Sambungan artikel KEDUA
Oleh: Muhammad Cheng Ho
Kampung Kauman Dibakar
Pada hari Senin Legi, 20 September 1948, tiba-tiba datang sebuah truk yang berisi orang-orang PKI baik laki-laki, maupun perempuan. Seorang perempuan sekonyong-konyong berteriak keras kepada seluruh penduduk Kauman. Dia mengatakan bahwa salah seorang anggota PKI telah mati terbunuh di Kampung Kauman.
“Di atas truk memang ada mayat yang dibungkus kain dan hanya kelihatan kakinya saja,” kata Parto Mandojo, yang ketika itu menjadi pengusaha mebel makanan di Kauman. Dia menceritakan bahwa perempuan yang berteriak tadi menginginkan ada penduduk Kauman yang mengakui telah membunuh salah seorang anggota PKI. Namun tak satu pun penduduk Kauman yang mengakuinya karena mereka memang tak merasa pernah membunuh satu orang pun. Akhirnya rombongan PKI pergi meninggalkan ancaman akan membumihanguskan Kampung Kauman. Ini adalah taktik licik ‘mencari pembunuh’ ala PKI, karena sebenarnya, ingin menjebak lawan-lawan yang akan menghalangi pemberontakan mereka.
Pada hari Jumat Kliwon, 24 September 1948, PKI seperti kerumunan lebah yang menyerbu Kampung Kauman. Rumah-rumah dibakar sehingga seluruh penghuni keluar dari persembunyiannya. “Waktu itu seluruh warga laki-laki Kauman ditawan dan digiring ke Masopati setelah tangan mereka ditelikung dan diikat dengan tali bambu,” tutur Parto Mandojo.
Dalam aksi pembumihangusan Kampung Kauman itu, tak kurang dari 72 rumah terbakar, dan sekitar 149 laki-laki digiring ke Maospati. Dari Maospati seluruh tawanan dimasukkan ke dalam gudang pabrik rokok, kemudian diangkut dengan lori milik pabrik gula ke kawasan Glodok. “Dari glodok kami dipindahkan ke Geneng dan Keniten. Tetapi sebelum disembelih, kami berhasil diselamatkan oleh tentara Siliwangi,” ujar Parto Mandojo tentang peristiwa mencekam itu.
Pembakaran Kampung Kauman pada dasarnya merupakan bagian dari aksi PKI untuk memberangus pengaruh agama Islam di tengah masyarakat. Sebab, sebelum aksi pembakaran itu, Madrasah Pesantren Takeran juga telah dibakar, beberapa saat setelah Kiai Imam Mursjid tertawan. Pesantren Burikan pun tak luput dari serbuan PKI. Kemudian para tokoh-tokoh pesantren seperti Kiai Kenang, Kiai Malik, dan Muljono dibantai di Batokan. Korban lain dari kalangan ulama yang dibantai oleh PKI adalah keluarga Pesantren Kebonsari, Madiun.
Achmad Daenuri, putra K.H. Sulaiman Zuhdi Affandi dari pesantren Mojopurno, menceritakan bahwa ayahnya adalah putra sulung Kiai Kebonsari. Menurut Daenuri, ayahnya ditangkap oleh PKI, bersamaan dengan ditangkapnya bupati Magetan. Sementara adik kandung ayahnya, K.H. Imam Sofwan yang menjadi pimpinan Pesantren Kebonsari, ditangkap PKI bersama dengan dua putranya yakni Kiai Zubair dan Kiai Bawani. “Jadi setelah pemberontakan itu meletus, pesantren-pesantren sudah benar-benar kehilangan pimpinan,” simpul Daenuri. (Agus Sunyoto, A.Zainuddin, Maksum, Ibid, hlm. 42-43).
Masjid Agung Trenggalek Dibom
Setelah Magetan, aksi keganasan PKI berlanjut di Trenggalek, Surabaya, dan Kediri.
Di Trenggalek, PKI juga melancarkan terornya. Mereka menyiapkan belasan jurigen bahan bakar serta telah menempatkan dinamit di bawah seluruh tiang Masjid Agung Trenggalek yang siap diledakkan. Namun Imam Masjid tersebut, K.H. Yunus tak beranjak dari mihrab tempat suci itu. Tepat jam 12 malam, dia diseret keluar masjid dan dicampakkan ke halaman oleh PKI. Setelah itu, masjid bersejarah nan megah itu dibakar dan diledakkan sampai musnah rata dengan tanah. (H. Abdul Mun’im DZ, Benturan NU PKI 1948-1965, Depok: PBNU & Langgar Swadaya Nusantara, 2014, hlm.67-68)
Al Qur’an Diinjak dan Dibakar
Pemberontakan Madiun akhirnya dapat dipadamkan. PKI ditumpas oleh pemerintahan Sukarno Hatta. Namun PKI kemudian mendapatkan kembali nafasnya, dan mulai bangkit. Bahkan sejak Pemilu 1955 posisi PKI semakin menguat. Kedekatan PKI dengan Sukarno membuat mereka di atas angin. Umat Islam ketika memasuki rezim orde lama semakin tertekan.Berada dalam posisi yang kuat, kesempatan itu digunakan untuk menghantam kmebali lawan-lawan politiknya, termasuk para ulama dan santri. Mereka acapkali melakukan teror untuk melemahkan mental umat Islam. Termasuk saat para pendukung PKI menyerbu Masjid Agung Kembangkuning, Surabaya, peninggalan Sunan Ampel pada tahun 1962.
Mereka menginjak-injak tempat suci itu sambil bernyanyi Genjer-genjer dan menari-nari. Tak sampai di situ, mereka juga menginjak-injak dan membakar Al-Qur’an serta kitab-kitab lainnya. Kurang ajarnya lagi, mereka bermaksud mengubah masjid tersebut menjadi markas Gerwani. Akibatnya, terjadilah benturan antara warga Nahdiyyin dan pendukung PKI. Pasukan NU berhasil menang dan akhirnya PKI diseret ke pengadilan (H.Abdul Mun’im DZ, Ibid, hlm. 96).
Tuhan Diperankan Mati
Dasar PKI, tak kapok-kapok juga, setahun kemudian, PKI kembali berulah. Pada tahun 1962, mereka menghina Islam dengan pementasan reog, ludruk, dan ketoprak dengan lakon matinya Tuhan. Akibatnya, perkelahian antara NU dan mereka pun tak terhindarkan. (H.Abdul Mun’im DZ, Ibid, Kronologi Pemberontakan PKI)
Tanah Milik Warga NU Diserobot
Memasuki tahun 1964, PKI gencar menduduki berbagai tanah termasuk tanah milik Nahdiyin. Karena didukung oleh beberapa oknum pemerintah, langkah tersebut berjalan lancar. Dalam waktu singkat, 900 hektar tanah bisa dikuasai. PKI juga berani mematok tanah milik warga NU, H.Saimur. Selain dipatok, tanah itu juga ditanami tanaman oleh PKI, seolah tanah itu adalah miliknya. Melihat kenekatan PKI itu, H.Saimur meminta bantuan Gerakan Pemuda (GP) Ansor, lalu oleh GP Ansor, tanah itu ditancapi bendera NU dengan sesumbar kalau PKI berani mencabut bendera NU, maka GP Ansor akan menghadapi PKI. Mendengar itu, PKI tidak berani lagi menjarah tanah H. Saimur (H. Abdul Mun’im DZ, Ibid, hlm.105).
Selanjutnya, PKI bersama Badan Tani Indonesia (BTI) menebang tanaman tebu seluas tiga hektar milik H.Abu Sudjak, Rais Syuriyah PCNU Kabupaten Kediri. Setelah ditebang, PKI langsung menjualnya ke Pabrik Gula Ngadireja. Namun karena Abu Sudjak sudah kenal dengan pimpinan pabrik, uang hasil penjualan tebu PKI dan BTI tadi, diambil oleh Abu Sudjak. Tentu saja PKI sangat marah. PKI tak kehabisan akal, mereka kemudian memagari tanaman tebu yang masih tersisa dan menganggap sebagai lahan BTI. Melihat hal itu, Pimpinan GP Ansor dan para pendekar lantas merobohkan dan mencabuti pagar lahan yang dibuat oleh BTI, lalu ditancapi bendera GP Ansor. (H. Abdul Mun’im DZ, Ibid, hlm.106).
Segerombolan Pemuda Rakyat BTI dan Gerwani juga pernah menduduki tanah milik Muslimat NU yang terletak di tengah kota Surabaya. Tanah itu langsung dipagari dan dipasang bendera PKI dan Gerwani (H. Abdul Mun’im DZ, Ibid, hlm.109).
Itulah sebagian aksi teror keji ala PKI. Umat Islam yang sudah berkorban banyak demi bangsa ini, bersimbah darah melayani keganasan PKI. Permusuhan PKI utamanya kepada para kiai dan santri, membuat darah para syuhada tergenang. Maka amat pantas dan adil bila peristiwa yang mengerikan ini, kita sebut sebagai sebuah tragedi kemanusiaan dan pelanggaran HAM. Juga tak berlebihan bila kita enggan menginginkan TAP MPRS No XXV/ 1966 berisi Ketetapan Tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI) dicabut. Dan menjadi tugas pemerintah serta seluruh rakyat Indonesia untuk mencegah aksi teror keji ala PKI terulang kembali.*
Penulis adalah Pegiat Jejak Islam untuk Bangsa (JIB)