Oleh: Syahrullah Asyari
Hidayatullah.com | DI TENGAH maraknya diskusi tentang Wabah Covid-19, viral sebuah video ceramah singkat berdurasi 25 detik oleh Deddy Corbuzier berisi sebagai berikut.
“Sekolah itu mengajarkan kita jadi bodoh, karena semua harus bagus di sekolah itu. Gurunya aja ada 5, 6, 7. Matematika gurunya beda, bahasa Indonesia beda, agama beda, IPA beda, IPS beda. Anak kita harus bisa semuanya. Kalau mau adil, gurunya satu. Ayo, ajarin semuanya. Gurunya aja nggak bisa ngajarin semuanya. Tapi ngarepin anak kita bisa semuanya. Itu sudah gak masuk akal.”
Bagi saya, isi video ini mengajak kita untuk memikirkan kembali fungsi guru di sekolah dalam pendidikan kita saat ini. Isi video ini menarik untuk ditinjau secara ontologis dalam filsafat pendidikan.
Sekolah dalam konteks ekspresi itu menunjuk pada level persekolahan dari SD hingga SMA sederajat. Sekolah pada level tersebut dalam bahasa Arab disebut madrasah (مدرسة). Menurut Mu’jamu al Mu’ashirah (معجم المعاصرة), madrasah “مدرسة” memiliki 3 (tiga) makna. Pertama, مكان الدرس و التعليم (tempat belajar dan mengajar). Kedua, (terkait filsafat) مذهب والتجاه (madzhab dan kecenderungannya). Ketiga, kata “مدرسة” adalah إسم مكان من درس: مكان تدرس فيه الحبوب kata benda penunjuk tempat, yang berasal dari kata kerja “درس”, yang berarti tempat yang di dalamnya dipelajari semua hal kecil (الحبوب).
Berdasarkan makna sekolah di atas, dapat dikatakan bahwa sekolah (مدرسة) adalah tempat berlangsungnya aktivitas belajar dan mengajar, di mana di dalamnya murid belajar dari gurunya tentang semua hal yang sifatnya mendasar. Di sini, ada makna secara tersirat bahwa materi pelajaran di sekolah adalah fondasi bagi materi perkuliahan di perguruan tinggi.
Salah satu dari 3 (tiga) makna madrasah di atas menyebutkan secara eksplisit kata “تعليم” atau “Ta’lim” yang berarti “Mengajar” atau “Pengajaran”. Orang yang melakukan aktivitas “Ta’lim” dalam bahasa Arab disebut “معلم” atau “Mu’allim” atau “Guru”. Kata “معلم” atau “Mu’allim” adalah kata yang menunjuk pada makna pelaku (isim fa’il) dari kata “علم – يعلم” atau “‘allama – yu’allimu”. Dalam Mu’jamu al Mu’ashirah (معجم المعاصرة), disebutkan: علمه القراءة (‘allamahu al qiraa’ata) artinya جعله يعرفها (menjadikan dia tahu membaca). Sehingga, “‘allama – yu’allimu” berarti “menjadikan tahu”. Dengan demikian, rumusan sederhananya, “معلم” atau “Mu’allim” atau “Guru” adalah orang yang menjadikan tahu.
Seorang guru (معلم) tentu saja mengajarkan ilmu (علم). Hal ini karena dalam terminologi bahasa Arab, ketika disebut ilmu, maka maknanya sebenarnya sudah mencakup “knowledge” dan “science”.
Menurut Dr. Adian Husaini, saat ini nampak dominasi pengaruh Barat dalam memandang keilmuan secara dikotomi berdasarkan objek kajian. Akibatnya, ilmu dengan objek kajian abstrak disebut “knowledge”, sedangkan ilmu dengan objek kajian empiris disebut “science”. Dalam pandangan Islam, tidak ada dikotomi ilmu seperti itu.
Terlepas dari masalah dikotomi ilmu itu, menjadi guru yang mengajarkan ilmu, bukanlah perkara mudah. Hal ini karena seorang guru tentu terlebih dahulu harus berilmu. Orang Arab berkata, “فاقد الشيء لايعطي” (Orang yang tidak memiliki sesuatu, tidak mungkin ia bisa memberi sesuatu). Dalam konteks diskusi kita, kalau seseorang tidak memiliki ilmu, bagaimana mungkin ia mengajar.
Lalu, ilmu tentang apa yang harus dimiliki seorang guru? Seorang guru dituntut untuk memiliki apa yang disebut oleh Prof. Lee S. Shulman, pakar Psikologi Pendidikan USA, sebagai Pedagogical Content Knowledge (PCK). Namun demikian, dengan PCK ini, seorang guru sebenarnya tetap saja diperhadapkan pada setidaknya 2 (dua) tantangan berikut.
Pertama, indikator keberhasilan seorang guru ada pada perubahan keadaan muridnya. Ini didasarkan pada makna guru dalam Mu’jamu al Mu’ashirah bahwa fungsi guru adalah mengubah keadaan seseorang dari tidak mengetahui sesuatu menjadi mengetahuinya. Atau dari tidak mengetahui “knowledge” dan “science” menjadi mengetahuinya.
Bagaimana mengubah keadaan murid tersebut? Di sinilah pentingnya seorang guru memiliki ilmu mutakhir tentang cara mengajarkan materi (pedagogical knowledge) agar materi yang akan diajarkan itu bisa sampai kepada murid.
Kedua, penguasaan terhadap materi yang akan diajarkan (content knowledge). Ini berarti bahwa seorang guru dituntut untuk memiliki pengetahuan dan wawasan yang luas dan dalam tentang materi yang ia akan ajarkan, atau tentang “knowledge” dan “science“.
Dalam tradisi keilmuan Islam pada abad pertengahan, sebenarnya karakteristik guru seperti ini adalah hal yang biasa saja. Bahkan, pada masa itu tidak dikenal adanya spesialisasi sempit dalam bidang keilmuan seperti saat ini. Fakta bahwa seorang guru menguasai dua, tiga, dan seterusnya bidang keilmuan, atau menguasai beberapa bidang keilmuan, dapat kita jumpai dalam biografi sebagian besar (jika tidak semua) guru pada saat itu.
Lalu, apakah mungkin, seorang guru di sebuah sekolah menjadi sebab muridnya tetap tidak mengetahui (bodoh) materi pelajarannya, atau keadaannya statis? Jawabnya, mungkin saja. Bahkan, seorang guru di sebuah sekolah mungkin saja menjadi sebab muridnya bingung dalam ketidaktahuannya. Ini diisyaratkan oleh hadits Rasulullah ﷺ
(إن الله لم يبعثني معنتا ولا متعنتا ولكن يبعثني معلما ميسرا. (رواه مسلم
“Sesungguhnya Allah tidak mengutusku sebagai orang yang menjadikan orang lain kesulitan (معنت) dan juga bukan yang menjadikan orang lain bingung (متعنت). Akan tetapi, Allah mengutusku sebagai orang yang menjadikan orang lain mengetahui (معلم), juga sebagai yang memfasilitasi (fasilitator) orang lain untuk mengetahui (ميسر)”. (HR. Muslim)
Hadits ini sebenarnya mengindikasikan bahwa menjadi “معلم” atau “Mu’allim” atau “Guru” adalah sebuah perjalanan panjang. Sebuah judul catatan editorial Journal of Mathematics Teacher Education and Development (JMTED), Australia, yaitu Teaching Mathematics: The Long Journey for Teachers (Mengajar Matematika: Perjalanan Panjang bagi Guru) pun menunjukkan makna serupa. Betapa tidak, seorang guru dituntut untuk memiliki apa yang disebut oleh Shulman sebagai Pedagogical Content Knowledge (PCK). Seorang guru harus meyakinkan dirinya bahwa ia sungguh menguasai materi yang akan diajarkan (content) dan cara mengajarkannya (pedagogy) sebelum menghadapi muridnya.
Uraian di atas menunjukkan bahwa aktivitas mengajar yang dilakoni guru menuntut guru untuk terus belajar (continuous learning). Sebuah hadits maudhu’ yang terkenal, “اطلبوا العلم من المهد إلى اللحد” (Tuntutlah ilmu dari buaian sampai ke liang lahat) sejalan dengan hal ini. Meskipun hadits ini maudhu’, Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz berkata, “ولكن المعنى الجد في طلب العلم، والحرص على طلب العلم” (Tetapi pada hadits ini ada makna kesungguhan dan semangat dalam mencari ilmu). Seorang guru sekalipun harus senantiasa menjaga kesungguhan dan semangat belajar ini.
Dalam catatan editorial JMTED itu juga dinyatakan, “If we stop striving toward the goal of being the best teacher we can be, it is time to retire.” Seorang guru diperhadapkan pada satu di antara dua pilihan, yaitu: terus berusaha keras tiada henti untuk menjadi guru terbaik atau pensiun saja.
Saya ingin menjadi guru terbaik, bagaimana dengan Anda?*
Alumni Ma’had Al Birr Makassar. Dosen Filsafat Pendidikan Matematika, Jurusan Matematika FMIPA UNM. Email: [email protected]