Oleh: Ali Mustofa *
Hidayatullah.com | BARU-BARU publik Indonesia geger. Gara-garanya pernyataan Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Prof. Dr Yudian Wahyudi, yang menyatakan bahwa musuh terbesar Pancasila adalah agama.
Pernyataan ini membuat geram masyarakat, terutama umat Islam yang notabene bagian yang dimaksud kaum beragama mayoritas di negeri ini. Bahkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) merespon cepat agar Yudian segera di pecat dari jabatannya sebagai Kepala BPIP.
Desakan pemecatan itu tentu tak mengherankan sebab apa yang disampaikan oleh yang bersangkutan adalah ungkapan fatal dan sangat keliru. Padahal jelas, pada Sila pertama Pancasila yang menyebutkan “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Sampai hari ini, Sila Pertama Pancasia tidak pernah diganti “Tidak Berketuhanan Yang Maha Esa”.
Yang benar, seharusnya musuh Pancasila itu adalah yang tanpa agama atau tidak beragama. Seperti paham Komunisme bisa dikatakan musuh Pancasila.
Pancasila yang Luwes
Sebagai sebuah falsafah, Pancasila memang luwes untuk dimasuki oleh ideologi manapun. Karena memang rumusannya yang sederhana. Dalam sejarahnya, sebelum menjadi Pancasila, dahulu dirumuskan Tri Sila dan Eka Sila.
Syahdan, pada implementasinya Pancasila banyak dipengaruhi oleh ideologi yang ada di dunia. Salah satunya Sosialisme dan juga Kapitalisme. Rupanya hasil semua ideologi itu belum bisa mengantarkan negeri ini peroleh kemerdekaan yang sejati. Penjajahan fisik bisa di usir pergi, tapi penjajahan non-fisik tetap bercokol di negeri ini.
Tapi sayang, pengalaman ini belum dijadikan pelajaran bagi kita semua. Bahwa negeri ini butuh sebuah solusi konkrit untuk membebaskan diri dari penjajahan. Ideologi apa pun di dunia tidak akan pernah membawa keadilan, kecuali Islam.
Sila Ketuhanan Yang Maha Esa, sejatinya menyiratkan makna mentauhidkan Allah. Implementasi tauhid ini bisa pada pribadi, keluarga, maupun masyarakat dan negara.
Sikap Seorang Muslim
Prof. Buya Hamka dalam bukunya berjudul “Urat Tunggang Pantjasila” menulis sebuah nasehat berharga bagaimana sebaiknya sikap seorang Muslim dalam memaknai Pancasila. Nasehat ini layak kita renungi bersama. Berikut nasehatnya:
“Marilah kita kaum muslim berdjuang dalam urat tunggang pantja sila. Sila Ke tuhanan jang Maha Esa sadja, ja’ni dengan artinja jang penuh. Karena bilamana berdjuang dengan Sila Ke tuhanan Jang Maha Esa sadja, didjamin, akan terpeliheralah Sila Jang empat lagi.
Dan mana tahu entah suatu waktu dikurangi satu, misalnja kebangsaan atau dihilangkan sama sekali, namun Ke tuhanan Jang Maha Esa akan tetap dalam sadjanja, jang meliputi segala matjam Sila.
Atau mana tahu, karena mendalamnja Ke-tuhanan Jang Maha Esa itu, karena dia sadja Urat tunggang dari segenap Sila, entah tumbuh pula Sila-sila jang lain lagi. Pantja Sila, Sapta Sila, Seribu Sila. Karena buatan manusia tidaklah tetap, dan buatan Tuhan djugalah jang tetap.
Dan mana tabu, entah datang lagi beberapa pertjobaan kedalam Negara kita ini, karena angin2nja telah tampak. Ada Sila jang gugur,
ada Sila jang tergontjang, ada urat jang tertjabut. Pada waktu itu hanja satu sila sadja jang akan tetap, tidak akan dapat ditjabut.
Ketuhanan Jang Maha Esa.
Manusia datang, dan manusia pergi. Keadaan bertukar, dan keadaan berganti. Tjobaan datang, dan angin ribut pantjaroba. Sesudah angin ribut, sesudah selebat-lebat hudjan turun, matahari akan tjerah kembali, serta kembali kepada kemurniannja, dan satu tetaplah tinggal jaitu KETUHANAN JANG MAHA ESA”. (Hamka, dalam Urat Tunggang Pantjasila, Pustaka Keluarga Djakarta, 1951). Semoga bisa menjadi renungan bersama. Wallahu A’lam.*
- Penulis Buku