Oleh: Muhammad Cheng Ho
Lanjutan artikel PERTAMA
Iskan, salah seorang saksi mata, juga menyatakan bahwa Pesantren Takeran sudah dikepung oleh ratusan orang PKI. “Setelah Mas Imam Mursjid dibawa dengan mobil, saya melihat orang-orang PKI sudah berdiri melingkari pesantren. Mereka rata-rata berpakaian hitam dengan memakai ikat kepala merah dan bersenjata,”ujar Iskan sambil menitikkan air mata mengenang gurunya yang sangat dipatuhi itu.
Menurut Iskan, sebelum itu pihak PKI memang sudah mengancam, jika Kiai Imam Mursjid tak mau menyerah dan mendukung mereka, maka pesantren akan dibumihanguskan. Mungkin, menurut Iskan, apabila Jumat itu Kiai Imam Mursjid tak berhasil dibawa PKI, bisa dipastikan pesantren akan dibakar dan dengan demikian korban akan sangat besar. Iskan menduga, Kiai Imam Mursjid mau ikut PKI untuk menghindari terjadinya korban yang lebih besar di antara para pengikutnya.
Pada hari Minggu Kliwon, 19 September 1948, kurir PKI yang lain datang lagi menyampaikan pesan bahwa Kiai Imam Mursjid belum bisa pulang. Malah mereka mengatakan perundingan tersebut membutuhkan kehadiran Kiai Muhammad Noer, sepupu Kiai Imam Mursjid yang selama itu ikut memimpin Pesantren Takeran. “Waktu itu mereka mengatakan bahwa Mas Imam Nursjid baru bisa pulang kalau Kiai Muhammad Noer datang menjemput,” kata Kamil.
Kiai Muhammad Noer, begitu mendengar pesan dari kurir tersebut, diam-diam mendatangi markas PKI di Gorang Gareng, 6 kilometer di sebelah barat Takeran. Tapi di tengah jalan, ia ditangkap PKI dan sempat ditawan di sebuah tempat di Takeran. Kurir PKI berulang kali datang lagi ke pesantren setelah Kiai Muhammad Noer dibawa ke Gorang Gareng. Dia mengatakan bahwa Kiai Imam Mursjid dan Kiai Muhammad Noer baru bisa kembali setelah Ustadz Muhammad Tarmudji, adik Kiai Imam Mursjid yang juga sebagai tokoh pemuda, datang menjemput ke Gorang Gareng.
PKI mengatakan bahwa Kiai Imam Mursjid dan Kiai Muhammad Noer baru bisa kembali setelah Ustadz Muhammad Tarmudji, adik Kiai Imam Mursjid yang juga sebagai tokoh pemuda, datang menjemput ke Gorang Gareng.
Mendapat informasi seperti itu, Tarmudji secepatnya menyelamatkan diri. Apalagi dia juga diberi tahu bahwa dialah yang mendapat giliran dicari PKI. Meskipun tak menemukan Tarmudji, PKI terus menangkapi tokoh-tokoh pesantren seperti Ustadz Ahmad Baidawy, Muhammad Maidjo, Rofi’i, Tjiptomartono, Kadimin, Reksosiswojo, Husein, Hartono, dan Hadi Addaba’. Yang terakhir ini adalah guru pesantren yang didatangkan dari Al-Azhar, Kairo (Mesir). Saat itu, Pesantren Takeran memang sangat terkenal dan muridnya datang dari berbagai daerah termasuk dari luar Jawa.
Mereka itu akhirnya memang tak pernah kembali. Bahkan sebagian besar ditemukan sudah menjadi mayat di lubang-lubang pembantaian PKI yang tersebar di berbagai tempat di Magetan. Bahkan hingga tahun 1990, mayat Kiai Imam Mursjid tak kunjung ditemukan. Dari daftar korban yang dibuat PKI sendiri -daftar ini ditemukan oleh pasukan Siliwangi-, nama Kiai Imam Mursjid tak ada. (Agus Sunyoto, A.Zainuddin, Maksum, Ibid, hlm. 16-21)
Kiai Dibantai dan Dibuang ke Sumur
Di Desa Cigrok, sebelah selatan Takeran, terdapat sumur tua yang digunakan PKI sebagai tempat pembuangan korban-korbannya. Sumur tua Cigrok ini terletak di belakang rumah To Teruno, seorang warga yang sebenarnya bukan orang PKI. Justru dialah yang melaporkan kegiatan PKI di sumurnya itu kepada Kepala Desanya. Di dekat rumah To Teruno, tinggal pula Muslim, seorang santri yang menjadi saksi kebiadaban PKI dalam melakukan pembantaian di sumur tua itu tahun 1948.
Muslim menceritakan pada malam terjadinya penjagalan itu, semua orang tak berani keluar rumah. Malam itu, dia mendengar suara bentakan Surat, pimpinan PKI yang berasal dari Desa Petungredjo.
Dia juga mendengar suara orang menjerit histeris karena dianiaya. Muslim, yang diam-diam mengintip melalui lubang dari rumahnya, melihat gerak-gerik orang-orang PKI itu dalam keremangan malam. Muslim dapat mengenali salah satu korban yang mengumandangkan adzan dari dalam sumur. Suara itu, menurutnya adalah suara K.H. Imam Sofwan dari Pesantren Kebonsari.
Achmad Idris, tokoh Masyumi di Desa Cigrok yang ketika itu sudah ditawan PKI, menyaksikan penjagalan biadab PKI dari kejauhan. Meskipun sayup-sayup, dia sangat mengenal suara adzan K.H. Imam Sofwan yang mengumandang dari dalam sumur itu, sebab Idris sering mendengarkan pengajian-pengajian K.H. Imam Sofwan.
Menurut Idris, pembantaian oleh PKI di sumur Cigrok itu tak dilakukan dengan senapan atau Klewang, akan tetapi dengan pentungan. Idris mengungkapkan para tawanan dengan tangan terikat dihadapkan ke arah timur sumur satu demi satu. Kemudian, seorang algojo PKI menghantamkan pentungan ke bagian belakang tiap tawanan tersebut.
Waktu itu, Idris mengenang, ada tawanan yang segera setelah dihantam langsung menjerit dan roboh ke dalam sumur. Tetapi ada pula yang setelah dihantam, masih kuat merangkak sambil melolong-lolong kesakitan. Tangan mereka menggapai-gapai mencari pegangan. Melihat para korban merangkak seperti itu, orang-orang PKI kemudian menyeret begitu saja dan memasukkan mereka hidup-hidup ke dalam sumur. K.H. Imam Sofwan, menurut Idris, termasuk yang tak meninggal setelah dihantam. Hal serupa juga dialami oleh kedua putra beliau, yakni Kiai Zubair dan Kiai Bawani, yang dibantai di sumur tua Desa Kepuh Rejo, tak jauh dari sumur Cigrok.
Orang-orang PKI yang melihat bahwa ternyata ada korban yang masih hidup di dalam sumur, sama sekali tak peduli. Mereka lantas langsung menimbuni sumur tersebut dengan jerami, batu, dan tanah. Karena itu, ada pernyataan yang menyebutkan bahwa korban pemberontakan PKI tahun 1948 sebenarnya dikubur hidup-hidup. Muslim mengatakan, pada pagi hari seusai pembantaian dia mendapati lanjaran (rambatan) kacang dan jerami di kebunnya sudah habis. “Rupanya orang-orang PKI membabat semua itu untuk menimbuni sumur,” tutur Muslim yang diancam oleh PKI agar tutup mulut.
Yang dimasukkan ke lubang pembantaian Cigrok paling sedikit berjumlah 22 orang. Di antara para korban itu, ada K.H. Imam Sofwan, Hadi Addaba’ dan Imam Faham. Hadi Addaba’ sendiri adalah guru dari Mesir yang ditugaskan mengajar di Pesantren Takeran. Sementara Imam Faham adalah santrinya K.H. Imam Mursjid yang ikut mengiringi K.H. Imam Mursjid ketika dibawa mobil PKI.
Tetapi rupanya di tengah jalan kiai dan pengawalnya itu dipisah. Imam Faham diturunkan di tengah jalan dan akhirnya ditemukan di dalam lubang pembantaian Cigrok (Agus Sunyoto, A.Zainuddin, Maksum, Ibid, hlm. 55-58).
K.H. Rokib Digebuki Habis-habisan
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Di sebuah kampung di Kota Magetan yang dihuni oleh umat Islam, Kampung Kauman namanya, terdapat seorang pedagang keliling yang juga guru ngaji bernama K.H. Rokib. Dia mengaku pernah didatangi oleh 12 orang anggota PKI, pada 19 September 1948, sekitar pukul 03.00 dini hari. Dalam keadaan langit masih gelap, Rokib digiring ke Desa Wringin Agung.
“Setiba di Wringin Agung, saya dimasukkan ke dalam rumah yang gelap sekali. Dari bisik-bisik mereka, saya tahu bahwa Asrori, guru madrasah di Kauman itu sudah dibunuh di Dadapan,” kenang Rokib. Setelah seharian dikurung, Rokib kemudian digiring oleh orang-orang yang berpakaian tentara ke arah selatan.
Setiba di Dusun Dadapan, Desa Bangsri, Rokib sekonyong-konyong diseret ke lubang pembantaian di tepi tegalan yang ditanami ketela pohon. Di lubang pembantaian tersebut, kedua tangan Rokib ditarik berlawanan arah oleh orang-orang PKI dan kakinya ditekan supaya terduduk. Dalam keadaan seperti itu, Rokib sadar bahwa dia akan disembelih oleh FDR/PKI seperti mayat-mayat yang bergelimpangan dalam lubang di depannya.
“Waktu itulah saya mendadak ingat pelajaran pencak yang pernah saya peroleh dari pesantren,” tutur Rokib yang mengaku pernah menjadi santri di Pesantren Mamba’ul Ulum, Walikukun itu. Maka dengan gerak reflek, Rokib menghentakkan tangan kirinya sambil menendangkan kaki ke samping hingga berhasil melepaskan tangannya dari pegangan orang PKI. Kemudian dengan sekuat tenaga, Rokib lari menghindari kepungan orang-orang PKI.
“Hooii… tawanane ucul! (Hooii… tawanannya lepas!),” teriak orang-orang PKI seperti yang ditirukan Rokib, saat mereka mengejarnya di antara tanaman ketela pohon dan semak yang lain. Tetapi pelarian Rokib itu hanya bebberapa jam saja. Sebab menjelang siang hari, dia tertangkap lagi oleh PKI di tengah tegalan. Setelah tertangkap, Rokib mengungkapkan dirinya digebuki habis-habisan oleh PKI.
Hampir sepekan Rokib diikat dengan erat dan disatukan dengan sekitar 300-an orang tawanan yang lain. Kemudian dia digiring ke timur menuju Gorang Gareng. (Agus Sunyoto, A.Zainuddin, Maksum, Ibid, hlm. 40-42).* (BERSAMBUNG)
Penulis adalah Pegiat Jejak Islam untuk Bangsa (JIB)