Oleh: Ady Amar
Hidayatullah.com | LEMBAGA Survei Politik dengan nama-nama baru terus bermunculan, dan tampaknya akan terus bertumbuh hingga 2024. Bermacam nama hadir, jadi sulit bisa menghafal namanya satu persatu. Bahkan banyak nama pendirinya tidak dikenal. Tumbuh layaknya jamur di musim hujan.
Lembaga Survei Politik jadi bisnis menggiurkan. Dengan modal tidak seberapa mampu mengeruk keuntungan luar biasa. Banyak pengamat politik atau akademisi yang lalu banting stir membuka lapak dengan membuat lembaga survei.
Dari mereka itu ada yang masih mempertahankan idealisme, meski jumlahnya cuma bisa dihitung dengan jari. Tapi yang memilih pragmatis menjual idealisme untuk kepentingan kelompok tertentu, jumlahnya tidak sedikit. Bahkan bisa dikata banyak yang memilih “murtad”, yang tadinya idealis, menjadi pragmatis.
Bahkan beberapa lembaga kajian yang cukup kredibel di masa Orde Baru, lalu berubah garapan sebagai Lembaga Survei Politik. Semua lalu menjadi pragmatis, berburu uang yang tidak kecil, yang sulit didapat jika hanya mengandalkan gaji dosen, peneliti atau upah sebagai pengamat, yang belum tentu sebulan sekali diundang sebagai narasumber.
Bisnis menggiurkan ini, memang bisnis yang bisa mendongkrak nama seseorang dari tingkat keterpilihan rendah menjadi tinggi. Maka nama-nama tertentu selalu memenangi hasil survei yang dirilis. Seolah tampak keberpihakan pada nama yang selalu bertengger di posisi teratas.
Jika ada yang bertanya, masa sih pemimpin daerah yang miskin prestasi, dan daerah yang dipimpinnya tidak juga beranjak lebih baik dari dipimpin kepala daerah/gubernur sebelumnya, tapi hasil survei tingkat keterpilihannya menjadi tinggi. Bahkan terkadang muncul di posisi nomor 1, atau setidaknya 2 besar.
Mengapa bisa demikian, itu bisa karena hasil survei yang dimanipulasi. Hasil survei tidak sebenarnya, tapi dibuat tinggi tingkat keterpilihannya. Atau juga metode pertanyaan yang dibuat sedemikian rupa, yang tentunya akan menguntungkan pihak yang ingin didongkrak namanya. Dan tentu cara-cara manipulatif lainnya, yang itu mengondisikan responden.
Artinya, survei dibuat menggiring opini pada figur tertentu untuk dipilih. Bukan pertanyaan pada responden untuk memilih calon Presiden pada prestasi yang dibuatnya, atau tentang leadersip kepemimpinan, transparansi dalam mengelola pemerintahan/lembaga yang dipimpinnya, dan prestasi-prestasi lain, yang itu syarat utama bagi seorang pemimpin.
Jika pertanyaan yang diajukan itu hal-hal seharusnya, maka disitu ada edukasi bagi pemilih untuk memilih calon Presiden, yang memiliki syarat-syarat tertentu yang dibutuhkan untuk membangun negeri.
Tapi sayang tidak semua lembaga survei melakukan hal demikian. Tapi lebih banyak menilik pada kelebihan yang tidak mendasar bagi calon yang ingin didongkrak namanya dengan pertanyaan-pertanyaan menggiring responden untuk memilihnya.
Dengan tingkat pendidikan politik pemilih yang masih rendah, maka mayoritas pemilih yang demikian yang menjadi sasaran lembaga survei “nakal” untuk digiring terperosok memilih pemimpin tertentu yang memesannya.
Maka jika nantinya yang terpilih di 2024 adalah Presiden dan Wakil Presiden hasil dari berbagai Lembaga Survei Politik yang berhasil menggiring pemilih memilihnya, maka mustahil kita akan dapatkan pemimpin negeri yang kredibel dan punya syarat mendasar sebagai pemimpin.
Siapa yang Bayar?
Ada pula Lembaga Survei Politik yang sepertinya jadi langganan partai politik tertentu. Bahkan jika tampil di televisi misal, ia tak ubahnya wakil partai dimana ia mengais rezeki. Seolah suaranya itu suara yang dikehendaki partai.
Menjelma juga jadi pengamat politik, tapi dengan memilih atau menjagokan figur tertentu, dan terang-terangan mengecilkan figur lainnya. Tampilannya norak, terkadang muncul dengan kaos khas saat kampanye dengan gambar figur politisi tertentu di bagian dadanya. Seolah menegaskan itu pilihan partai yang membayarnya. Heran juga media televisi kerap mengundangnya. Padahal ia mustahil bisa mampu sebagai nara sumber obyektif.
Jika pilihan partainya berubah dari pilihan semula, maka ia juga akan menyesuaikan diri lewat lembaga surveinya berubah siapa yang dibelanya, sesuai yang dikehendaki partai.
Tapi ada juga lembaga survei yang tidak jelas siapa yang membayarnya, terutama lembaga survei yang punya nama, yang kerap menghiasi media dengan merilis hasil surveinya. Pastinya bayarannya tidak murah. Pendanaannya bisa oleh pribadi yang bersangkutan, atau partai politik yang mengusungnya, yang ingin nama itu selalu ada diurutan teratas.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Tapi bisa juga didanai para bohir yang menjagokan figur tertentu, yang nantinya jika memenangi kontestasi Pilpres ia akan “bekerja” untuknya, dan ini amat berbahaya. Figur model demikian yang mestinya dicermati betul, agar pemilih tidak terperosok memilih Capres hasil persekongkolan busuk, yang dikendalikan oligarki.
Jika yang terpilih model pemimpin negeri yang demikian, maka negeri ini tidak akan beranjak menjadi negeri yang bertumbuh ekonominya, dan demokrasinya pasti akan dibuat setidaknya menuju semi otoriter, dan hukum dikendalikan politik penguasa.
Munculnya pemimpin demikian, menjadikan negeri masuk dalam kubangan eksploitasi para bohir untuk mengembalikan modal yang ditanam yang tidak kecil, tentu beserta bunganya yang berlipat ratusan bahkan ribuan kali lipat.
Maka tugas Lembaga Survei Politik yang masih punya idealisme, para intelektual, jurnalis/media dan anak bangsa lainnya, yang punya kepedulian akan nasib bangsa, agar tidak jemu terus-menerus memberi penyadaran politik pada masyarakat, agar tidak salah memilih. Itu jika tidak ingin negeri ini hancur lebur, yang itu sulit dilukiskan. (*)
Kolumnis, tinggal di Surabaya