Oleh: Ahmad Khoirul Fata
Hidayatullah.com | FILM Jejak “Khilafah di Nusantara (JKdN)” menjadi perbincangan hangat di tengah masyarakat. Pro-kontra mengiringi pemutaran film yang ditonton ratusan ribu orang itu. Reaksi datang dari peneliti sejarah Pangeran Diponegoro, Peter Carey.
Melalui asistennya, ia membantah adanya hubungan antara Turki Utsmani dengan kesultanan-kesultanan di Nusantara, khususnya beberapa kesultanan di Jawa. Carey juga menegaskan, formasi tentara Diponegoro yang mirip dengan militer Utsmani itu hanya sekedar “terinspirasi”, bukan pengaruh langsung sebagai akibat adanya hubungan diplomatik dan militer Jawa – Utsmani. Hal senada juga disampaikan sejarawan Azyumardi Azra. Menurut Azra, film JKdN adalah sebuah upaya pembuatan sejarah yang dipaksakan.
Tapi apakah memang kesultanan-kesultanan di Nusantara sama sekali tidak memiliki hubungan dengan Turki Utsmani?
Anggapan bahwa Nusantara sama sekali tidak memiliki hubungan dengan Utsmani tentu patut dipertanyakan mengingat Nusantara bukanlah sebuah teritori yang terisolasi dari dunia luar. Nusantara abad ke 16 M, ungkap Anthony Reid (2015), sedang mengalami “ledakan pasar yang terus menerus” di mana para pedagang dari berbagai belahan dunia sedang asyik menikmati perdagangan dengan negara-negara di Nusantara.
Karena itu, adalah sangat mungkin kesultanan-kesultanan di Nusantara yang sedang berkembang pesat di abad 14-17 M memiliki hubungan dengan dunia Islam lain di kawasan Timur Tengah, tidak terkecuali dengan Turki Utsmani. Apalagi abad ke 16-17 M merupakan zaman di mana Utsmani sedang berada di puncak pengaruhnya.
Namun sejauh mana hubungan antara Utsmani dengan Nusantara? Apakah kesultanan-kesultanan di Nusantara merupakan negara bagian dari Utsmani sebagaimana provinsi-provinsi Utsmani di Arabia, atau sebagai vassal sebagaimana negara-negara Islam di Afrika Utara, atau hanya sekedar hubungan persahabatan dengan Utsmani? Di titik inilah para peneliti menemukan tantangan untuk mengungkapkannya.
Hubungan diplomatik dan militer Utsmani dengan Kesultanan Aceh di abad ke 16 telah diungkap banyak sejarawan (lihat Deden A Herdiansyah, 2017). Pengaruh Utsmani terhadap masyarakat Nusantara juga telah diungkap Ermy Azziaty Rozali dalam disertasinya di Universitas Malaya Malaysia dan diterbitkan dengan judul Turki Uthmaniah: Persepsi dan Pengaruh Dalam Masyarakat Melayu (2016).
Lalu bagaimana dengan bagian Nusantara lainnya, sejauh mana hubungan antara keduanya?
Dalam sambutannya di Kongres Umat Islam Indonesia (KUII) VI, 9 Februari 2015, di Yogyakarta, Sri Sultan Hamengkubuwono X mengungkapkan bahwa pada Raden Patah dikukuhkan oleh utusan Sultan Turki Utsmani sebagai Khalifatullah ing Tanah Jawi (perwakilan kekhalifahan Turki di tanah Jawa) dengan menyerahkan bendera bertuliskan la ilaha illa Allah berwarna ungu kehitaman dan Muhammadur Rasulullah di bendera berwarna hijau. Duplikat kedua bendera tersebut disimpan menjadi pusaka di Keraton Yogyakarta sebagai penanda keabsahan Kesultanan Yogyakarta Hadiningrat sebagai wakil kekhalifahan Turki.
Meski dibantah Peter Carey, namun disertasi Kasori di UIN Sunan Kalijaga berjudul Di Bawah Panji Estergon: Hubungan Kekhalifahan Turki Utsmani dengan Kesultanan Demak Pada Abad XV-XVI M (2020) menguatkan pernyataan Sri Sultan HB X tersebut. Dalam penelitiannya Kasori menyimpulkan, kerjasama Turki-Demak semula hanya di bidang dakwah dan perdagangan, kemudian berkembang ke hubungan politik dan militer.
Para ulama Demak (Wali Songo), ungkap Kasori, membangun kerjasama dengan para syaikh dan ulama di luar negeri dalam pengembangan agama Islam di wilayah Demak dan Nusantara. Keberhasilan Turki Utsmani menaklukkan Konstantinopel menginspirasi para Wali Songo (dipimpin Sunan Ampel) mendirikan sebuah sistem kekuasaan politik Islam di Jawa dengan berdirinya Kesultanan Demak. Untuk memperkuat eksistensi kekuasaan politiknya, Demak bekerjasama dengan Turki Utsmani membangun kerjasama ekonomi dalam perdagangan rempah-rempah ke Laut Tengah dan Eropa.
Selain bermotif ekonomi, hubungan dengan Utsmani juga menjadi dasar bagi Demak untuk memperkuat basis legitimasinya di hadapan negara-negara lain. Para raja atau sultan di Demak memerlukan gelar sultan dari Turki untuk menguatkan kedudukannya di antara negeri-negeri Islam di dunia. Dengan gelar sultan, para raja di Demak berusaha bersikap dan berbuat seperti Sultan Turki dan menginginkan “sinar baru” dari kekuatan Turki Utsmani.
Selanjutnya, atas permintaan negara-negara Islam di Nusantara termasuk Demak, ungkap Kasori, Turki Utsmani membangun kerjasama militer untuk membendung kekuatan Eropa di Nusantara. Demak dan negara-negara Islam di Nusantara merasa terancam dengan ulah Portugis yang melakukan praktek monopoli perdagangan rempah-rempah dari Maluku yang selama ini dikuasainya, karena itu mereka meminta bantuan teknologi dan kekuatan persenjataan dari Turki Utsmani untuk menandingi Portugis.
Dan sejak Abad XVI hubungan Turki-Demak dalam perdagangan dan ekonomi meningkat menjadi kerjasama politik dan militer dengan terbentuknya Poros Islam bersama Aceh dan Ternate yang kemudian mampu mengusir penjajah Portugis dari Nusantara. Dengan demikian, Kasori menyimpulkan bahwa kehadiran Turki Utsmani ke Jawa dan Nusantara bukan untuk penaklukan atau kolonialisasi, tetapi memberikan pemberdayaan, perlindungan, dan pembelaan kepada kaum Muslim dari penjajah Portugis dalam monopoli perniagaan rempah-rempah, penjarahan dan perompakan pada rute perjalanan jamaah haji negeri-negeri Islam di kawasan Samudera Hindia dan Nusantara, dan mencegah penyebaran agama Kristen di Nusantara.
Kajian yang dilakukan Kasori ini bisa menjadi titik pijak untuk melakukan penelitian-penelitian lebih jauh tentang hubungan antara negara-negara Islam di Nusantara dengan Dunia Islam. Kajian seperti ini dapat mengungkap bahwa Islam di Nusantara merupakan bagian tak terpisahkan dari Dunia Islam secara luas. Karena itu kita tidak perlu antipati terhadap film Jejak Khilafah di Nusantara, apalagi menuduhnya sebagai propaganda anti NKRI.
Kajian di bidang ini juga dapat melengkapi riset yang telah dikerjakan oleh Azyumardi Azra tentang jejaring keilmuan para cendekiawan Muslim di Nusantara dengan Dunia Islam. Jika Azra telah membuktikan adanya hubungan erat di bidang keilmuan, maka hubungan di bidang politik dan militer antara negara-negara Islam di Nusantara dengan Dunia Islam akan membuktikan bahwa Islam di Indonesia bukanlah wilayah yang terisolasi dari pergaulan dan dinamika sosial-politik Dunia Islam secara umum. Allahu a’lam.*
Dosen IAIN Sultan Amai Gorontalo