lagi, berbagai tokoh nasional angkat bicara, yang tidak mungkin saya tulis semuanya. Wakil Presiden, Jusuf Kalla misalnya, berkata, “Ini salah satu bukti pemerintah tidak berkoordinasi dengan pihak lain, seperti para ulama dan tokoh agama, “ ujarnya. (Republika, 5/4/2015).
Nada kesal muncul dari Pimpinan Muhammadiyah, sekaligus Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, Dr Din Syamsuddin. Menurutnya, tindakan BNPT hanya akan memicu radikalisme baru, bahkan ia menilai jika BNPT seharusnya dibubarkan. Dengan kesal, Din sempat mengatakan, “Hanya menghabiskan uang negara, dan semestinya harus diaudit, jangan-jangan mereka menerima dana dari asing sehingga kebijakannya sangat tidak adil.” (http://m.suara-islam.com)
Komentar pedas Din, sebagaimana yang tertulis dalam lamam viva.com (08/04/2015), “Gaya pemerintah seperti ‘pukul dulu’ selain itu, urusan belakangan. Jika diterjemahkan dengan bahasa masyarakat awam: Kemenkominfo seperti preman!”
Inilah yang saya maksud dengan kebijakan rimba. Di mana penguasa laksana singa yang merasa dirinya paling hebat dan berkuasa sewenang-wenang, tidak mau tau dan peduli apa dan bagaimana keadaan hewan lainnya. Tersentak ketika segerombolan banteng bersatu mengepung, menyeruduk, menginjak-injak dan akhirnya mati lemas.
Penulis tentu berharap Negara tidak seperti itu. Negara ini memang bukan milik orang Islam saja dan tidak hanya dipimpin oleh orang Islam, bahkan jika dilihat dari prosentase masyarakat Islam dan pemimpinnya, Indonesia paling toleran karena ketika memilih warga agama lain mereka juga rela. Sebagaimana kasus Gubernur DKI yang dipimpin Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang beragama Kristen.
Meski demikian, dari segi kebijakan, secara menyeluruh pemerintah masih kurang berpihak pada umat Islam, bahkan jika diarahkan face to face, apakah akan membela umat Islam atau kepentingan asing, pemerintah kemungkinan besar memilih yang kedua.
Tidak bisa dipungkiri, bagi sebagaian masyarakat Muslim, pemblokiran situs Islam adalah bukti nyata pemerintah, wabil khushus Kemenkominfo dan BNPT sebagai kepanjangan tangan pemerintah sangat terlihat anti-Islam. Meminjam istilah Emha Ainun, Islam di Indonesia mahjubun bil-muslimin. Islam di Indonesia itu ditindas sesamanya sendiri.
Ahmad Firdaus, pengurus Internasional Student Society National University of Singapore bahkan menulis, “Pemberedelan sejumlah media Islam secara sepihak oleh pemerintah telah mencederai hati masyarakat Muslim terbesar dunia. Betapa tidak, media-media dakwah yang selalu gencar mengajak manusia kepada kebaikan dan menebar berbagai hikmah kehidupan justru dicekal karena dinilai mengajarkan paham radikal, tentu ini adalah keputusan ngawur karena sebelumnya tidak disertai dengar pendapat dari media bersangkutan sehingga dengan seenaknya pemerintah meradikalkan media-media tersebut.” (Republika, 6/4/2015).
Firdaus membuka opininya dengan mengutif firman Allah, “Mereka berkehendak memadamkan cahaya agama Allah dengan mulut [ucapan] mereka. Dan Allah tidak menghendaki selain menyempurnakan cahayanya, walaupun orang-orang kafir tidak menyukainya.” (QS: At-Taubah: 32).
Prof Dr Mahfud MD, yang pernah menjabat sebagai Menteri Pertahanan di era Gusdur –selanjutnya duduk sebagai Anggota DPR RI, dan terakhir sebagai ketua Mahkamah Konstitusi (MK)– sempat menegaskan, pemerintah tidak berhak menutup media-media Islam secara sepihak, perlu melakukan dengar pendapat, pembuktian kesalahan, mengajukan ke pengadilan, lalu pengadilanlah yang berhak menentukan boleh tidaknya situs atau media tersebut diblokir.* (bersambung).. Diblokir Justru Bersatu…
Penulis adalah peserta Kaderisasi Seribu Ulama BAZNAS-DDII